7. Keputusan Hukum
Setiap peristiwa memang tak selalu menyenangkan. Namun yang paling utama adalah saat peristiwa itu mampu memetamorfosa diri kita menjadi seorang manusia seutuhnya.
Sandrina_
Siang itu masih di dalam bui, Sandrina menuju tempat makan. Ia masih belum diijinkan untuk pulang ke panti sebelum dirinya dinyatakan tidak bersalah. Sandrina mengiyai saja, karena baginya, di manapun ia tinggal akan terasa sama.
Kakinya melangkah menuju dapur dan mengambil makan siangnya. Lepas jam istirahat itu, semua penghuni penjara harus kembali ke dalam jeruji besi, tempat penebusan dosa di dunia tepatnya. Begitu aturan yang ada di lembaga permasyarakatan tersebut.
Sandrina makan dengan lahap seperti biasa tanpa menpedulikan sekeliling. Beberapa wanita yang juga penghuni bui tersebut mencoba mengajaknya bicara, tapi Sandrina memilih tak acuh dan segera pergi begitu saja.
Jam istirahat masih tersisa, Sandrina memilih duduk di depan mushola yang beralaskan keramik. Dari dalam mushola itu, ia mendengar seseorang menangis tersedu sedan sampai ia harus mengangkat wajah dan menoleh ke dalam mushola. Ia mengangkat bahu tak acuh dan hanya tersenyum miring. Sandrina tak peduli, namun saat akan bangkit menuju ke dalam ruangan berjeruji besinya, ia terhenti sejenak. Si wanita yang tadinya menangis di dalam mushola terdengar melantunkan ayat-ayat suci dengan suara yang menurutnya menarik dan menyentuh hati. Sandrina duduk kembali dan diam-diam, ia mendengarkan dengan seksama suara wanita itu. Entah mengapa jiwanya merasa tenteram.
Sandrina menatap ke atas langit berwarna biru dengan sedikit warna putih dari awan yang berarak sambil tetap menikmati lantunan ayat yang dibacakan wanita itu. Tak terasa air matanya jatuh begitu saja. Gadis itu meraba pipinya yang basah. Ia menangis. Sangat jarang dirinya menangis. Semua masalah yang ia alami selalu dihadapi dengan emosi dan balas dendam, tapi kali ini ia benar-benar menangis. Sandrina segera menghapusnya.
“Ngapain gue nangis?” gumamnya sembari berpikir tak mengerti.
Setelah itu, ia beranjak pergi. Namun sepanjang perjalanan melewati sepanjang koridor penjara, tangannya menyapu setiap jeruji besi yang ia lewati dengan termenung. Hatinya kembali ingin mendengarkan lantunan ayat seperti tadi, seperti yang wanita itu lantunkan.
Suara merdu itu seperti sebuah candu yang menghipnotis gue. Tak ada beban, tak ada masalah. Hening dan tenang. Ada apa sama gue? tanya Sandrina pada dirinya sendiri di dalam hati.
Sampai di dalam penjara pun, dia masih berpikir soal lantunan ayat yang ia dengar tadi. Ia menggeleng kepalanya cepat,
Pasti ini hanya perasaan gue aja.
Sandrina segera menarik selimut dan menutup tubuhnya. Setelah itu, ia memilih tidur tanpa memikirkan apapun lagi.
«««♡»»»
Sidang kembali dibuka. Sepertinya hari itu akan menjadi hari terakhir Sandrina merasakan dinginnya ruangan berterali besi, beralaskan lantai dan dinding yang kusam. Lihat saja, beberapa calon terdakwa yang ada dalam video sudah hadir. Lengkap juga bersama si anak pejabat. Pemuda itu nampak pongah bersama pengacaranya. Sandrina menoleh dan menatap tajam matanya. Entah karena memang tatapan tajam gadis itu begitu menusuk, si anak pejabat terlihat gusar dengan wajah tertunduk kemudian.
Persidangan sepanjang hari itu terlihat alot. Si anak pejabat yang bernama Revan tidak mengakui perbuatannya dan menganggap video itu hanya mengada-ada. Karena wajahnya dalam video sendiri terlihat samar. Ia menganggap orang dalam video itu hanya mirip dirinya. Revan dan pengacaranya bahkan mengancam akan menuntut balik Nyonya Amelda atas tuduhan pencemaran nama baik. Sandrina yang jelas menjadi terdakwa di situ hanya bisa pasrah. Nyonya Amelda benar-benar memperjuangkan Sandrina. Wanita berselendang itu malah bersedia dituntut balik jika memang ia melakukan saksi palsu. Namun dengan kekuatan manipulasi, sepertinya orang tua Revan juga tak tinggal diam. Dengan jabatan yang ia miliki, mudah saja baginya menyumpal beberapa oknum advokat. Mereka berdalih si Revan sedang ada dalam sebuah acara launching produk dalam waktu yang bersamaan dan beberapa orang ternyata bisa membuktikan itu. Nyonya Amelda menarik napas panjang.
Sandrina tertunduk dalam. Namun dalam jiwa, entah mengapa lantunan yang ia dengar tadi terngiang-ngiang di isi otaknya. Tenang mengalun dan mengalir ke dalam sanubarinya. Tanpa ia sadari, lidah diamnya menyebut nama Allah berkali-kali.
Ya Allah, jika Kau adalah kenyataan dalam hidup manusia. Buktikan itu padaku sekarang. Dan aku berjanji akan menghamba pada-Mu.
Gimanapun juga, Nyonya Amelda udah berjuang buat gue.
