9. Menemui-Mu
Kehidupan selalu saja mengajarkanku banyak hal. Sekarang aku akan menempuh jalan yang memang sudah Tuhan sediakan untukku.
Sandrina_
Sandrina melangkah pelan menuju taman kota. Ia duduk dengan menyesap es lemon dalam wadah plastik. Seseorang dari kejauhan melihatnya geli dan mendekat padanya.
"Siang panas gini enaknya emang minum yang dingin kali ya? Sama kek ati kalo lagi panas. Enaknya didinginin bukannya tambah dipanasin. Apalagi sampai membakar diri gitu. Mengerikan," seloroh pemuda di samping Sandrina.
Tanpa menoleh pun Sandrina sudah tahu siapa yang bicara di sampingnya.
"Cukup Pak Na'im dosen filsafat yang ngajarin soal banyak filosofi," sindir Sandrina membuat sang pemuda melebarkan tawanya kemudian ia duduk di samping Sandrina.
"Gak ada yang nyuruh lo duduk di sini."
"Dan gue gak liat ada tulisan 'dilarang duduk di sini.'"
Sandrina bergeming sesaat sembari terus menyesap es lemonnya. Mario, si pemuda yang tengah tersenyum samar melihat gadis di sampingnya seperti anak polos yang sibuk dengan minuman kesukaannya. Dan Sandrina malah tak mengacuhkannya.
"Lo beda banget kalo kek sekarang ini. Tapi gue tahu. Ini karakter lo yang asli," terang Mario. "Dulu, gue sering liatin lo waktu masih jadi mahasiswa baru. Gaya lo yang cuek, jutek dan yah, sadis. Lo kek barang antik yang sulit disentuh, tapi itu malah jadi barang mahal dan hal unik yang gue suka," lanjutnya.
"Gue gak butuh pujian lo!"
"Gue gak muji. Gue cuma ngasi pendapat aja soal karakter manusia di samping gue."
Sandrina jengah juga mendengar ocehan kakak kelas di kampusnya itu. Ia tak suka ada yang menilai dirinya. Cukup dirinya sendiri yang tahu akan seorang Sandrina. Gadis itu bangkit, namun Mario menahannya dengan ucapan.
"Kenapa lo selalu gini, San?"
"Apa maksud lo? Gue bosen denger ceramah gak bermutu lo!"
Mario memilih bungkam akhirnya. Ia tak mau berdebat dengan gadis angkuh itu lagi. Sementara Sandrina sudah berlalu dengan kecepatan langkah yang sulit dikira.
Gadis itu melewati depan masjid. Adzan yang bergema sore itu menghentikan langkahnya. Sandrina mengangkat wajah dan menatap ke arah atap masjid raya itu. Sejenak matanya perlahan terpejam. Satu lagi. Adzan itu seolah menjadi candu untuknya. Alunannya yang tenang dan lembut seolah membawa sang hati si gadis angkuh melaju perlahan merayapi jiwanya dan seakan menjadi seperti gemericik air yang tenang. Menyejukkan dan melemahkan hatinya yang semula membatu.
Tuhan ..., jika Kau ada, tunjukkan aku ke jalan-Mu, bisik si hati kecil.
Tanpa alasan dan niat apapun, Sandrina melangkah memasuki masjid. Ia berdiri cukup lama sambil memandang lurus ke dalam masjid. Seorang lelaki tua menyapanya.
"Nak, untuk jamaah perempuan sebelah sana," tunjuk bapak tua itu ke sebelah kiri masjid.
Sandrina hanya mengangguk pelan sambil lalu melangkah ke tempat yang ditunjukkan si bapak tua tadi. Sandrina celingukan karena bingung harus berbuat apa di masjid itu. Ia hanya menatap bisu melihat banyak jamaah perempuan sibuk dengan mukena putihnya memasuki masjid. Sebagian langsung menuju kamar mandi dan memercikkan air pada sebagian tubuh mereka. Sandrina tetap bergeming di tempat.
Seorang wanita yang berpakaian tertutup menyapanya dengan senyum ramah.
"Adik mau sholat ashar berjamaah juga? Tempat wudhu dan toiletnya ada di sebelah sana. Mari bareng sama saya," ucap si wanita ramah.
"Maaf, lo ...." Sandrina kikuk.
"Panggil saja saya Amirah. Saya biasa sholat di sini karena dekat dengan kantor. Nama Adik siapa?" ujar Amirah ramah.
"Gue Sandrina. Panggil gue Sandrina," sahut Sandrina dengan sedikit terbata.
Sandrina hanya mengangguk dan mengikuti di belakang Amirah untuk berwudhu. Ia masih bersyukur pelajaran wudhu semasa duduk di bangku sekolah dulu masih diingatnya. Soal doa-doa dalam sholat, Sandrina akui memang lupa-lupa ingat. Tapi dirinya ikut arus saja di dalam masjid untuk berjamaah.
Setiap gerakan dalam sholat, Sandrina ikuti. Selepas salam, semua jamaah saling bertukar jabat tangan diiringi senyuman. Melihat senyum yang tersebar dari para jamaah ketika itu membuat Sandrina merasa nyaman. Ia seperti berada di dunia lain. Dunia yang penuh kedamaian. Sesuatu yang jarang ia rasakan sebelumnya.
Setelah melepas mukena yang Sandrina pinjam dari masjid, ia berdiam diri cukup lama sembari mendengarkan bacaan tartil dari dalam masjid. Tepatnya bacaan dari para ikhwan masjid.
Ya Allah, inikah surga yang selalu Kau promosikan itu?
Amirah menepuk pundak gadis itu pelan. Saat Sandrina menoleh, Amirah pamit pergi.
