37. Tangis Gayatri

Segera setelah titah Raja Kertanagara turun, istana Singasari diliputi ketegangan. Markas pasukan elite Dyah Wijaya hiruk pikuk oleh kesibukan mempersiapkan pertempuran besar. Perbekalan pasukan dan senjata dinaikkan ke gerobak dan kuda beban. Kuda-kuda perang diperlengkapi dengan pelana kulit yang ringan namun kuat untuk menampung senjata seperti golok, perisai, dan anak panah. Umbul-umbul dikibarkan. Lambang pasukan tempur Singasari yang berbentuk singa itu terasa garang sehingga memberikan kekuatan magis bagi pasukan yang akan berlaga. Pagi buta hari berikutnya, para prajurit yang telah menggenggam tombak, perisai, keris atau golok, berjajar di halaman markas prajurit dan alun-alun, siap menunggu perintah untuk berangkat.

Sementara itu, Dyah Wijaya baru saja menyelesaikan sembahyang di tempat pemujaan yang terletak di sisi timur istana kediamannya. Keberangkatannya untuk bertempur kali ini terasa berbeda. Ia yang selalu optimis, entah mengapa, diliputi perasaan gundah yang aneh. Seolah yang ada di depan mata hanya kabut gelap. Bahkan saat bersujud di hadapan para dewata tadi, ia mendapat penglihatan awan hitam menyelimuti istana dan seluruh keluarganya. Tangannya sampai gemetar saat menghaturkan sembah. Firasat apakah ini?

Dyah Wijaya masuk ke ruang pribadinya di istana. Di tempat itu, Tribhuwana, Dyah Duhita, dan Prajna Paramita bersimpuh menunggu di sisi ruang. Para abdi telah mempersiapkan pakaian khusus untuk bertempur dan sekarang benda-benda itu berada di nampan-nampan perak yang berjajar di sisi lain. Aroma dupa memenuhi ruangan. Ketiga putri Kertanagara membakarnya untuk mendoakan keselamatan junjungan mereka.

Tribhuwana berusaha tegar walau semalam ia tidak bisa membendung tangis. Saat ini pun matanya masih tampak sembap. Sama halnya dengan Dyah Duhita yang saat ini justru terus terisak. Hanya Prajna Paramita yang masih bisa duduk tenang. Begitu melihat sang pangeran memasuki ruang, kedua istrinya segera bangkit dari untuk membantu lelaki itu berganti busana.

"Ah, Dinda Tribhuwana, Dinda Duhita! Apa yang terjadi pada mata kalian pagi ini?" sapa Wijaya dengan ekspresi riangnya yang teduh.

Kedua istri setia yang semula hendak melepas perhiasan emas di tubuh Wijaya menghentikan gerakan dan langsung menghaturkan sembah. Wijaya tahu isi hati mereka dan tidak ingin membuat mereka semakin risau.

"Sudah dari semalam mata itu melelehkan air. Apa kalian tidak kasihan padanya? Bagaimana kalau nanti kering? Kemakmuran Singasari juga akan ikut mengering." Candaan Wijaya kembali berhasil membuahkan senyum di bibir bulat Tribhuwana.

"Maafkan Dinda yang berhati lemah ini. Saya tidak akan membebani Kanda dengan air mata lagi," ucap Tribhuwana setelah mengeringkan matanya dengan kedua tangan.

"Nah, Dinda cantik sekali bila tersenyum. Kamu juga, Dinda Duhita. Sekarang, tolong persiapkan busanaku," titah Wijaya.

Sekilas, Wijaya mengerling ke sisi ruang. Di sana hanya ada Prajna Paramita. Gadis berwajah ayu dengan mata berkilat yang selalu menggelitik rasa penasarannya tidak ikut hadir bersama ketiga kakaknya.

