30. Pesan Seta

Gayatri menatap nanar pada sosok gadis yang bersimpuh di hadapannya. Kemunculan gadis itu saja sudah sangat mencurigakan. Bagaimana pula keris pusaka Banyak Seta bisa berpindah tangan orang ini? Sepanjang ingatan Gayatri, Banyak Seta tidak pernah meninggalkan benda pusaka itu karena sangat bertuah.

"Di mana Kanda Seta sekarang? Apakah dia masih hidup?"

Gadis itu semakin menunduk. "Saat hamba tinggalkan tadi, Tuan Seta bersemadi untuk menyembuhkan luka dalamnya."

Mendengar Banyak Seta terluka, hati Gayatri ngilu. "Kanda Seta terluka dalam? Siapa yang melukainya? Kanda Wijayakah?"

"Ampun, Paduka. Menurut penjelasan Tuan Seta, kepala beliau dipukul dari belakang hingga pingsan sebelum dimasukkan ke penjara."

"Kanda Seta dipukul dari belakang?" Gayatri terbelalak. Ia teringat kejadian tadi siang di mana Banyak Seta tak sadarkan diri. Semula ia mengira lelaki itu tertidur akibat minuman keras. Ternyata lebih parah dari itu, ada seseorang yang sengaja mencelakainya.

"Bagaimana keadaannya sekarang?"

"Tuan Seta sudah sadar dan bisa bergerak seperti biasa."

Napas lega pun terembus dari hidung mancung Gayatri, namun hanya sesaat karena setelah itu, ia menyadari masalah yang lebih gawat. "Kalau begitu, kami benar-benar difitnah! Katakan siapa pelaku pemukulan itu?"

"Hamba tidak tahu, Paduka. Pastilah pelakunya berilmu tinggi. Jika tidak, Tuan Seta akan menyadari kedatangan orang itu sebelum dia memukul."

"Pasti ada pengkhianat di istana ini! Aku harus melaporkan masalah ini kepada Kanda Wijaya." Gayatri yang geram, berjalan mondar mandir di sekeliling kamar.

Otak cerdas Gayatri segera mengumpulkan nama-nama semua ksatria yang mungkin sanggup mencuri langkah tanpa sepengetahuan Banyak Seta. Selain ayahandanya dan mahapatih, murid-murid utama Gunung Pawitra—yaitu Dyah Wijaya dan para panglima pasukan elitenya—sangat mungkin mengungguli Banyak Seta dalam hal ilmu kanuragan. Akan tetapi, masa iya Dyah Wijaya dan para panglima itu melakukan fitnah terhadap anggota pasukannya sendiri?

"Mengapa Kanda Seta memberikan keris ini padaku?" Suara Gayatri kembali berkumandang di ruang yang remang-remang. Pasangannya terpaku pada benda pusaka yang berada di tangannya. Keris itu terasa lebih berat dari yang terlihat dan memberikan getaran halus yang menjalar perlahan ke dadanya.

Gayatri tidak yakin apakah getaran halus itu berasal dari kekuatan di dalam keris, atau karena hal lain. Yang jelas, hatinya ikut bergetar. Senyum dan sorot mata elang Banyak Seta tergambar jelas. Ah, ia rindu, sangat rindu. Namun sayang, rasa rindu yang meluap itu bercampur aduk dengan kekhawatiran.

"Tuan Seta hanya berpesan agar Paduka Putri membawanya ke mana pun Paduka pergi. Keris itu akan menjaga Paduka saat menghadapi mara bahaya," jawab gadis misterius itu sambil tetap menunduk hormat.

Gayatri serta-merta mengerutkan kening. Akhir-akhir ini, kata mara bahaya selalu berkelindan di sekelilingnya. "Bahaya apa yang kaumaksud?"

"Ampun, Paduka. Hamba tidak bisa menjelaskan bahaya apa yang dimaksud oleh Tuan Seta." Gadis itu terdiam sejenak untuk menemukan kata-kata yang tepat agar Gayatri percaya. "Tuan Seta hanya memikirkan keselamatan Paduka."

Hati Gayatri langsung pilu seperti tertusuk bilah sembilu. "Kanda Seta ... duh!"

