11. Permintaan Gayatri

"Kanda Seta, ini saya!" panggil orang itu lagi. Suara itu sangat jelas milik seorang wanita.

Banyak Seta dan kedua anak buahnya semakin curiga. Seorang wanita mendatangi rumah lelaki lajang di saat hari gelap adalah sangat tidak wajar bagi masyarakat Singasari. Lagipula, sejak kematian Kuwuk tempo hari, mereka memasang serangkaian kelintingan kuningan yang dimantrai di semua pintu, termasuk pintu gerbang pekarangan. Bila ada orang membuka gerbang tanpa persetujuan penghuni rumah, kelintingan itu niscaya akan berbunyi.

Bukankah sedari tadi tidak terdengar bunyi gemerincing dari kelintingan? Berarti ketiga tamu ini tidak melewati pintu gerbang melainkan meloncati pagar. Mungkinkah orang yang punya niat bertamu baik-baik akan datang dengan meloncati pagar? Sekadar tahu saja, pagar rumah Banyak Seta terbuat dari tembok bata merah setinggi lelaki dewasa. Perlu usaha keras bagi seorang wanita untuk meloncati pembatas pekarangan itu.

Kemungkinan lain, mantra mereka berhasil ditangkal sehingga kelintingan tidak berbunyi ketika orang-orang itu melewati gerbang. Bila itu yang terjadi, pastilah ketiga tamu ini memiliki ilmu sangat tinggi. Mereka tidak boleh gegabah.

Tok! Tok! Tok!

"Kanda Seta mendengar suara saya? Di luar cukup dingin, Kanda. Tolong segera bukakan pintu!" pinta wanita itu lagi. Kali ini, nadanya semakin manja.

Banyak Seta mengenali warna suara dan gaya bicara yang renyah namun tegas itu. Ia hampir yakin itu adalah suara Gayatri. Namun bila dipikir lagi, bagaimana mungkin Gayatri keluar dari keputren saat pagi buta? Ia tahu gadis itu memiliki ilmu bela diri cukup tinggi, namun tidak yakin Gayatri akan senekat ini. Seorang putri raja bisa memanggil prajurit seperti dirinya kapan saja bila dibutuhkan tanpa perlu repot-repot menyelinap keluar istana. Mungkinkah ini sebuah jebakan?

Kambang membuat isyarat dengan memutar jari telunjuk di atas kepala kepada Banyak Seta. Tanda itu berarti ia akan mengambil jalan keluar memutar untuk memeriksa situasi di luar secara diam-diam. Banyak Seta mengangguk kecil, menyetujui langkah itu. Dengan cepat, Kambang pun menghilang melalui pintu belakang.

Sebagaimana kebiasaan Singasari, area tempat tinggal penduduk dikelilingi pagar batu bata dengan satu gerbang berbentuk gapura mini di bagian depan yang menghadap ke barat. Di dalamnya, bangunan-bangunan didirikan mengelilingi pekarangan. Bangunan utama yang berada di sisi utara adalah sebuah rumah kayu berlantai bata merah yang lantainya paling tinggi di antara bangunan lain. Ada tiga anak tangga menuju pintu depan. Rumah itu digunakan untuk tempat tinggal Banyak Seta dan menyimpan barang berharga. Di sisi lain pekarangan, dibangun pendopo kecil berlantai kayu tempat penghuni rumah beraktivitas bersama sehari-hari. Sedangkan di sisi barat, berdekatan dengan gapura, terdapat rumah untuk menerima tamu. Semalam, Sarba dan Kambang menginap di tempat ini.

Kambang menyelinap tanpa suara melewati celah sempit di antara rumah utama dan pagar. Setelah itu, ia menyusuri dinding ke arah depan untuk bersembunyi di dekat rumah untuk tamu. Gerakannya ringan dan halus karena telah berlatih bertahun-tahun di kadewaguruan Mpu Nadajna. Tidak semua orang berbakat mempelajari ilmu bela diri dan taktik pertempuran. Kambang dan kakaknya adalah dua dari segelintir manusia langka yang sanggup menerima ilmu tingkat tinggi sehingga Banyak Seta tidak ragu mengangkat mereka sebagai orang kepercayaan.

Bersembunyi di balik dinding rumah untuk tamu, Kambang dapat mengintip bagian depan kediaman Banyak Seta. Ia menajamkan penglihatan untuk mengamati tamu mereka. Ketiga sosok itu memang sangat mirip wanita. Ada tonjolan membusung di bagian dada sebagai petunjuk bahwa mereka bukan lelaki.

