18. Tangkapan




Bilah belati yang melayang di udara melewati tubuh buronan, lalu menancap di sebuah batang pohon. Sebelumnya, Kambang berhasil mengendap di dekat jalur pelarian. Ia berhasil menarik pemuda malang itu, lalu menahan tubuhnya. Mulut si pemuda dibekap agar tidak menimbulkan suara. Andai terlambat satu kedipan mata saja, niscaya Kambang hanya merengkuh jenazah.

"Mmmmph!" Si pemuda buronan meronta dan berusaha membebaskan diri dari rengkuhan Kambang. Tampaknya, ia terlalu ketakutan sehingga tidak sadar telah ditolong lolos dari maut.

"Sssh! Diam, atau mati!" bisik Kambang.

Terdengar langkah-langkah kaki para pengejar melewati perdu tempat persembunyian mereka. Pemuda itu seketika diam. Ia baru tahu orang-orang ini berusaha menyelamatkannya. Begitu para pengejar itu berlalu, Kambang dan Sarba segera menyeret si pemuda menjauh ke dalam hutan.

Ketiga pengejar itu akhirnya menemukan bahwa belati yang dilempar tadi salah sasaran. Salah satu dari mereka mencabut belati dari batang pohon sambil mendengkus keras.

"Sial! Ke mana dia?" tanya orang yang terlihat paling berkuasa di antara ketiganya.

"Maaf, Tuan. Sepertinya, dia lolos dari serangan," sahut seorang yang lain.

"Pasti dia berbelok arah. Cepat cari di sepanjang jalur pelarian!" perintah si pemimpin.

Ketiganya berbalik arah dengan cepat, lalu memeriksa jalur yang baru saja mereka lewati. Gerakan Kambang tadi rupanya meninggalkan bekas yang mudah dilacak. Tanah di tepi anak sungai ini lembut karena banyak humus yang terbentuk dari dedauan yang gugur ke tanah. Begitu diinjak, akan meninggalkan bekas tapak kaki. Ranting-ranting perdu tempat persembunyian pun patah-patah akibat gerakan Kambang.

"Tuan, ada bekas orang di tempat ini," ucap salah seorang sambil menunjuk rumpun perdu yang tersibak dan jejak kaki di tanah.

"Cepat cari! Pasti mereka belum jauh," sahut tuannya.

Ketiganya bergerak gesit menggeledah tempat itu. Semakin jauh ke dalam hutan, cahaya rembulan tertahan oleh rimbunnya dedaunan sehingga tempat itu menjadi gelap pekat. Hanya di tempat-tempat tertentu di mana dedaunan tidak terlalu rimbun, cahaya bulan dapat mencapai tanah. Kegelapan itu berhasil menyembunyikan apa pun. Para pengejar itu hanya mengandalkan pendengaran untuk mendeteksi posisi lawan.

"Ada suara di sana!" seru salah satu dari mereka.

"Kejar!" ucap sang tuan lagi. Ketiganya segera melesat lebih dalam ke hutan.

Kambang dan Sarba bergerak secepat mungkin dalam kegelapan. Pemuda tangkapan tadi pasrah saja diseret ke sana kemari karena tidak punya pilihan lain yang lebih bagus. Selain itu, ia sangat yakin orang-orang yang menangkapnya ini punya ilmu kanuragan lebih tinggi dari pengejarnya sehingga ia merasa lebih baik berlindung pada mereka.

Beberapa saat kemudian, mereka menemukan area yang dipenuhi pohon-pohon beringin besar. Dahannya menjulur ke segala arah. Akar-akar besar melingkar di atas tanah. Sulur-sulur panjang menjuntai dari dahan dan mencapai tanah. Cahaya rembulan membias di antara dedaunan, membentuk siluet semua benda di muka bumi. Akibatnya, pohon-pohon itu tampak seperti kumpulan raksasa berambut gimbal. Di sela-sela beringin angker itu, terdapat tempat-tempat pemujaan kecil yang terbuat dari tanah liat. Aroma dupa menguar memenuhi udara bercampur dengan bau anyir yang menusuk penghidu.

Ketiga orang itu berjalan memasuki area hutan beringin dengan hati-hati. Bulu halus mereka meremang. Suasana tempat ini sangat kental dengan aura mistik.

"Kita sembunyi di sini," ucap Sarba.

Kambang mengangguk mengiyakan. Namun, pemuda tangkapan tadi tiba-tiba menghentikan langkah. Ketika Kambang menariknya untuk kembali berjalan, ia malah kekeh bergeming di tempat.