Tribhuwana dan Dyah Duhita melepas satu persatu perhiasan emas dari dada, lengan, dan pinggang Dyah Wijaya, kemudian menggantinya dengan kalung dan gelang yang lebih sederhana agar tidak menghalangi pergerakan sang pangeran saat bertempur. Upawita dari rantai emas diganti dengan pita kain bersulam sulur-suluran dengan bandul umbai benang emas. Ringan, namun tetap menunjukkan tingkat kebangsawanan lelaki itu. Ikat pinggang dari kulit berwarna cokelat gelap kemudian dipasang. Ikat pinggang itu memiliki kantong tempat menyimpan benda-benda kecil, serta kait-kait untuk menggantung berbagai alat dan senjata yang akan memudahkan sang pangeran dalam memimpin pasukan.

Setelah semua siap, seorang abdi membawa nampan perak berlapis kain sutra kuning. Di atasnya terletak keris pusaka Dyah Wijaya. Senjata itu sangat indah. Sarungnya dari kayu cendana yang harum dan dilapisi emas. Ukiran di lapisan emas itu berbentuk garuda yang diiringi cakra berupa pusaran api. Tangkai keris terbuat dari besi berlapis emas dan berhias permata merah delima. Namun yang paling mencengangkan adalah energi yang dibawa oleh keris itu. Sosok keris benar-benar menggambarkan kewibawaan Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan penyeimbang alam semesta. [1]

Suasana berubah hening dan sakral kala keris dibawa mendekat pada pemiliknya. Tribhuwana dengan takzim mengambil pusaka itu, lalu menyisipkannya di pinggang belakang Dyah Wijaya. Ada perasaan haru yang mencengkeram kalbu sehingga sang putri berhenti sejenak untuk mengelus punggung suaminya.

"Selamat berjuang, Kanda." Tribhuwana berbisik saat Wijaya menoleh padanya karena merasakan sentuhan penuh kesedihan itu.

"Terima kasih, Dinda. Jangan berpikir macam-macam. Doakan saja kita mendapat kemenangan," balas Wijaya dengan senyum teduhnya. Ia hanya mengulas senyum itu untuk menenangkan istrinya. Sedangkan kegalauan hatinya sendiri tidak bisa reda semenjak mendapat perlakuan tidak adil dari Ardharaja.

"Di mana Dinda Gayatri?" tanya Wijaya sambil menoleh ke tempat Prajna Paramita duduk.

Gadis itu langsung menunduk. "Ampun, Kanda. Jangan berharap Dinda Gayatri menangis di sini."

Wijaya langsung membayangkan Gayatri yang melakukan aksi pembangkangan karena diberi hukuman menyalin kitab. "Jangan katakan adik bungsu kalian sedang mogok bicara atau mogok makan."

Prajna Paramita, yang sehari-hari juga santai seperti Gayatri, menggigit bibir. "Kanda bisa menemukan Dinda Gayatri di depan gapura ...."

Kontan saja, mata Wijaya membulat. "Sepagi ini di depan gapura? Mengapa tidak diminta masuk ke sini?"

"Ampun, Kanda. Tidak ada yang bisa menghalau Dinda Gayatri dari gapura ...." Dyah Duhita menyahut lirih, tapi kemudian segera menunduk dan menggigit bibir.

Wijaya mendengkus lirih, lalu bergegas keluar ruang. Para abdi tergopoh mengiringinya, termasuk ketiga kakak Gayatri.

Di ujung halaman istana kediaman Dyah Wijaya, Gayatri duduk bersimpuh tepat di tengah gapura. Sementara ketiga kakaknya membantu lelaki itu bersiap untuk maju ke medan peperangan, Gayatri memilih aksi protes keras, yaitu menghalangi jalan keluar Dyah Wijaya. Tanpa beralas apa pun, gadis itu mematung lantai yang terbuat dari bata merah. Ni Cebluk dan Ni Cupuk sudah putus asa membujuk dan kini keduanya hanya bisa bersimpuh sambil menangis. Sebentar lagi, mereka pasti akan mendapat hukuman dari Tribhuwana karena tidak berhasil mengarahkan junjungan mereka.

Wijaya melangkah perlahan menaiki tangga gapura, lalu berhenti di depan tunangannya. "Dinda Gayatri, mengapa duduk di sini?" Suara lembut Wijaya menyapa keheningan pagi.

