20. Gadis Misterius
Gadis itu tiba-tiba muncul di depan Banyak Seta sambil merentang busur. Sorot matanya tajam, sangat tidak sesuai dengan wajah bulat telur yang bergaris lembut. Pipinya bulat, sedikit kemerahan terbakar matahari, berpadu dengan sepasang bibir yang mengerucut. Matanya tidak terlalu besar, namun maniknya kecokelatan. Alisnya rapi seperti garis melengkung. Alih-alih menyeramkan, raut itu sebenarnya membuat gemas.
"Jangan bergerak!" desis gadis itu.
Tubuhnya yang sintal dan padat, dengan buah dada bulat yang membusung, dengan gesit meloncat ke semak-semak di dekat Banyak Seta. Sebuah perisai lonjong yang terbuat dari lempeng besi dan kantung kulit panjang tempat anak panah tergantung di punggungnya. Rambutnya digelung di belakang kepala. Ia tidak mengenakan perhiasan, hanya sepasang gelang tangan dan kalung rantai di leher yang terbuat dari kuningan mengkilap. Kain yang dikenakan pun hanya berupa kain tenun kasar berwarna biru tua polos. Penampilan seperti itu menunjukkan gadis ini bukan dari kalangan bangsawan. [1]
Panah gadis itu kini mengarah ke depan, di mana lima orang pasukan tak dikenal itu tengah memburu Sarba dan Kambang. Banyak Seta baru sadar gadis itu telah menyelamatkan nyawanya dari anak panah maut. Entah mengapa ia tidak mendeteksi keberadaan pemanah di atas pohon.
Mata Banyak Seta sejenak belum mau lepas dari gadis itu. Raut wajahnya seperti tidak asing. Apakah mereka pernah berjumpa? Di mana, kapan? Banyak Seta tidak berhasil menemukan memori itu biarpun cuma secuil.
"Terima kasih," ucap Banyak Seta setelah mengatasi kekagetannya. Ia ingin bertanya lebih lanjut tentang gadis misterius itu, namun teriakan-teriakan pertempuran mendadak menggaung di udara. Kelima orang prajurit tadi telah menemukan Sarba dan Kambang. Perkelahian antara hidup dan mati pun pecah.
Sarba dan Kambang sebenarnya cukup piawai untuk menandingi kelima orang itu. Namun, tiba-tiba mereka diserbu anak panah dari atas. Rupanya, ada pemanah-pemanah yang diam di pohon dan mulai melancarkan serangan. Kedua orang itu harus menghindari terjangan anak panah dari udara sekaligus meladeni perkelahian di atas tanah.
"Aaaargh!" Sarba berteriak saat sebuah anak panah menggores bahunya. Beruntung ia sempat berkelit sehingga senjata itu tidak menembus dadanya.
"Sial!" seru Banyak Seta. Ia menoleh pada Pulung sejenak. "Kalau tidak mau mati, diam di sini. Mengerti?"
Pulung mengangguk dan langsung merunduk di balik perdu. Banyak Seta bergerak keluar dari tempat persembunyian untuk membantu Sarba dan Kambang.
"Tuan!" panggil gadis misterius tadi.
Banyak Seta menghentikan gerakan. Tahu-tahu, gadis itu melempar perisai. Mau tak mau, Banyak Seta menangkapnya. Sekejap kemudian, ia lemparkan kembali benda itu kepada pemiliknya. Ia cukup lincah untuk menghindari anak panah.
"Anda lebih membutuhkannya," sahut Banyak Seta tanpa bermaksud menyombongkan diri. Setelah mengucapkan itu, ia melesat ke arena pertempuran. Pekikannya membuat kelima musuh mereka kaget.
Gadis misterius tadi segera mengendap di antara pohon-pohon, lalu melancarkan serangan balasan ke arah atas. Bidikannya sangat akurat. Tiga sosok tubuh jatuh dari ketinggian dengan anak panah menancap di tubuh mereka. Berkat bantuan gadis itu, Banyak Seta dan kedua anak buahnya dapat melumpuhkan kelima lawan mereka dengan cepat. Empat orang tewas. Seorang lagi masih bernapas, namun sebuah tusukan keris menembus perutnya.
"Tanyai dia," perintah Banyak Seta.
Sarba segera mendekati orang yang tengah bersandar di sebuah batang pohon sambil memegangi perutnya. "Siapa kalian?"
Orang itu hanya menyeringai. Napasnya telah satu-satu dan matanya kurang awas. Sarba mencengkeram dagu lelaki itu. "Hei, jangan mati dulu! Siapa yang menyuruh kalian?"
Orang itu hanya menjawab dengan dengkusan. Agaknya, kali ini mereka tidak berurusan dengan prajurit ingusan seperti Pulung, melainkan pasukan yang lebih terlatih. Orang itu sama sekali tidak terlihat akan menjawab. Malah setelah dua kali tarikan napas, kepala lelaki itu terkulai dan tubuhnya tak bergerak lagi.
"Geledah mereka dan segera pergi dari sini!" perintah Banyak Seta lagi setelah yakin tidak ada penyerang yang tersisa.
