2. Berita Aneh
Banyak Seta mengambil kuda cokelat miliknya yang diikat di pinggir lapangan pelatihan. Ia memacunya secepat mungkin keluar kompleks, ke arah utara. Sebentar kemudian, ia sudah berada di alun-alun kota. Ia melintasinya dengan cepat, melibas rumput yang menutupi tanah lapang luas itu, lalu menyeberang memasuki area pasar besar. Saat menjelang petang seperti ini, pasar sudah sepi sehingga Banyak Seta dapat melewatinya dengan mudah. Di belakang pasar itulah perumahan pejabat menengah ke bawah berada.
Kuda Banyak Seta menderap di jalan tanah berdebu, di antara deretan rumah milik para pejabat pemerintahan yang berdinding kayu dan beratap genting tanah liat. Dinding pekarangan yang terbuat dari tembok bata merah mengapit jalan, membentuk lorong-lorong panjang yang bercabang. Setelah dua kali membelok di persimpangan, Banyak Seta tiba di rumahnya. Matahari mulai redup saat ia mengikat kudanya di pagar, lalu berlari melewati gapura. Saat memasuki pelataran dalam, ia menemukan rumahnya telah dipenuhi orang. Suasana di tempat itu terlihat kacau sekali.
Tanpa menghiraukan mereka, ia naik rumahnya yang berdiri di atas fondasi bata merah. Matanya langsung tertuju pada sosok lelaki yang terbaring meringkuk di atas tikar. Napasnya tersengal satu-satu. Mulutnya mengeluarkan darah, namun tidak ada luka terbuka. Kain-kain bernoda darah berserakan di sekitar tikar. Ada dua baskom tembikar di sisinya. Yang satu, berisi air dan kain untuk membasuh kotoran. Yang satu lagi berisi cairan merah kehitaman dan berlendir. Sepertinya itu muntahan yang bercampur darah.
"Seta, cepat ke sini!" panggil tabib kampung yang telah lebih dulu datang. Banyak Seta mendekat. Napasnya tersekat saat tahu kondisi temannya.
"Kuwuk?" panggil Banyak Seta sembari menjatuhkan diri, duduk di sisi Kuwuk. Ditepuknya bahu Kuwuk, namun pemuda itu tidak bereaksi.
"Dia pingsan. Biarkan dia istirahat, semoga cepat sadar kembali," ucap sang tabib.
"Dia kenapa, Paman Weling? Apanya yang berdarah? Bagian mana yang luka?" Tanpa sadar, Banyak Seta memberondong sang tabib dengan pertanyaan.
"Tenangkan dirimu. Saya sudah berusaha menghentikan perdarahan," sahut Weling.
Hati Banyak Seta seperti diiris sembilu melihat teman masa kecilnya di kampung terbaring tak berdaya. "Saya harus melakukan apa untuk membantunya?"
Weling mengembuskan napas panjang. Ia sendiri sangsi apakah luka Kuwuk bisa disembuhkan. "Tunggui saja, jangan ditinggal. Dia mau bicara padamu."
"Apa yang membuatnya seperti ini?" keluh Banyak Seta sambil mengelus-elus lengan Kuwuk.
Weling menggeser tubuh mendekat ke Banyak Seta, lalu membisikkan sesuatu di telinganya. Pemuda itu mengangguk mengerti dan segera memutar tubuh ke arah orang-orang yang berkerumun. "Tolong, semuanya keluar dulu," pintanya.
Banyak Seta menunggu semua orang meninggalkan rumahnya, lalu mengunci pintu gerbang dan rumah. Setelah itu, ia kembali ke sisi Weling. "Apa yang Paman ketahui?" bisiknya.
Sang tabib menelentangkan tubuh Kuwuk yang masih pingsan, lalu menunjuk luka memar di perut bagian atas. "Ini bukan pukulan biasa, Seta. Orang yang menyerangnya punya ilmu tenaga dalam yang langka. Lihat, kulitnya utuh, tapi isi perutnya remuk."
Banyak Seta mengernyit mengamati tubuh Kuwuk, lalu mengangguk. "Ini seperti pukulan dari daerah Girah."
Weling manggut-manggut dan menatap Banyak Seta dalam-dalam. "Kamu tahu, siapa yang ada di sana?"
Banyak Seta mendesah panjang. Sudah lama ia menyelidiki beberapa hal mencurigakan, seperti senjata pesanan yang tidak kunjung sampai, hingga desas-desus aneh di ibukota yang mengatakan Raja Kertanagara punya kebiasaan mengorbankan darah gadis-gadis untuk ritual sesat. Setelah ditelusuri, orang-orang yang diduga berhubungan dengan kejanggalan itu semuanya berasal dari seputar Girah di wilayah Kediri.
Kuwuk mulai siuman. Ia mengerang tertahan sambil kembali meringkuk memegangi perut. Ketika matanya terbuka dan menemukan Banyak Seta duduk di sisinya, Kuwuk membuka mulut berusaha bicara. Mungkin karena terlalu lemah, bibirnya hanya komat-kamit tanpa suara. Tangannya menggapai-gapai.
Banyak Seta segera menggenggam tangan Kuwuk yang terasa dingin dan gemetar. Firasatnya sangat buruk kali ini. "Kuwuk, pesan apa yang kamu bawa?"
Dengan sisa tenaga, Kuwuk menunjuk bungkusan kain yang teronggok di dekat kepalanya. "Bapamu mengirim i-itu. A-aku berhasil menyelamatkannya."