Nyonya Amelda hanya diam. Sikap bijaknya berpikir cukup lama.
“Saya meminta waktu sejenak.”
Setelah itu, Nyonya Amelda beranjak dari kursi persaksiannya. Hadirin sedikit ricuh terlebih saat Nyonya Amelda terlihat akan menyerah. Sesungging senyum miring mulai terpancar dari bibir seorang gadis di kursi belakang peradilan.
Sayang seribu sayang bagi Revan dan para perangkat yang membelanya. Seseorang berkursi roda memasuki ruang peradilan dan mengagetkan semua orang. Ia bersama sang bunda dengan mata yang sembab. Pak Puji yang berada di ruang peradilan segera bangkit melihat anak dan istrinya.
“Aku adalah korban sesungguhnya di sini,” ucap gadis itu dengan nada lemah.
Semua perhatian hadirin tertuju padanya. Seorang advokat mendekati hakim ketua dan membisikinya sesuatu. Hakim ketua nampak mengangguk bersama kedua hakim anggota. Panitera acara mendekati sang hakim dan berbicara pelan. Tak lama ia mengangguk dan duduk di tempatnya semula.
“Dipersilakan kepada Saudari Ana Irzana untuk memberi kesaksian langsung. Saudari Ana Irzana adalah ujung tombak dari kasus ini karena dia adalah korban yang sesungguhnya,” jelas panitera acara.
Revan yang sedari tadi tak tenang semakin menampakkan sikap bingungnya. Perangkat advokat yang menjadi pembelanya sedari tadi juga terlihat berpikir keras, sepertinya mereka mempersiapkan wacana apa yang akan disampaikan untuk membela kliennya itu lagi.
Ana duduk di kursi depan sebagai saksi sekaligus korban. Walaupun tubuhnya nampak begitu lemah, tapi ia sudah berjanji akan mengungkap yang sebenarnya.
Ana mulai menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya dari awal perjanjiannya dengan Sandrina akan bertemu. Fisiknya yang masih lemah didampingi oleh sang bunda. Ia diberi waktu untuk beristirahat sejenak, namun Ana menolak dengan alasan kasus ini harus segera diselesaikan.
Dan yang jelas menjadi tersangka utama dalam kasus Ana adalah Revan dan teman-temannya. Ia masih setengah sadar waktu mereka menyelipkan obat di mulut dan saat seseorang mengambilnya. Cerita Ana jelas sekali selaras dengan kesaksian Nyonya Amelda.
Hakim dan seluruh perangkat peradilan akhirnya meminta waktu sejenak untuk memutuskan perkara tersebut. Setelah itu, hakim mengetokkan palu bersama beberapa keputusannya. Revan dan teman-temannya menjadi tersangka dan dijatuhi hukuman penjara maksimal 5 tahun penjara. Soal Sandrina, ia dibebaskan dari gugatan karena dinyatakan murni tidak bersalah. Orang yang menuduh Sandrina juga dikenakan hukuman penjara selama beberapa bulan saja dan berupa denda tiga juta rupiah.
Sandrina yang kaku dan pantang menangis, tak bisa menyembunyikan perasaan haru atas pembelaan semua orang terhadapnya. Ia segera berlari mendekap Ana dan menangis.
“Ana maafin gue,” ucap Sandrina yang dibalas rangkulan langsung oleh Ana.
Pak Puji juga meminta maaf pada Sandrina. Sementara Ibu Maya langsung menemui Sandrina. Sandrina juga langsung memeluk ibu asuhnya itu dengan tangisan haru. Ibu Maya tak bisa menahan tangis juga. Hari itu benar-benar menjadi hari bersejarah bagi Sandrina. Kejadian itu memukul sanubarinya bahwa tidak ada yang tidak mempedulikannya. Namun yang sangat ia sayangkan, Nyonya Amelda sudah menghilang sebelum ia mengucapkan terima kasih.
3 hari kemudian ....
“Maafin gue,” ucap gadis itu lirih saat Sandrina menjenguknya di balik jeruji besi.
Posisi mereka kini bertukar tempat, tapi bedanya, Sandrina menemuinya dengan perasaan tenang tanpa ada dendam.
“Gue makasih karena di balik ini semua, banyak hal yang gue bisa pelajari,” ucap Sandrina.
Sandrina melangkah pergi setelahnya.
“Sandrina!” panggil gadis itu.
Sandrina berhenti tanpa menoleh.
“Maafin gue,” lanjut gadis itu dengan nada tulus.
“Gue gak butuh maaf, gue harap perasaan gak suka lo sama orang kek gue itu gak terulang lagi. Karena lo lebih punya segalanya timbang orang kek gue.” Sandrina menoleh dan menatap tajam temannya. “Wanda,” lanjut Sandrina. Wanda mengangguk pelan dan kemudian tertunduk sembari memegangi terali besi dengan senyum kecut.
Sandrina melanjutkan langkahnya dan berhenti saat melewati mushola. Lantunan ayat itu memang tidak terdengar lagi, namun kenangan akan ayat itu mengingatkannya akan janjinya pada Sang Maha Kuasa. Ia menatap langit biru dengan sedikit awan di atasnya yang tanpa penghalang apapun.
Mampukah aku mendekati-Mu, Sang Penguasa yang kutahu sering dipanggil Allah? Tugas-Mu padaku sekarang hanya satu. Kenalkan aku pada-Mu dengan cara tunjukkan aku ke jalan-Mu.
—※★♡★※—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top