Sarba dan Kambang memeriksa jenazah-jenazah itu. Mereka menemukan jenis senjata yang sama seperti pasukan yang menyerang mereka tempo hari.
"Golok dan tombak yang sama, Tuan,' ujar Kambang.
Sarba mencabut sebuah anak panah yang menancap di batang pohon dan mengamati bentuknya. "Bentuk mata panah ini juga sama dengan yang dibawa Kuwuk, Tuan."
"Hmm, berarti mereka juga mendapat senjata dari Lasem," ucap Banyak Seta.
Sarba menunjukkan sebuah anak panah yang ia ambil dari tubuh orang yang jatuh dari pohon. "Yang ini berbeda, Tuan. Bentuk mata dan warna benang pengikatnya lain."
Banyak Seta mengamati anak panah itu. Bagian belakangnya diberi bulu burung berwarna hitam dan diikat dengan tali kapas halus berwarna biru. Pasti anak panah ini milik gadis tadi. Ia harus menanyakan banyak hal kepadanya.
"Kumpulkan keris dan busur panah mereka. Siapa tahu kita mendapat petunjuk dari situ," perintahnya kepada Sarba dan Kambang sebelum melesat ke tempat di mana gadis itu terakhir kali dilihatnya.
Kedua anak buah Banyak Seta dengan sigap mengumpulkan senjata-senjata musuh, lalu membungkusnya dengan kain tapih milik salah satu penyerang. Banyak Seta sendiri kembali ke tempat persembunyiannya tadi. Ia menemukan Pulung meringkuk di antara perdu-perdu. Namun, setelah celingukan sesaat, ia tidak menemukan gadis misterius tadi.
"Pulung, pergi ke mana gadis tadi?"
Pulung menggeleng. "Tadi dia pergi ke sana," ucapnya sambil menunjuk sebuah tempat. "Setelah itu, saya tidak melihatnya lagi, Tuan."
"Dia tidak mengatakan sesuatu sebelum pergi?"
"Tidak, Tuan."
"Aneh ...," desah Banyak Seta. Siapa gadis itu? Prajurit wanita adalah sesuatu yang sangat langka, apalagi yang memiliki kemampuan memanah sehebat itu. Seingatnya, hanya kedewaguruan Mpu Nadajna yang mampu mendidik pemanah-pemanah paling berbahaya di seantero Singasari. Namun, bila berasal dari sana, ia pasti mengenali bentuk busur dan anak panahnya yang khas diberi ikatan tali berwarna merah dan putih. Ternyata, walaupun telah berkeliling negeri sebagai telik sandi, masih banyak hal yang tidak ia ketahui.
Di luar semua itu, satu hal yang sangat meresahkan adalah dari mana gadis itu mengetahui keberadaannya? Jiwa waspada Banyak Seta terpicu. Jangan-jangan, pergerakan mereka selama ini telah dipantau oleh seseorang.
Celaka!
Segera dipanggilnya Kambang dan Sarba. "Kambang, Sarba! Cepat! Kita harus pergi dari sini!"
☆☆☆
Istana keputren di ibukota Singasari sore ini kembali riuh. Gayatri baru selesai mandi dan sekarang tengah menderap ke arah pintu gerbang untuk menemui calon suaminya, Dyah Wijaya. Gemerincing perhiasan emas yang menggantung di dada dan pinggang menjadi penanda seberapa cepat langkah kaki gadis itu. Seperti biasa, Cemplon dan ketiga rekannya terbirit-birit membuntuti junjungannya.
"Paduka, sebaiknya dipikirkan kembali untuk menghadap Paduka Wijaya," bujuk Cemplon lagi, walau ia sangat yakin junjungannya tidak akan menurut.
"Saya harus membicarakannya sebelum terlambat," balas Gayatri.
"Duh, Paduka. Seperti ada masalah gawat saja. Ini kan hanya ...." Cemplon segera mengatupkan rahang karena Gayatri mendadak menoleh dan menghunjamkan tatapan pedang.
"Jangan meremehkan mimpi, Ni! Mimpi itu isyarat dari Sang Hyang Widhi!"
"Benar, Paduka. Hamba hanya membayangkan bagaimana jawaban Paduka Wijaya nantinya," ucap Cemplon yang masih berusaha dengan segala cara untuk mencegah sang junjungan.
"Saya yakin Kanda Wijaya tidak akan marah," sahut Gayatri tegas.
"Ampun, Paduka Putri. Bagaimana mungkin Paduka Wijaya tidak akan murka? Tunangan beliau tiba-tiba memimpikan pria lain dan menjadi resah," keluh Cemplon.
"Tidak mungkin, Ni. Kanda Wijaya tidak semudah itu cemburu bila demi kepentingan negara," sahut Gayatri mantap.
Cemplon, Cebluk, Cupuk dan Candil saling pandang. Keempat orang itu pasrah menghadapi kemungkinan terburuk. Bila Dyah Wijaya murka, pasti merekalah orang pertama yang akan dihukum.
______________
[1] Sobat Pembaca jangan roaming, ya. Pada zaman ini, standar busana para wanita juga bertelanjang dada. Bukan berarti mereka po--no, atau budaya kala itu terbelakang, tapi memang begitulah tren fashion di zaman Jawa klasik.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top