1. Banyak Seta
Glosarium
[1] Hujung Galuh adalah nama pelabuhan laut besar di pesisir timur Pulau Jawa, kira-kira di daerah Surabaya saat ini.
[2] Dyah Wijaya atau Nararya Sanggramawijaya adalah menantu Kertanagara, cicit Ken Arok dari Mahisa Cempaka, yang kelak menjadi pendiri Kerajaan Majapahit. Dalam Kitab Pararaton, namanya disebut Raden Wijaya.
[3] Dwipantara adalah sebutan untuk wilayah nusantara pada masa Singasari.
[4] Kambang Putih adalah pelabuhan laut besar di pesisir utara Pulau Jawa. Letaknya di Tuban saat ini.
_______________
= Singasari, 1214 Saka =
Area berlatih bagi calon anggota pasukan elite Singasari masih ramai walaupun langit mulai memunculkan warna semburat jingga. Teriakan-teriakan prajurit muda yang penuh semangat masih membahana hingga terdengar dari luar tembok lapangan, padahal mereka telah berlatih sedari pagi. Saat ini, mereka tengah mencoba menggunakan tombak bermata besi, dipimpin oleh Banyak Seta. Pemuda itu berdiri di tepi lapangan, dekat dengan tembok bata merah yang membatasi lingkungan kesatrian. Di sinilah pusat pelatihan prajurit elite Singasari yang terkenal digdaya itu.
"Ayun lebih kuat!" Banyak Seta memberi komando.
Seruan itu disambut gemuruh pekik penuh semangat pemuda-pemuda terbaik yang dipilih dari berbagai desa dan dusun. Di mata mereka, Banyak Seta adalah panglima muda yang disegani. Selain memiliki ilmu bertempur yang sungguh menonjol, sosoknya memancarkan karisma yang kuat. Gelang lengan dan kaki, serta hiasan leher dari kuningan berkilau, menunjukkan posisinya yang penting. Sebuah keris dengan gagang kayu berukir dan bersarung kuningan, menandakan bahwa ia memiliki ilmu kesaktian di atas rata-rata sehingga mampu menjadi pemilik benda pusaka itu. Bila berdekatan dengannya, para pemula itu tidak sanggup mengangkat wajah.
"Tusuk ke depan secepat mungkin!" seru Banyak Seta lagi, kali ini lebih nyaring dan diwarnai kegusaran sehingga anak didiknya terpaksa mengeluarkan semua tenaga yang dimiliki.
"Baguuus!" puji Banyak Seta setelah melihat hasil latihan sepanjang hari ini.
Senyumnya terkembang, mengubah raut yang semula angker menjadi wajah yang dipuja para gadis dan membuat iri kaum lelaki. Berkat rupa menawan dan postur tubuh yang tinggi dan tegap, Banyak Seta sangat dikenal di istana, terutama di kalangan para putri bangsawan. Keindahan fisik itu mungkin berasal dari kegemarannya berada di air sehingga tulang-tulang dan ototnya tumbuh dengan sempurna. Apalagi saat ini umurnya 24 tahun, usia di mana kegagahan seorang pemuda tengah bergerak menuju puncak.
Di tengah gegap gempita para prajurit yang bertelanjang dada dan tanpa alas kaki itu, Banyak Seta menepi dan menghampiri pendopo di mana kendi-kendi air minum diletakkan. Ia mengambil sebuah, lalu mengangkatnya ke atas wajah untuk menuang airnya langsung ke mulut. Air putih yang telah didiamkan semalaman itu terasa sangat menyegarkan. Dari sudut mata, terlihat beberapa anak kecil bertelanjang dada tengah mengintip dari balik gapura bata merah yang menjadi pintu masuk menuju kompleks para prajurit. Pasukan yang tengah berlatih adalah pemandangan luar biasa bagi anak-anak Singasari.
Seorang pelayan datang dari pintu kecil yang menghubungkan tempat pelatihan dengan bagian lain istana. Letaknya persis di samping pendopo tempatnya beristirahat. Pelayan itu datang dari dapur istana untuk mengantarkan makanan kecil bagi para prajurit. Begitu melihat anak-anak itu, ia mendatangi mereka.
"Hei, keluar, keluar! Jangan mengganggu kakak-kakak prajurit yang sedang berlatih!" hardiknya seraya menggerakkan tangan untuk mengusir ketujuh anak itu layaknya menghalau bebek. Alih-alih kabur, anak-anak itu malah meringkuk di tanah sambil melempar pandangan minta tolong pada Banyak Seta.
"Biarkan saja, Bibi," seru Banyak Seta. Ia melambai dan anak-anak itu berlari menghambur ke pendopo. Seperti biasa, mereka menunggu jatah camilan.