Wanita yang berdiri paling dekat dengan pintu memutar tubuh. Tangannya memberi isyarat kepada yang lain, seperti memberi perintah. Kedua orang itu bergerak menjauhi rumah utama untuk memeriksa seisi pekarangan. Salah satu dari mereka mendatangi dapur yang berupa bangunan terpisah di sisi selatan. Sialnya, di dalam tungku masih membara sisa-sisa kayu untuk memasak. Orang itu segera berlari memeriksa bangunan di sisi dapur, yaitu gudang stok bahan makanan seperti jagung, ubi, dan waluh, serta lumbung gabah. Karena tidak menemukan apa pun, wanita itu bergegas kembali kepada junjungannya.

Abdi yang seorang lagi, memeriksa rumah untuk tamu, pendopo, area sembahyang, dan terakhir balai besar di sisi timur. Berkat kelincahannya, Kambang berhasil berlari ke sumur di samping dapur sehingga abdi kedua itu pun kembali dengan tangan kosong.

Dalam persembunyiannya, Kambang menjadi bingung. Gerakan kedua orang itu tidak seperti emban Gayatri yang serba lemah lembut. Keduanya sangat gesit dan gerakannya ringan. Mungkinkah sang Putri memiliki pasukan pengawal khusus wanita? Bila demikian, mengapa ia tidak pernah berjumpa dengan mereka?

"Bara di perapian masih menyala. Kemungkinan besar mereka masih di dalam," lapor abdi pertama dengan suara teramat lirih, langsung ke telinga sang majikan.

"Kamu yakin Kanda Seta masih di dalam? Bisa saja mereka sudah berangkat tak lama sebelum kita datang," balas pemimpin mereka.

"Sepertinya belum, Paduka. Saya menemukan tongkat pikulan di pendopo," sahut abdi yang satu lagi.

"Kamu yakin mereka akan memakai pikulan? Siapa tahu mereka hanya membawa buntalan kain atau keranjang."

"Ah, benar juga Paduka," sahut abdi itu sambil menunduk. "Tapi, hamba tidak menemukan kuda mereka."

"Kanda Seta tidak akan membawa kuda karena dia pasti akan menyamar sebagai rakyat biasa. Mungkin kudanya dititipkan di suatu tempat."

Dari balik dinding kayu, pendengaran tajam Banyak Seta dapat menangkap bisik-bisik mereka. Ia langsung mengernyit. Dari mana Gayatri tahu bahwa ia menyamar sebagai kaum rendahan? Apakah Dyah Wijaya yang memberitahukan hal itu? Aneh sekali. Dyah Wijaya sendiri mewanti-wanti bahwa tugas kali ini tidak boleh bocor karena menyangkut kepentingan keluarga terdekat raja.

Wanita junjungan itu membuka caping serta menurunkan kain yang menutupi bahunya. Sosoknya menjadi jelas di dalam keremangan suasana halaman. Mata orang awam akan kesulitan untuk melihatnya, namun bukan demikian bagi Banyak Seta dan kedua anak buahnya. Mereka dapat melihat dengan jelas bahwa tamu misterius itu adalah Gayatri.

Gayatri hanya mengenakan kain tenun sederhana layaknya penduduk desa. Rambutnya dikepang dan digelung melengkung ala kadarnya. Tidak ada perhiasan apa pun melekat pada tubuh rampingnya. Ia memutar tubuh membelakangi pintu, lalu duduk di tangga teratas. Kedua anak buahnya berjaga-jaga di kaki tangga.

"Saya akan duduk menunggumu di sini sampai kaubukakan pintu, Kanda," ucapnya.

Di dalam rumah, Sarba menoleh sejenak kepada tuannya yang saat ini terlihat sangat tegang. Ia berjingkat menjauhi pintu untuk menemui Banyak Seta. "Bagaimana ini, Tuan? Sepertinya tamu di depan itu Paduka Gayatri."

Banyak Seta menggeleng kecil. Ia masih belum yakin. "Kita tunggu laporan Kambang."

Orang yang dimaksud Banyak Seta datang tak lama kemudian dan langsung membisiki tuannya. "Benar, Tuan. Yang di depan itu Paduka Gayatri. Beliau datang diantar dua pengawal wanita."

"Pengawal wanita?" Banyak Seta pun sama bingungnya dengan Kambang.

Sementara itu, Gayatri semakin gelisah karena didiamkan. "Kanda-aaa!" panggilnya lagi.

"Ah!" desah Banyak Seta. Hatinya menderu mendengar nada manja itu, namun ia juga dilanda kekhawatiran.

"Kandaaa! Cepatlah buka pintu. Di sini banyak nyamuk, Kanda!" Suara manja Gayatri kembali berkumandang.

Mendengar itu, jantung Banyak Seta seperti dipecut sehingga semakin kencang berdenyut.

"Bagaimana, Tuan?" desak Kambang. "Apa tidak lebih baik dibukakan pintu saja? Siapa tahu ada hal penting yang ingin disampaikan oleh Paduka Putri."