"Hei, ayo jalan!" perintah Kambang. "Kamu mau ditangkap orang-orang tadi? Mereka sudah membunuh temanmu. Apa kaupikir mereka tidak akan berbuat yang sama padamu?"

"T-Tuan, tapi tempat ini pekuburan ...?" tanya pemuda itu dengan bibir gemetar.

"Justru itu, Bodoh! Tempat ini sangat sempurna untuk bersembunyi," timpal Sarba.

"Ta-tapi ...."

Sarba dan Kambang tidak mau berdebat. Mereka segera menyeret pemuda itu ke sebuah ceruk pohon yang paling besar dan gelap. Di sana, mereka diam tak bergerak.

Perhitungan Sarba dan Kambang sangat tepat. Para pengejar tadi sampai di tempat itu tak lama kemudian. Mereka tidak langsung masuk ke area pekuburan, melainkan berdiri tercenung di jalan masuk.

"Apa mereka masuk ke sana?" tanya salah seorang.

"Bisa jadi," sahut lelaki yang lain.

"Periksa jejaknya," perintah sang tuan.

Kedua abdinya segera memeriksa area pinggiran pekuburan. Tanah di tempat itu kering dan keras. Selain sebagai lokasi meletakkan jenazah, tempat itu juga kerap dikunjungi para pelaku ilmu gaib yang acapkali memilih pekuburan sebagai tempat berlatih.

"Tuan, ada banyak jejak di sini," ucap salah satu abdi.

"Kalian masuk ke dalam dan periksa tempat ini!" perintah sang tuan.

Kedua abdinya tertegun dan saling pandang tanpa menunjukkan tanda-tanda akan bergerak. Tuannya menjadi kesal.

"Kenapa? Kalian takut masuk ke sana?" hardik lelaki itu.

"Tuan, hari ini bukan hari baik untuk mengunjungi pekuburan," sahut yang seorang.

"Heh! Hitungan hari baik dan hari buruk itu cuma berlaku untuk orang biasa. Kita sekarang sedang bertugas. Para leluhur pasti akan memakluminya."

"Tapi, Tuan, tidak baik melanggar ketentuan leluhur."

"Ah, sudahlah! Sepertinya, harus aku sendiri yang memeriksa ke sana," omel sang tuan. Ia melangkah dengan cepat ke dalam pekuburan.

Kedua abdinya terpaksa mengikuti walau bulu kuduk mereka berdiri semua. Apa yang mereka takutkan pun terjadi. Tiba-tiba, terdengar bunyi "krek" keras dari arah atas. Belum sempat mendongak untuk melihat asal bunyi, mereka dikejutkan oleh sebuah dahan pohon yang tiba-tiba roboh menimpa mereka. Kejadian tak terduga itu segera dianggap sinyal kemarahan para leluhur yang menunggu hutan.

"Aaaaaah!"

"Ampun, ampuuuun!"

Sontak, kedua abdi itu berlari tunggang langgang menyelamatkan diri. Melihat abdinya kabur, nyali sang tuan mendadak menyusut sebesar semut. Ia pun segera angkat kaki dari tempat itu.

***

Cukup lama setelah para pemburu itu kabur, Banyak Seta membuat obor dari dahan dan daun-daun kering, lalu menyalakannya. Dengan bantuan penerangan itu, ia mencari anak buahnya yang tengah bersembunyi di suatu tempat. Ia menemukan mereka di sebuah ceruk pohon.

"Kalian selamat?" tanyanya.

Kambang dan Sarba menyambut tuannya dengan mata lebar. Mereka juga mendengar kehebohan akibat dahan roboh. Seperti para pengejar tadi, nyali mereka pun ikut menciut.

"Selamat, Tu ... eh ..., Kakang," sahut Sarba sambil meringis lebar. Ia baru sadar ada orang lain di antara mereka sehingga harus menyapa Banyak Seta dengan nama samaran.

"Ayo pergi!" Banyak Seta memberikan obor kepada Sarba, lalu melesat meninggalkan tempat itu.

Kambang dan Sarba segera menyeret si pemuda tangkapan mengikuti jejak Banyak Seta. Cahaya obor membuat wajah Banyak Seta dan kedua abdinya terlihat nyata. Pemuda itu segera mengenali mereka dan terbelalak ketakutan. Tahu-tahu, ia melarikan diri ke area pekuburan yang tak tertembus sinar rembulan.

"Hey, jangan kabur!"

"Sial!"

Kambang dan Sarba bergerak mengejar pemuda itu, namun Banyak Seta menahan mereka.

"Tunggu saja. Satu ... dua ... tiga ... empat ... lima ...," ucap Banyak Seta, seolah tahu apa yang akan terjadi.