Bibi pelayan itu juga kembali ke pendopo. Dengan bibir manyun, ia memberi ketujuh anak itu talas rebus. Mata mereka langsung berbinar. Setelah berseru terima kasih, mereka berlari kembali ke pojokan gapura.
"Nanti anak-anak itu jadi kurang ajar," gerutu si bibi seraya membongkar isi bakul. Talas rebus, ubi rebus, dan kue ketan dihampar di atas lantai pendopo, dialasi daun pisang.
"Tidak, Bibi. Mereka anak-anak yang baik. Saya juga begitu dulu waktu masih kecil."
Banyak Seta sejenak teringat masa kanak-kanaknya saat tinggal di pesisir timur, dekat dengan pelabuhan Hujung Galuh[1]. Ada sebuah pangkalan armada tempur Singasari di sana. Mereka memiliki puluhan kapal perang berukuran besar yang disebut jung. Ayahnya adalah salah satu ahli pembuat jung. Tidak heran bila Banyak Seta kecil sering keluar masuk pangkalan militer dan mengintip latihan perang mereka. Ia tahan berjam-jam duduk di pojokan lapangan atau di tepi dermaga demi mengamati tubuh-tubuh berotot yang bergerak dengan gagah berani baik di darat maupun di atas jung. Cita-citanya untuk menjadi prajurit pun bertumbuh dari hari ke hari.
"Tuan terlalu baik," puji pelayan itu. Tangannya kemudian meraih bungkusan lain dari dalam bakul dan menyerahkannya sambil membungkuk hormat. "Ini titipan dari putri yang tidak boleh disebut namanya. Silakan disantap, Tuan Seta."
Sejujurnya, Banyak Seta enggan menerima pemberian khusus itu. Saat dibuka, isinya kue wajik yang terbuat dari beras ketan, gula merah, dan santan. Jantung Banyak Seta kontan bertalu. Ada sekelumit rasa bahagia, namun sayang, bercampur nyeri pula.
Duh, Paduka Gayatri ... jangan lakukan ini.
Banyak Seta hanya bisa mengeluh dalam hati. Angannya segera melanglang ke seraut wajah ayu yang memiliki mata cemerlang dan berkilat penuh gairah hidup. Gadis berkulit kuning langsat yang rambutnya kerap diikat sembarangan itu selalu berhasil mengganggu ketenangan jiwa.
"Tuan Seta tahu siapa yang saya maksud?" bisik si pelayan seraya berkedip-kedip dan tersenyum penuh arti.
Banyak Seta menggeleng sambil memasukkan wajik ke mulut. Buat apa pertanyaan itu dijawab, bukan?
Semua orang tahu siapa Gayatri. Bungsu dari empat bersaudara itu adalah putri kesayangan Raja Kertanagara. Semua orang juga tahu Dyah Wijaya menaruh hati padanya. Walaupun Dyah Wijaya sudah mempersunting sang putri sulung, Tribhuwana, dan putri kedua, Dyah Duhita, agaknya Kertanagara masih ingin menjodohkan putri bungsunya pula.
Banyak Seta sangat tahu diri. Mustahil ia merebut hak atasannya sendiri. Di samping itu, Dyah Wijaya bukan sekadar menantu. Ia adalah cucu Mahisa Cempaka yang bergelar Narasinghamurti. Kakek Dyah Wijaya itu pernah memerintah Singasari bersama kakek Gayatri, Raja Wisnuwardhana. Karena Kertanagara tidak memiliki anak perempuan, sudah barang tentu Tribhuwana adalah calon pewaris tahta dan Dyah Wijaya akan ikut memerintah bersama sang istri, mengikuti jejak kakek-kakek mereka. Mana mungkin ia yang cuma berasal dari desa pesisir berani bersaing dengan calon raja Singasari? Bagi seorang prajurit, hal itu sama saja pengkhianatan.
"Sudahlah, Bibi, pulang ke dapur sana!" ucap Banyak Seta untuk menutupi kekalutan hatinya.
Pelayan itu masih bergeming di tempat dan malah berbisik, "Kapan Tuan datang dari tugas luar kota?"
Banyak Seta tidak menjawab, hanya mengulas senyum tipis penuh arti. Ia sudah tahu ke mana pembicaraan ini menuju. Di samping itu, ia sedang menunggu kedatangan Sarba dan Kambang, dua abdi yang diutus untuk mencari informasi penting.
Aksi diam itu justru membuat sang pelayan semakin penasaran. "Mengapa Tuan pergi tanpa pamit terlebih dulu? Sebenarnya, ke mana Tuan bertugas, apakah ke Hujung Galuh lagi?"