"Saya balik duluan ya, Dik?"
Sandrina mengangguk, "Iya, Amirah." Amirah berlalu.
Sandrina menoleh pada Amirah yang keluar dari masjid.
Perempuan itu punya wajah yang teduh. Dia ramah. Apakah dalam hidupnya gak pernah punya masalah? Karena itu, dia terlihat begitu damai. Seandainya aku pun sama begitu.
"Seseorang yang bahkan ketika punya masalah pun akan terasa tak punya masalah saat ia dekat dengan penciptanya. Dengan cara apa? Dengan cara memasrahkan segala permasalahan hidup dan mati hanya kepada Allah. Berjanji pada diri sendiri bahwa ia akan melaksanakan berbagai ibadah. Fashta'inu bish-shobri was sholah, mintalah pertolongan kepada Allah dengan sabar dan sholat. Sabar aja gak cukup. Setelah sabar, kita rekatkan kening ini lurus menyamai kaki dari atas sajadah. Merendahkan diri dan hati di hadapan Allah bersama dengan sholat dan doa kita. Menuntaskan permasalahan dengan doa. Insya Allah, ada jalan. Insya Allah, ada jalan."
Justru kultum sore itu yang menjawab pertanyaan dalam hati Sandrina. Kelopak beningnya berair. Semakin lama semakin deras. Gadis itu tertunduk dalam menyayangkan atas sikapnya selama ini yang mengabaikan setiap peringatan dari Sang Ilahi. Tapi semua itu belum tuntas. Masih ada sekelumit ragu dan bimbang dalam dirinya. Masih belum mengerti apa yang sedang ia rasa dan lakukan.
Tak semudah itu menggapai semuanya. Aku hanya butuh sedikit waktu.
«««♡»»»
Sandrina melangkahkan kaki melewati trotoar di depan kantor polsek. Ia baru keluar dari toko buku setelah berbelanja beberapa buku untuk persiapan penelitiannya, tugas dari dosen. Tas jinjing yang ia pegang berisi banyak buku yang baru saja ia beli terjatuh saat seseorang tak sengaja menabraknya karena berlari terbirit-birit. Sandrina hanya melongo dan memilih buku-buku yang tercecer di trotoar. Untungnya masih terbungkus rapi jadi ia tak ambil pusing karena tak tersentuh debu.
Sandrina mengangkat wajah. Ia segera melepaskan tas jinjing yang semula ia pegang erat dan segera berlari menuju ke arah jalan di depannya.
"Nyonya Amelda!" teriak Sandrina.
Wanita yang selalu menutup sebagian wajahnya dengan selendang itu terkapar tak berdaya di pinggir jalan. Sontak semua orang mengerumuninya. Sandrina segera memanggil taksi dan membawa Nyonya Amelda ke rumah sakit.
"Terkutuk manusia itu!" umpat Sandrina sebelum membopong Nyonya Amelda masuk ke dalam taksi. Beberapa orang ikut membantunya. Setelah mengucapkan terima kasih, taksi melaju cepat menuju rumah sakit terdekat.
Nyonya Amelda disayat sebilah pisau pada pergelangan tangannya oleh seseorang yang menabrak Sandrina tadi. Untunglah sikap gesit Sandrina yang segera menyobek selendang yang wanita itu pakai mampu menghentikan aliran darah yang mengucur deras dari pergelangan tangan Nyonya Amelda.
"Gue yakin, ini pasti suruhan orang-orang dari anak pejabat itu. Nyonya Amelda, bertahanlah sebentar," geram Sandrina.
Raut wajah khawatir tak bisa tertutupi dari wajah gadis itu. Sesampainya di pelataran rumah sakit, petugas rumah sakit yang sigap langsung membawa Nyonya Amelda ke ruang UGD. Nyonya Amelda sedang dalam keadaan pingsan karena efek syok dan akibat darah yang keluar terlalu banyak. Lukanya memang cukup lebar. Namun setelah mendapatkan perawatan cepat, luka di pergelangan tangan wanita itu bisa segera diatasi sedini mungkin.
"Untunglah tidak sampai ke urat nadi, jika itu sampai terjadi, akibatnya akan sangat fatal. Silakan lakukan pendaftaran dulu ke bagian administrasi, Nona," ujar seorang perawat pada Sandrina.
Sandrina menghela napas lega dengan memejamkan mata sejenak. "Terima kasih, Ya Allah," gumamnya.
Sementara Sandrina melakukan pendaftaran, Nyonya Amelda dibawa ke ruang perawatan. Sandrina melangkah ke ruangan wanita itu. Ia duduk di kursi dekat tempat tidur Nyonya Amelda sambil bertopang dagu. Sandrina cukup meringis sebentar karena sebagian wajah Nyonya Amelda agak kisut. Sepertinya wajah wanita itu pernah terbakar karena itu ia selalu menutupi bagian wajahnya yang keriput dengan selendang.
"Hatimu sangat baik, Nyonya Amelda. Kau bahkan rela mengorbankan nyawamu demi membelaku di persidangan. Semoga Allah membalas kebaikanmu," gumam Sandrina.
Sandrina terus saja memandangi wajah wanita di depannya itu. Wajah itu mengingatkannya akan sosok ibu kandungnya sendiri. Tak terasa air matanya meleleh membasahi pipi. Entah mengapa sekarang ia lebih sering menangis. Sisi angkuhnya hanya seketika saja muncul. Rasa empati dan peduli justru kini lebih mendominasi dirinya. Namun ia abaikan perubahan sikapnya itu. Sandrina pikir, itu hanya efek kondisional saja.
-※★♡★※-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top