8. Amarah dan Kerinduan

Andaikan ada kesusahan, aku akan memilihnya. Asal tanpa kerinduan pada keluarga. Mereka yang tak tergantikan.

Sandrina_

Sandrina kembali masuk kuliah seperti biasa. Semua orang berusaha menyapanya seramah mungkin. Namun Sandrina tetaplah Sandrina. Sikap tak acuhnya membuat semua orang dianggapnya angin lalu. Ana masih dirawat kembali di rumah sakit karena menjalani beberapa pemeriksaan dengan fisik yang belum stabil. Sandrina sesekali mengunjunginya. Sedikit perubahan terjadi, Sandrina lebih memperhatikan sekitar walau sikap tak acuh memang masih mengekangi dirinya.

Andin dan Rina masih setia mendampinginya. Namun sikap membuli dan mengancam pada teman sebaya sudah tak lagi mereka lakukan.

“San, lo dipanggil Pak Hendri noh,” ucap Andin. “Mo minta maaf dia kali.” Andin malah tersenyum seolah ingin mencibir Pak Hendri.

Sandrina tanpa menanggapi ucapan sang kawan, melipir begitu saja ke ruangan Pak Hendri. Sesampainya di dalam ruangan dosennya itu, Pak Hendri memang benar meminta maaf atas kekeliruannya.

“Saya tak menyangka anak saya seperti itu. Maafkan saya,” tukas Pak Hendri.

“Saya maafin, Pak. Tapi lain kali jangan langsung menilai sesuatu sebelum membuktikannya. Karena kulit kadang tak sama dengan isi. Saya permisi kalo begitu,” ucap Sandrina. Setelah itu, dia keluar ruangan Pak Hendri.

Langkah kaki Sandrina menuju ke kelas. Masih saja banyak mahasiswa yang berbisik-bisik melihatnya. Tanpa peduli Sandrina terus saja berjalan. Langkahnya terhenti saat melihat seorang temannya yang sedang menggigil pucat di pojokan koridor kampus yang sepi. Awalnya ia acuh, tapi saat melihat salah satu temannya itu sedang berbicara sembunyi-sembunyi dengan teman lainnya, barulah Sandrina menyadari seorang temannya itu menyodorkan satu plastik kecil bubuk putih padanya. Sepertinya mereka sedang bertransaksi obat-obatan terlarang.  Sandrina melewatinya begitu saja sambil menggeleng pelan. Satu pelajaran lagi yang ia ambil. Ia termasuk manusia yang selamat. Selamat dari kebinasaannya sendiri.

Seandainya nasib malang ini mengantarkanku pada sebuah kecerobohan, hal itu malah akan semakin menjatuhkanku. Dan akhirnya, aku akan mati perlahan dengan sia-sia.

Sandrina memandang langit biru dari atap gedung bangunan kampus. Langit yang cerah. Awan hanya sebersit kapas halus karena lebih didominasi warna biru.

Tuhan, sealpanya diriku, Kau masih menjagaku. Semoga aku bisa menemukan-Mu.

“Sandrina. Gimana kabar lo?”

Seseorang mengatakannya dari belakang. Sandrina menoleh. Mario tersenyum manis padanya. Sandrina masih bergeming dan akhirnya mengangguk pelan.

“Baik.”

Sandrina kembali memandangi langit. Lihatlah bagaimana langit menebarkan lukisan maha karyanya siang itu. Taburan awan seperti kapas putih mulai berarak. Sebagian awan di bawahnya bergerak menjauh ke arah barat. Dan lihatlah burung-burung bersama gerombolannya yang bertebar di bawah awan. Sandrina tersenyum sendiri melihatnya.

Mario masih berdiri menatapnya. Ia berjalan mendekat pada si gadis yang menatap langit.

“Gue sering liat lo natap langit. Apa lo suka langit?” ucap Mario dengan pertanyaan basa-basinya memulai pembicaraan.

“Gue gak suka apapun, kecuali langit. Ada kejujuran dan kesehajaan di situ. Ada makna kejujuran. Dan sekarang yang gue lihat adalah syukur. Langit ngajarkan gimana rasanya bersyukur.”

Mario sedikit menautkan kedua alisnya. Bagiamana tidak, seorang Sandrina yang biasanya tak acuh dan memilih bungkam saat diajak bicara, malah kini dengan lancarnya mengutarakan filosofi langit versinya. Mario tersenyum samar.

“Ternyata sebuah kasus bisa ngubah keribadian seseorang ya,” sindir Mario dengan sebuah senyuman kecil.

Sandrina yang tersadar dengan ucapan Mario langsung terdiam. Ia hendak beranjak dari tempat itu, namun ucapan Mario menahannya.

“Gak usah dipikirin omongan orang. Bukannya itu yang jadi pribadi lo?”

Sandrina dibuatnya terdiam lagi. Ia memilih berhenti dan menghela napas pelan serta menejamkan mata sesaat.