"Benar, Tuan. Tidak baik pula membiarkan putri Baginda Raja Singasari duduk di tangga seperti itu," imbuh Sarba.

Banyak Seta terpaksa mengangguk. Disarungkannya keris. Melihat tuannya sudah setuju, Sarba dengan gesit melesat ke pintu dan membukanya.

Begitu pintu terkuak, hal pertama yang dilihat Banyak Seta adalah wajah Gayatri yang tengah tersenyum lebar, cerah bagaikan matahari pagi. Cahaya lampu minyak di dari dalam rumah menerangi raut ayunya sehingga tampak nyata binar mata yang mengguncang kalbu Banyak Seta.

"Kanda Seta! Mengapa butuh waktu sangat lama hanya untuk membuka pintu?" rajuk Gayatri. Sepasang bibir merah yang manyun sangat mengganggu kewarasan pemuda di depannya.

"Ampun, Paduka!" Banyak Seta langsung berlutut, diikuti kedua anak buahnya. "Selamat datang di gubuk hamba."

"Ah, Kanda Seta. Kamu nyaris membuat saya mati kehabisan darah karena nyamuk-nyamuk ganas di luar sana," semprot Gayatri lagi. Ia langsung menerobos masuk menuju balai-balai dan duduk di atasnya.

"Maafkan hamba yang kurang tata susila ini," ujar Banyak Seta tanpa berani menatap wajah Gayatri. Ia yakin akan menjadi mabuk bila berserobok pandang dengan netra indah itu.

Gayatri mengedarkan pandangan ke sekeliling. Rumah kayu itu hanya berisi sedikit barang. Selain balai-balai tengah rumah, ada beberapa guci berbagai ukuran di sudut ruang, menemani sebuah rak kayu yang dimuati kotak-kotak penyimpanan. Sebuah nampan berisi alat menginang dari tembaga tersusun rapi di bagian paling atas.

"Ah, inikah rumah Kanda?" tanya Gayatri.

"Benar, Paduka."

"Saya suka suasana ini. Bukankah sangat mirip dengan kadewaguruan Mpu Nadajna di Gunung Pawitra?"

"Duh, Paduka. Tempat ini jauh lebih kecil dari milik Mpu Nadajna," ucap Banyak Seta.

Pengawal Gayatri datang membawa baskom berisi air untuk membasuh kaki junjungan mereka. Gayatri meminta keduanya meletakkan baskom itu di dekat kakinya.

"Saya ingin mencucinya sendiri. Kalian berjaga di luar saja dan tolong tutup pintunya," perintah Gayatri. Ia lalu melirik Sarba dan Kambang. "Kalian juga."

Keempat orang itu memberi sembah, lalu bergegas meninggalkan ruangan itu. Tersisa Banyak Seta, hanya berdua dengan Gayatri.

Gayatri mencelupkan kaki ke air, lalu menunduk dan mengulurkan tangan untuk mencucinya. Tanpa terduga, ia menghentikan gerakan dan mengernyit kesakitan.

"Aduh! Pinggangku!" Gayatri menegakkan punggung sambil mengelus pinggangnya.

Banyak Seta terpaksa menengadah. Ia tertegun saat menemukan sorot mata Gayatri melekat padanya. "Ke-kenapa, Paduka? Bagian mana yang sakit?"

Gayatri mengerang sekali lagi. "Pinggang saya, Kanda. Sepertinya salah urat. Apakah karena meloncati pagar tadi?"

Banyak Seta ternganga. "Paduka meloncati pagar? Ampun, Paduka. Jangan lakukan hal berbahaya seperti itu lagi."

"Saya akan menuruti saran Kanda. Tapi sepertinya, saya tidak bisa membersihkan kaki sendiri. Maukah Kanda membantu mencucinya?"

Banyak Seta kaget. Mencuci kaki Gayatri? Sekilas, matanya mengerling ke sepasang kaki mulus di dalam baskom. Jemari Gayatri begitu lentik dan kukunya bersih terawat. Jangankan mencucinya, ia bahkan ingin menciumi keindahan itu.

"Kanda tolonglah, cucikan kaki saya," pinta Gayatri sambil memasang wajah memelas. "Dan setelahnya, tolong urut pinggang saya yang salah urat ini, Kanda."


Author's Note:

Deskripsi area rumah Banyak Seta diambil dari rumah adat Bali karena beberapa ahli berpendapat bahwa susunan rumah adat Bali kemungkinan besar mirip dengan perumahan penduduk di era Singasari dan Majapahit.

Tapi bila Sobat Pembaca menemukan sumber lain, Fura akan berterima kasih sekali bila mau menulisnya di kolom komentar.


Rumah adat Bali. Sumber: website dosenpendidikan.co.id


Hayo tebak, mau nggak Banyak Seta mencuci kaki Gayatri?

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top