"Mengapa Kanda Seta hanya mengirim kerisnya? Kalau benar-benar khawatir akan keselamatanku, seharusnya Kanda Seta menemuiku di sini. Aku yakin melarikan diri dari penjara itu cukup mudah baginya."

"Tuan Seta tidak bersedia melarikan diri, Paduka. Hamba sudah menawarkan bantuan, tapi Tuan Seta menolaknya."

Keterangan itu membuat Gayatri tercenung. Banyak Seta pasti bertahan demi harga diri seorang prajurit. "Dia bisa dijatuhi hukuman mati!"

Gadis itu tiba-tiba bersujud. "Paduka Putri, hamba mohon sudilah membantu membebaskan Tuan Seta dari hukuman."

Gayatri mendesah panjang. Sangat sulit membebaskan seorang tahanan dari penjara. Dyah Wijaya tidak mungkin mengabulkan permintaan seperti itu, sekalipun yang memohon adalah calon istrinya sendiri.

"Aku harus menemukan pengkhianat itu karena cuma dengan cara itu nama Kanda Seta bisa dibersihkan."

"Hamba khawatir Paduka tidak punya banyak waktu. Jika Paduka sangat ingin menemukan pengkhianat itu, hamba mohon Paduka memulainya dengan memeriksa keadaan Kediri beserta orang-orang mereka di istana ini."

"Kediri? Apa maksudmu?" Gayatri kembali ternganga. Banjir bandang dari selatan dalam mimpinya itu mungkinkah Kediri? Akan tetapi, Kediri berada di barat. Bila menyerang pun, mereka akan mengarungi Sungai Brantas ke arah timur, lalu melanjutkannya dengan jalan darat ke Singasari. Dengan demikian, mereka akan datang dari utara. Sungguh aneh bila mereka memutari Gunung Kelud di selatan untuk mencapai ibukota. Jalur itu terlalu jauh dan melawan arus sungai.

"Kamu ... bagaimana kamu bisa menuduh Kediri? Jangan mengada-ada!"

Si gadis kembali bersujud. "Ampun, Paduka. Hanya itu yang bisa hamba sampaikan kepada Paduka."

Gayatri memperhatikan sosok jelita itu dan semakin curiga. "Siapa kamu sebenarnya?"

"Hamba hanyalah sebuah anak panah sekali pakai," ujar gadis itu, penuh perumpamaan.

"Katakan dengan jelas!" sergah Gayatri.

Gadis itu mengangkat wajah. Tiba-tiba tangannya menunjuk ke dinding di samping mereka. "Itu!"

Gayatri otomatis menoleh ke arah yang ditunjuk. Ia tidak menemukan apa-apa selain dinding yang remang-remang.

"Apa yang kautunjuk?"

Gayatri menoleh kembali ke tempat gadis aneh itu duduk. Namun, ia hanya mendapati lantai yang kosong. Orang itu lenyap begitu saja!

"Ah! Ke mana dia?"

Gayatri berlari keluar kamar hingga ke serambi depan. Ia hanya menemukan malam yang gelap.

☆☆☆

Sementara itu, Banyak Seta tersenyum di dalam sel penjara. Pancaran energi dari keris dapat ia rasakan dari kejauhan. Benda pusaka itu seperti kepanjangan tubuhnya. Saat senjata itu sampai di tangan Gayatri, hatinya berkedut. Serasa Gayatri menyapanya dengan senyum dan genggaman hangat. Ketika jemari gadis itu mengusap lembut permukaan keris dengan penuh rindu, Banyak Seta seperti dibelai.

Oh, Sang Hyang Pemilik Jagat! Takdir apakah yang akan hamba jalani?

Ia menoleh ke halaman penjara. Suasana di tempat itu tengah hiruk pikuk setelah seorang prajurit menemukan delapan rekannya tergeletak tak bernyawa. Dyah Wijaya, bahkan sudah berada di tempat itu bersama para panglima pasukan elite andalannya, yaitu Nambi, Gajah Pagon, dan Mahisa Pawagal. Beberapa panglima wilayah utara dan timur juga berkumpul di situ. Di antara mereka ada Banyak Kapok, Dangdi, Pamandan, dan Wiragati.