“Kok gue jadi serba salah?” tanya Sandrina membuat Mario cekikikan dibuatnya.

“Lo malah ngerasa bersalah. Ya itu hidup lo sekarang. Nikmatin aja. Nikmat 'kan bisa peduli sama orang lain?”

“Maksud lo apa?”

“San, jujur gue ikut persidangan lo kemaren dari awal sampe akhir. Sampe tuntas. Dan yang gue tangkap di situ adalah persepsi hidup lo keliru besar.”

Sandrina melipat kedua tangannya di dada. Ia berbalik menghadap Mario dengan tatapan tajamnya.

“Gak usah keliling dunia dulu buat jelasin. Gue gak ngerti maksud lo!”

Mario terbahak mendengar gadis di depannya itu mulai merespon setiap tingkah dan ucapannya walaupun dengan sedikit emosi.

San, lo mulai berubah peduli sama sekitar lo.

“Selama ini lo selalu mikir gak ada orang yang peduli sama lo. Flashback-nya, lo gak peduli sama sekitar lo. Ternyata survey membuktikan ..., jreng jreeengg ..., di pengadilan, semua orang belain lo!” tunjuk Mario.

“Mereka semua peduli sama lo! Di balik diamnya mereka. Mereka simpati sama lo. Lo sekarang jadi mikir 'kan, orang yang diem gak selalu berarti gak peduli?”

Lepas mengatakan itu Mario tertawa. Bukan mentertawakan Sandrina akan sikapnya. Namun mentertawakan bahwa tebakannya kali ini benar. Terbukti Sandrina lebih banyak diam seolah berpikir dan mengatakan ‘iya.’

Pemuda berwajah oriental itu mendekati Sandrina dan membisiki gadis itu sesuatu.

“Berubahlah bukan karena sikap orang lain terhadap kita, tapi karena diri kita sendiri membutuhkan orang lain. Setiap saat, setiap waktu. Kita ini zoon politicon. Jangan lupakan itu.”

Mario berlalu setelahnya meninggalkan Sandrina sendirian mematung dan mencerna setiap ucapan pemuda itu.

Benarkah yang diucapkan Mario, Ya Allah?

Sandrina tergagap sendiri. Kenapa ia menyebut Tuhan. Dzat yang nama-Nya, ia kubur dalam-dalam.

««♡»»

Sandrina masih berdiam di tepi danau yang bersebrangan langsung dekat pantinya. Sesekali ia menengok ke bangunan tinggi di balik rerimbunan pohon. Yah, itulah Panti Cahaya Bunda, tempatnya menaungkan hidup.

Kenapa gue mesti tinggal di situ? Di mana orang tua gue sekarang? Kenapa mereka gak nyari gue setelah kejadian kebakaran beberapa belas tahun itu? Gue di sini, sendirian. Gue juga pengen punya keluarga. Tinggal di atap yang satu sama mereka. Mama, papa dan adik gue. Di mana mereka? Belasan tahun gue nunggu ketemu sama mereka. Belasan tahun gue berharap ketemu sama mereka. Dan belasan tahun gue bungkamin rasa ini demi mereka. Gue juga manusia, gue kangen sama mereka.

Tak terasa air mata Sandrina jatuh membasahi pipi mulusnya. Lamat-lamat pandangannya mengabur. Entah mengapa langit seakan ingin menutupi kesedihannya. Hujan yang awalnya menetes pelan menjadi kian deras. Sandrina sesenggukan di tengah derasnya hujan. Tangisnya semakin pecah.

“Selama ini gue gak pernah nangis bukan karena gue angkuh, tapi karena gue gak mau dibilang lemah karena cerita hidup gue! Mungkin orang lain bakal terima hidup kek gue, Tuhan! Tapi mereka beda sama gue, gue pernah punya kehidupan yang harmonis sama keluarga gue dan gue dipisahin setelah kenangan itu udah melekat di otak gue! Tolong pahamin gue!” pekiknya frustasi di antara tetesan hujan dan guntur yang bergemuruh.

Sandrina menangis sejadinya. Ia menjatuhkan diri ke tanah. Tangannya menggenggam erat setiap rumput yang tersisa. Amarah dan kerinduan sama-sama melandanya. Selama ini ia bertahan dengan semua itu. Mencegah sebuah tangisan turun. Namun kali ini jiwanya benar-benar tergoncang. Sandaran hidup pada orang tua sudah hilang darinya.

Gimana cara gue bersyukur. Sementara kehidupan gue sama keluarga gue dulu gak tergantikan oleh apapun. Kasih sayang mereka gak tergantikan oleh apapun.

Seseorang dari balik kaca mobil tengah menatapnya haru. Walaupun hujan bergemuruh begitu deras, ia bisa mendengar teriakan gadis malang itu. Ia menyeka air di sudut mata dan segera mengenakan kaca mata hitamnya. Orang itu menyuruh sang sopir beringsut dari tempat itu.

—※★♡★※—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top