Sudah pasti, Banyak Seta tidak boleh membocorkan kepergiannya sebagai telik sandi. Ia kembali menuangkan air kendi ke mulut. Kali ini bukan untuk memuaskan dahaga, melainkan untuk menghapus bayangan sosok Gayatri dari benak.
Bibi itu tahu sikapnya membuat resah sang panglima muda. Akan tetapi, ia bisa apa? Bila tidak berhasil membawa kabar yang diinginkan sang junjungan, ia bisa kena marah. "Maaf, Tuan. Saya harus bertanya seperti ini karena ada seseorang yang sedang menanggung rindu."
Menanggung rindu?
Wah, hati Banyak Seta seperti ditabuh pemukul gong. Berdentum dan bergetar penuh pilu. Jauh di dasar kalbu, ia juga rindu! Sayangnya, perasaan ini tabu baginya.
"Maaf sekali lagi, Tuan. Benarkah Tuan minta dipindah ke pangkalan pasukan di Hujung Galuh?" tanya pelayan itu lagi.
"Pindah? Tidak, Bibi. Saya tidak bisa minta pindah ke Hujung Galuh sekalipun sangat ingin," balas Banyak Seta.
Jujur, setiap mengingat armada laut, darah prajurit Banyak Seta mendidih. Semangatnya membuncah, melebur dalam detak jantung dan denyut nadi. Demi bisa bergabung dengan pasukan tempur yang digdaya itulah ia rela pergi dari kampung halamannya di Hujung Galuh dan mengabdi ke Singasari di Tumapel. Ternyata, jalan hidup memang berkata lain. Ia justru terpilih menjadi pasukan elite Dyah Wijaya[2], menantu Raja Kertanagara, sehingga harus tinggal di ibukota, jauh dari laut. Walaupun ia menjalankan tugas apa pun yang dititahkan Dyah Wijaya dengan sebaik mungkin, relung hatinya tetap menyimpan keinginan untuk menjelajah lautan dwipantara[3] bersama pasukan tempur Singasari. Betapa menantang mengarungi samudra di atas kapal perang. Kerinduan itu bisa sedikit terobati saat ia memantau pelatihan prajurit maritim. Ribuan pemuda terbaik Singasari dilatih di pusat penggemblengan di Hujung Galuh dan Kambang Putih[4], yaitu dua pelabuhan penting di pesisir Pulau Jawa, selain Gresik dan Sedayu. Di Kambang Putih itulah pangkalan militer terbesar milik Singasari berada, pasukan yang telah membuat Singasari berjaya di selatan dan membuat resah orang Mongol di utara.
"Benarkah, Tuan?" tanya pelayan itu lagi.
Banyak Seta mengangguk. "Saya sedang menjalankan tugas penting di ibukota. Tidak mungkin saya meninggalkannya begitu saja."
Senyum lebar mengembang di wajah pelayan itu. "Ah, benar sekali! Tuan tidak akan meninggalkannya begitu saja!"
Mendengar pernyataan bermakna ganda itu, kening Banyak Seta berkerut. "Maksud saya tugas, Bibi, bukan hal lain!"
"Maaf, maaf." Merasa telah menyelesaikan misinya, sang pelayan pun pamit sambil menahan senyum.
Banyak Seta hanya bisa mendesah kesal, lalu segera mengalihkan pandangan ke pasukan yang sedang berlatih.
"Hei!" Suara Banyak Seta tiba-tiba berkumandang manakala menemukan gerakan prajurit yang salah. "Berhenti semua! Pegang apa kalian? Tombak atau gagang sapu?"
Setelah memperbaiki ikatan gulungan rambut di puncak kepala, Banyak Seta pun maju, memasuki lapangan dan berdiri di depan barisan prajurit. "Perhatikan baik-baik!" perintahnya.
Dengan gesit, ia membuat gerak pertahanan menggunakan tombak. Otot-otot tubuhnya bergulung dan terlihat menonjol indah. Pembuluh darah yang menyembul di balik kulit menunjukkan si pemilik tubuh tengah mengerahkan tenaga dalam. Banyak Seta berputar dengan gesit. Debu beterbangan ketika tersapu kaki yang bergerak cepat di atas tanah. Tiba-tiba, ia menekuk kaki dan mencondongkan tubuh ke depan.
"Hiyaaah!" pekik Banyak Seta. Sebuah tusukan lurus ke depan terhunus. Para prajurit yang menyaksikannya bisa merasakan sapuan tenaga dalam yang mengiringi serangan mematikan itu. Bila yang diserbu mata tombak adalah tubuh seseorang bukan udara kosong, niscaya orang itu tidak akan mampu menangkisnya.