Banyak Seta diam-diam memperhatikan mereka dari balik jeruji. Pembicaraan orang-orang itu sayup-sayup bisa terdengar.

"Temukan penyusup ini secepatnya!" Suara gusar Dyah Wijaya merebak di udara yang pekat.

"Kita harus mencari pengganti Seta untuk memimpin pasukan panengah," ucap lelaki itu lagi.

Para panglima saling pandang.

"Siapa yang akan Paduka pilih? Saat ini prajurit terpandai adalah Macan Putih dan Banyak Windu." Suara Nambi terdengar di antara gumaman panglima yang lain.

Dyah Wijaya mengangkat tangan. "Aku sudah memilih Ardharaja untuk menggantikan Banyak Seta."

Desahan para panglima semakin keras. Agaknya, mereka tidak menyetujui pilihan itu.

"Mohon maaf, Paduka. Menurut hamba, Pangeran Ardharaja baru saja mendapat sebagian pasukan yang semula dipimpin langsung oleh Mahapatih. Apakah tidak berlebihan bila menyerahkan pasukan Banyak Seta kepadanya?" Pamandan ikut berbicara.

Dyah Wijaya terkaget. Pangeran yang selama ini hanya mengurus para abdi dan pelayan istana sekarang naik jabatan menjadi panglima setingkat dirinya. Ia baru datang dari Kambang Putih, memantau pasukan militer laut yang dipimpin oleh Arya Adhikara. Begitu sampai di istana, ia langsung dihadapkan pada masalah Gayatri dan Banyak Seta, sehingga tidak sempat mengikuti perkembangan politik di dalam istana.

"Ardharaja mendapat pasukan? Kamu tahu dari mana?"

"Belum banyak yang tahu, Paduka. Perintah itu terjadi saat Paduka berkunjung ke Kambang Putih, yaitu sehari sebelum Mahapatih dan Paduka Raja memulai upacara pancamakarapudja. Baginda Raja akan mengumumkannya setelah upacara selesai."

"Mengapa bisa begitu? Bagaimana mungkin Paduka Wijaya tidak diajak bicara sebelumnya?" Banyak Kapok terdengar gusar.

"Yang hamba dengar, Paduka Jayakatwang berkeluh kesah mengapa putranya cuma menjadi pengurus para kacung dan emban, padahal Pangeran Ardharaja cakap dalam berperang. Hal itu membuat Baginda Kertanagara merasa serba salah sehingga memerintahkan Mahapatih untuk memberinya pasukan." Dangdi berbicara dengan lirih, seolah perkataan itu adalah hal yang sangat tabu untuk dibicarakan.

"Yang paling aneh menurut hamba adalah mengapa baru sekarang Paduka Jayakatwang berkeluh kesah? Padahal sudah beberapa tahun Pangeran Ardharaja menjalankan tugas di dalam istana tanpa keberatan." Gajah Pagon ikut berbicara.

"Sungguh alasan yang dibuat-buat. Hamba yakin Pangeran Ardharaja iri terhadap Paduka Wijaya," timpal Wiragati.

"Benar! Jumlah pasukan Pangeran Ardharaja hampir sama dengan Paduka Wijaya," imbuh Nambi.

"Paduka harus membahas masalah ini dengan Baginda Raja setelah beliau selesai menjalankan upacara." Gajah Pagon ikut memberi saran.

Bahaya! pikir Banyak Seta. Jangan sampai pasukan elite Dyah Wijaya digerogoti oleh Ardharaja, putra Jayakatwang itu. Ia segera beringsut mendekat ke jeruji besi.

"Paduka Wijayaaaa! Izinkan hamba menyampaikan perkara genting!" seru Banyak Seta.

Orang-orang itu menoleh dan pembicaraan mereka terhenti. Namun, sebelum Dyah Wijaya sempat menanggapi seruan Banyak Seta, seorang pria muda yang mengenakan perhiasan emas berjalan memasuki gerbang, bersama beberapa lelaki lainnya. Senyumnya terkembang begitu melihat Dyah Wijaya.

"Selamat malam, Kanda!"

Dyah Wijaya membalas senyum itu. "Selamat malam, Dinda Ardharaja. Mengapa malam-malam datang ke penjara?"



Vote dan komen, please ....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top