Sebelum hitungan keenam disuarakan, terdengar teriakan panjang si pemuda dari kegelapan.

"Hah, apa itu?" ucap Sarba. Matanya membelalak, horor.

"Ada orang kaget," jawab Banyak Seta santai. "Cepat kalian bawa ke sini sebelum dia mati kaku."

Sarba dan Kambang saling pandang. Sebenarnya, mereka ingin kabur saja. Namun, mata Banyak Seta yang menyorot tajam lebih menakutkan dari hantu pekuburan.  Keduanya pun tak punya pilihan lain kecuali segera mendatangi asal suara. Tak lama kemudian, terdengar lagi dua pekikan horor.

Banyak Seta hanya menggeleng-geleng kecil mendengarnya. Ia memilih duduk di akar pohon untuk menunggu kedua abdinya datang. Setelah menanti sekitar empat puluh tarikan napas, Sarba muncul dari kegelapan diikuti Kambang yang menggendong pemuda tangkapan. Keduanya lari terbirit-birit, sampai tidak sempat menyapa sang tuan.

"Hei, kalian! Jalannya bukan ke sana, tapi ke situ!" panggil Banyak Seta sambil menunjuk arah utara.

Sarba dan Kambang berbalik arah, lalu mengikuti tuannya menerobos semak belukar ke arah utara.

Keempat orang itu berjalan hingga langit yang hitam mulai berubah menjadi biru tua. Mereka sengaja melewati hutan yang jauh dari pekarangan agar tidak berjumpa penduduk atau para pemburu tadi. Ketika langit semakin terang, keempat orang itu sampai di tempat perahu mereka ditambatkan, lalu segera menaikinya sebelum kegelapan benar-benar sirna dari bumi.

Di perahu, mereka mengikat pemuda tangkapan, lalu mendudukkannya di tengah-tengah. Pemuda itu terlihat ketakutan dan letih. Perawakannya kecil, namun otot-ototnya kencang. Menilik rautnya, kemungkinan besar usianya belum dua puluh tahun.

"Cepat katakan siapa yang mengutusmu ke sini?" cecar Sarba.

Pemuda itu tidak mau menjawab dan memilih menunduk saja.

"Kamu pasti mengenal kami sehingga ketakutan begitu," tuduh Kambang. "Orang yang dibunuh di rumah tadi teman satu pasukanmu, bukan?"

Si pemuda kembali bungkam. Namun kini, matanya mulai membasah. Melihat itu, Sarba dan Kambang sangat yakin orang ini salah satu dari pasukan air.

"Hei, apa kamu anak gadis? Tidak perlu menangis, cepat katakan siapa kalian!" hardik Kambang.

"Kakang ...." Sebuah rintihan disertai air mata meluncur dari mulut pemuda tanggung itu.

Banyak Seta menaruh iba pada remaja malang ini. Ditepuknya bahu prajurit muda itu. "Orang yang dibunuh tadi adalah kakakmu?" tanyanya dengan lembut.

Prajurit belia itu mengangguk. Pipinya sudah basah oleh air mata.

"Hm, baiklah. Kamu tidak ingin membalas kematian kakakmu?" tantang Banyak Seta.

Prajurit muda itu menunduk semakin dalam. Banyak Seta tahu, ia pasti tengah menderita karena ketakutan dan kemarahan.

"Aku bisa menjamin orang itu mendapat balasan setimpal asal kamu mau membantuku," janji Banyak Seta.

Si pemuda mendongak. Matanya menatap penuh tanya, seolah tidak percaya dengan kata-kata Banyak Seta.

Banyak Seta memberi kode dengan dagu pada Sarba. Pemuda itu langsung tanggap. "Kalau orang ini tidak menurut, lebih baik kita kembalikan dia ke pekuburan tadi, Kakang," ucapnya.

Wajah prajurit belia itu kontan memucat. Ia lebih baik mati daripada kembali ke tempat terkutuk itu.

"Ingat, kamu sudah berhutang nyawa pada kami dan harus membayarnya!" imbuh Sarba.

"Ampun, Tuan. Ambil saja nyawa saya sebagai bayarannya," gagap si pemuda.

Banyak Seta tersenyum. "Oh, tidak semudah itu, Nak! Karena kamu berhutang nyawa pada kami, mulai sekarang, hidupmu milik kami. Mengerti?"

Mata prajurit muda itu melebar. "Tuan akan membiarkan saya hidup?"

Banyak Seta mengangguk. "Tentu saja! Kamu bisa pegang kata-kataku. Sekarang katakan, siapa orang yang mengejarmu tadi?"


= Bersambung =

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top