Banyak Seta meraih bungkusan kain lusuh berwarna abu-abu yang ditunjuk Kuwuk. Saat dibuka, ternyata isinya sebuah mata tombak, mata panah, serta bumbung bambu. (tabung dari bambu)
"Apa ini?" Banyak Seta membuka tabung bambu, lalu menuang isinya. Seketika, ia terkejut. "Bubuk mesiu? Ini bahan peledak dari Cina!"
Kuwuk mengangguk kecil. "Bapamu mengambilnya diam-diam dari kapal yang datang dari Bakula Pura[1]. Bapamu ... Paman Wiskira ...." Kuwuk menghela napas beberapa kali karena menahan rasa nyeri yang luar biasa.
Banyak Seta mengelus punggung rekannya walau ia tahu tindakan itu tidak berguna sama sekali untuk meringankan penderitaan Kuwuk. "Pelan-pelan saja."
Kuwuk menggeleng. "Dengarkan ... baik-baik. Ada banyak kapal diam-diam berlayar ke Lasem[2] ... mereka membawa senjata."
Banyak Seta kontan mengernyit. "Mana mungkin? Semua pengiriman bahan senjata seharusnya datang ke Kambang Putih atau Hujung Galuh."
"Paman Wiskira ... dan aku ... melihatnya dengan mata kepala sendiri ...." Suara Kuwuk semakin lemah dan napasnya kian tersengal.
"Hah? Kenapa kalian berdua sampai berada di Lasem?"
Kuwuk ingin mengatakan sesuatu, namun tenaganya semakin lemah. Ada satu hal yang membuat Banyak Seta semakin kalut.
"Kuwuk, di mana bapaku sekarang? Apa dia baik-baik saja?"
Kuwuk menggeleng. "Kami ... kami terpisah setelah sampai di ... di Matahun[3]. Aku berhasil bersembunyi, t-tapi ...."
Kuwuk mengembuskan napas terakhir tanpa sempat memberi keterangan lengkap. Banyak Seta tidak sempat menangisi kepergian Kuwuk karena dua orang menerobos masuk ke dalam rumah. Mereka adalah Sarba dan Kambang, anak buah andalan Banyak Seta yang ia utus memastikan kebenaran dugaannya.
"Tuan, kami sudah mendatangi Mpu Keteng, pandai besi itu," lapor Sarba.
"Apa kata beliau?"
"Beliau berkata memang benar muncul banyak sekali pandai besi-pandai besi di daerah Girah dan lereng Gunung Welirang. Mereka membuat senjata dalam jumlah besar."
"Beliau tahu siapa yang memesan senjata itu?"
Sarba menggeleng. "Sangat terselubung, Tuan."
"Anehnya, Tuan, Mpu Keteng menyebutkan bijih logam dan tembaga untuk bahan bakunya didapat dari Singasari," imbuh Kambang.
"Nah, tepat seperti dugaanku!" Banyak Seta tidak kaget.
"Apakah Paduka Wijaya sudah kembali dari Jajaghu? Masalah ini harus segera diketahui beliau," ucap Sarba.
"Kalau tidak salah, besok malam beliau sudah berada di istana," jawab Banyak Seta. Alisnya masih tertaut karena saat ini otaknya bekerja keras menghubungkan semua fakta dan dugaan yang hasilnya semakin meresahkan, yaitu pemberontakan. Akan tetapi, kapan dan bagaimana upaya itu akan terjadi, serta siapa saja yang terlibat masih menjadi misteri.
"Tuan sudah punya gambaran, siapa pengkhianat di istana Singasari?" tanya Kambang, lirih.
Pertanyaan itu membuat ketiganya tercenung. Hati mereka gamang membayangkan seperti apa ujung masalah ini bila orang dalam istana terlibat. Banyak Seta bahkan merasakan awan badai tengah berjalan menuju ibukota.
_____________
[1] Bakula Pura atau Tanjungpura adalah sebuah kerajaan bawahan Singasari di Kalimantan Barat
[2] Lasem adalah kerajaan bawahan Singasari yang terletak di pesisir utara Pulau Jawa, di sebelah timur Tuban.
[3] Matahun adalah sebuah kerajaan bawahan Singasari di utara Sungai Brantas. Posisinya di antara Lasem dan Tuban.
Buat gambaran, Fura posting peta Jawa sekitar masa awal Majapahit, karena Fura belum nemu peta zaman Singasari. Tapi menurut Fura, peta ini bisa menjadi acuan karena jarak waktu antara kejatuhan Singasari dan negara Majapahit yang sudah mapan tidak terlalu jauh. Bahkan sampai sekarang pun, 8 abad setelahnya, nama-nama daerah itu sebagian masih eksis.
Pusat pemerintahan Majapahit dan provinsi-provinsinya. Sumber: Wikimedia Commons/Gunawan Kartapranata
Nah, Sobat. Mampir juga di work milik anggota Hisfict yang lain.
Yang satu ini akan mengajak Sobat berkelana di antara suku Inca di Peru. Yuuks mampir di lapaknya Broonaw
Masa kolonial selalu menyimpan kisah-kisah cinta yang menakjubkan. salah satunya adalah perjuangan seorang wanita bangsawan dari Mangkunegaran, Surakarta. Buat yang penasaran, langsung aka meluncur ke lapaknya Dee_ane
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top