Banyak Seta kembali berdiri tegak sambil memandang anak didiknya. "Kumpulkan kekuatan tenaga dalam dari pusat perut, lalu salurkan ke lengan. Jangan menggunakan tenaga lengan macam perawan-perawan yang menyapu halaman. Paham?!"
"Pahaaaam!" Para prajurit itu serempak menjawab dengan berteriak sekuat paru-paru mereka.
"Nah, lakukan seperti itu sampai benar!"
Banyak Seta bergerak mengitari anak didiknya satu persatu untuk memastikan gerakan mereka. Ia berharap pemuda-pemuda ini akan menjadi kekuatan kerajaan di masa depan. Singasari sedang rapuh. Ada kemungkinan Kediri akan memberontak. Itulah kesimpulan hasil telisiknya di wilayah lereng Gunung Welirang dan sekitar Desa Girah kemarin. Ia tinggal menunggu sebuah informasi dari Sarba dan Kambang sebelum melaporkannya kepada Dyah Wijaya.
Kegiatan Banyak Seta terganggu ketika seorang pemuda berusia dua puluhan datang sambil berlari menghampirinya.
"Tuan, Tuan Seta!" panggil orang itu. Wajahnya menampilkan kecemasan tingkat dewa. Pemuda berbadan cungkring, berwajah tirus, namun bermata besar itu langsung bersimpuh di dekat kaki Banyak Seta sehingga ia terpaksa menghentikan kegiatan. (kurus kering, kerempeng)
"Wingsil? Ada apa sampai menyusulku kemari?" tegur Banyak Seta. Tidak biasanya ia didatangi orang rumah di tempat pelatihan militer. Perasaan Banyak Seta langsung berubah buruk.
Wingsil, pembantu di rumah Banyak Seta, menghela napas cepat beberapa kali sebelum sanggup mengucap kata, "A-ada tamu datang ke rumah. Tapi-tapi, gawat, Tuan."
Kening Banyak Seta tertaut. Ditariknya Wingsil ke pendopo yang sepi. "Katakan dengan jelas, siapa yang datang dan mengapa gawat?"
Wingsil yang dadanya masih naik turun akibat berlari dari rumah Banyak Seta, hanya bisa berkedip. Matanya yang besar semakin terlihat menonjol. Pantas saja ia dinamakan Wingsil, yang berarti biji mata yang melecit keluar.
Banyak Seta menjadi tidak sabar. Ditimpuknya pipi Wingsil agar pemuda itu segera menjawab. "Hei, jangan kedip-kedip saja. Jawablah, apa yang gawat!"
"Tuan harus segera pulang. Ada tamu datang dari Hujung Galuh, tapi ... tapi dia terluka parah!"
"Siapa nama tamu itu?"
"Kuwuk, Tuan. Utusan Paman Wiskira," sahut Wingsil.
Jantung Banyak Seta kontan berdebar keras. Ayahnya mengirim utusan dan sekarang utusan itu terluka parah. Apakah hal itu berhubungan dengan kasus yang tengah ia selidiki akhir-akhir ini? Tanpa banyak cakap lagi, Banyak Seta melesat menuju rumahnya.
/////////////
Catatan:
Hal-hal yang tidak disebutkan rinci dalam glosarium atau catatan kaki, berarti rekaan penulis, ya.
Oh, ya.
Dulu, Fura mengira Singasari dan Majapahit adalah negara agraris. Ternyata tidak, Sobat Djadoelers. Memang benar, mereka punya hasil bumi yang melimpah karena tanah Jawa yang subur dan menjadi kaya dari menjual hasil bumi ke mancanegara. Tapi yang membuat Singasari dan Majapahit menjadi kerajaan besar di Asia Tenggara adalah mereka berjaya di lautan, menguasai perairan nusantara. Yup! Keduanya adalah negara maritim!
Bener banget kan lirik lagu ini: "Nenek moyangku orang pelaut!"
🌼🌼🌼
Sobat Pembaca, Jurusan Fiksi Sejarah The WWG tengah mengadakan proyek yang bertajuk "Sepoetjoek Soerat Masa Lampaoe"
Ini dia beberapa karya teman-teman sejuruan yang keren-keren. Semuanya mengajak pembaca unutk melanglang buana ke masa lalu.
Yang pertama, ada kisah cinta berlatar luar negeri. Mampirlah di lapaknya teman Fura ini Ahzanysta
Suka sama dracin tentang dinasti-dinasti di China? Cerita yang satu ini tentang cewek cakep yang terlempar menjadi istri putra mahkota. Mampirlah di lapaknya Arabella_Aqueline77
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top