Gayatri tidak menjawab, bahkan mendongak pun enggan. Ia malah beringsut mendekati Wijaya, lalu mencengkeram tungkai kanannya. "Jangan pergi, saya mohon!"

"Mengapa begitu? Ayahanda Raja sudah memberi perintah yang harus kulaksanakan."

"Sesekali, jadilah pembangkang, Kanda!" pinta Gayatri. Cengkeramannya pada betis Wijaya semakin erat.

"Aduhai! Pelajaran siapa yang kauikuti? Dinda pasti sudah tahu, aku tidak boleh mangkir dari tanggung jawab."

Gayatri sekarang mendekap tungkai tunangannya. Bahunya mulai bergetar karena tangis. "Mimpi saya, ingatlah mimpi saya, Kanda!"

Wijaya menghela napas panjang. Ia pun selalu mengingat pesan Gayatri itu. Bahkan salah satu hal yang membuatnya resah saat ini pun adalah mimpi Gayatri.

"Aku tahu." Wijaya kembali bersuara dengan lembut. Getaran halus itu menjalar diam-diam ke sanubari Gayatri sehingga gadis itu tanpa sadar mendongak.

"Apa yang salah dengan itu?" lanjut Wijaya sambil memberikan senyum termanisnya. "Sebagai ksatria, gugur di medan laga adalah kehormatan tertinggi."

Gayatri seperti tercubit hatinya setelah mendengar kata 'gugur'. "Anggap saja Kanda bukan ditakdirkan untuk gugur sebagai ksatria!"

"Dinda, kamu tahu? Semakin lama kautunda kepergianku, semakin banyak rakyat yang meninggal akibat pasukan perusuh itu. Lepaskan kakiku, Dinda." Suara Wijaya berubah tegas.

Tangis Gayatri semakin keras. "Tidak, tidak boleh! Pokoknya tidak!"

Wijaya sangat yakin Gayatri tidak akan pergi walaupun dibujuk bahkan dipukul. Kalau terus begini, bisa-bisa ia tertahan sampai matahari telah tinggi di langit. Otak cerdasnya segera berputar mencari cara dan ia menemukannya. Bukankah ada urusan yang harus diselesaikan di penjara sebelum berangkat ke medan laga?

"Dinda, ikutlah ke penjara. Kamu pasti ingin tahu apa yang akan kulakukan pada Banyak Seta, bukan?" pancing Wijaya.

Benar sekali dugaan Wijaya. Gayatri melonggarkan pelukannya dan menegakkan tubuh. Melihat itu, Wijaya tidak menyiakan waktu. Ia segera membebaskan kakinya dari cengkeraman Gayatri, lalu bergegas melintasi gapura. Gadis itu bahkan tidak sempat membuka mulut.

Gayatri yang merasa ditinggalkan, terbelalak kaget. "Kanda!" panggilnya.

Wijaya berhenti di depan gapura, lalu memutar tubuh sambil tersenyum. "Cepatlah! Jangan sampai tertinggal!" Setelah berkata begitu, ia melesat pergi dan langsung menghilang dari pandangan Gayatri.

Mau tak mau, Gayatri bangkit dan berlari menyusul tunangannya.

________________

[1] Ukiran di sarung keris ini karangan Fura, ya. Fura pikir pasti keris pusaka akan dihias sesuai simbol-simbol keyakinan pemiliknya. Cakra adalah senjata Dewa Wisnu. Sedangkan garuda adalah tunggangan sang Dewa. Raja-raja zaman Jawa klasik kerap digambarkan sebagai titisan Dewa Wisnu. Sifat Dewa Wisnu yang menjadi pemelihara semesta raya, termasuk menghancurkan kejahatan demi menjaga keseimbangan alam, sangat sesuai dengan tugas raja yang menjadi pengayom bagi seluruh negeri. Dyah Wijaya sendiri setelah wafat diarcakan sebagai Harihara di Candi Simping, yaitu gabungan perwujudan Siwa dan Wisnu.

Arca Harihara dari Candi Simping sebagai perwujudan Dyah Wijaya. Sumber: Wikipedia

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top