6. Titik Terang
Takar saja antara kebenaran dan kezaliman. Walaupun kadang berawal kekalahan, namun kebenaran selalu berhasil menemukan jalan terbaiknya. Dan biarkan senyum belakangku yang menang.
Sandrina_
Di balik jeruji besi dan lantai yang dingin, Sandrina bertekuk lutut memeluk kedua lengannya sendiri. Ia masih berpikir keras tentang wanita itu. Dua kali wanita itu mencoba menolongnya. Rasanya mustahil saja jika wanita itu secara tak sengaja ingin membelanya.
Keesokan harinya, seorang pengacara datang menemui Sandrina. Lagi, seseorang berniat menolongnya.
"Siapa yang menyuruh Bapak?" tanya Sandrina sembari menautkan kedua alis.
"Pak Rain."
"Pak Rain?"
Sandrina membuka mulut tak percaya. Laki-laki itu yang menolong panti dan sekarang dirinya.
"Boleh saya tahu alasan Pak Rain menolong saya, Pak?"
"Saya kurang paham soal itu, Nona Sandrina. Pak Rain hanya pernah bilang kalo dia tidak mau panti yang dia lindungi itu tercemar nama baiknya, itu saja."
Sandrina tergagu. Mungkin Pak Rain hanya berniat menolong Ibu Maya dan panti saja. Ia menghela napas lega dan cukup berterima kasih dalam hati karena dirinya masih beruntung dikelilingi oleh orang-orang yang ingin melindunginya. Sandrina tersenyum sebagai ucapan terima kasih pada pengacara di depannya.
"Sampaikan salam terima kasih saya pada Pak Rain, Pak. Maaf, saya harus memanggil Bapak dengan ...."
"Panggil saja saya Pak Sukarso, pengacara Anda, Nona."
Sandrina mengangguk dengan senyum yang terbingkai manis di bibirnya sebagai tanda rasa senangnya sekarang.
"Terima kasih banyak, Pak Sukarso."
Pengacara itu tersenyum tipis dan kemudian pamit pulang. Sandrina kembali dimasukkan ke dalam ruangan gelap dan dingin itu oleh petugas, tapi senyumnya mulai berkembang. Karena harapannya mulai menemukan titik terang.
Sandrina duduk di lantai dingin itu dengan punggung yang bersandar pada tembok yang mulai berlumut di bagian bawahnya. Wajahnya menengadah ke langit-langit ruangan berjeruji besi itu.
"Gue gak tahu sama Lo, Tuhan. Walaupun semua orang coba ngenalin gue sama Lo, tetep aja gue gak tahu dan gak mau tahu sama Lo! Tapi sekarang gue mulai mikir, keknya Lo beneran ada. Tiap gue susah mikir tentang Lo. Lo kek nyempetin ngenalin diri Lo ke gue. Kalo Lo emang beneran ada, semoga di kemudian hari, gue gak lewatin Lo," ucapnya bermonolog.
Penghuni penjara lain yang melihatnya bicara sendiri, menatap Sandrina aneh.
"Ngapain lo liatin gue?" tanya Sandrina ketus.
Wanita yang juga narapidana itu hanya memutar bola mata malas dan memilih merebahkan diri tanpa menghiraukan ucapan Sandrina. Sandrina pun membetulkan letak bantal yang lusuh itu dan tertidur di atas lantai dingin beralaskan tikar tipis. Bagi Sandrina, hal itu bukanlah masalah besar.
«««♡»»»
Hari ini sidang putusan peradilan akan diambil menilik dari validasi bukti dan saksi yang kuat. Sandrina sedikit tersenyum dan tak seperti biasanya dengan wajah datar. Mungkin saja kesulitan yang menimpanya saat ini memberikan sedikit makna syukur pada dirinya bahwa hidup memang harus dinikmati. Ibu Maya pun mengusap bahunya perlahan dengan kelegaan hati. Wanita berselendang kemaren membawa angin segar pada putusan peradilan bagi Sandrina. Terlebih Pak Rain juga ikut mendukung gadis itu dengan membawa pengacara.
Saat beberapa berita acara peradilan disampaikan, Sandrina tersenyum samar. Ia sangat berterima kasih dengan orang-orang yang masih mempedulikannya.
"Terima kasih, Tuhan. Siapapun Lo, semoga nantinya gue bisa kenal Lo," ucapnya samar.
Wanita berselendang masuk sebagai saksi dan duduk di antara para audien. Bukti berupa video compact disk yang ia serahkan kemaren mulai dipersiapkan. Perlengkapan berupa LCD proyektor dan pemutar video sudah ada. Saat semua siap, hadirin mulai tenang dan menyimak.
Gambar yang diambil nampak bergerak saat seorang laki-laki yang masih nampak muda, namun terlihat gagah menyapukan dan menekan sapu tangan ke hidung seorang gadis yang tak lain adalah Ana Irzana. Seketika itu juga Ana limbung. Mereka menyeret Ana masuk ke dalam mobil. Setelah itu, nampak video jeda sejenak. Setelah gambar bergerak itu muncul lagi, suasananya sudah berbeda seolah berada di sebuah lubang kecil yang didekatkan oleh kamera video. Kejadian di dalam ruangan pengap itu tak bisa dibayangkan. Bagaimana tidak, Ana diperlakukan secara tidak manusiawi. Semua hadirin di persidangan dibuat menjerit dan meringis, sebagian menangis. Ana ditendang dan dipukul karena ia tetap ngotot akan melaporkan anak pejabat itu. Si anak pejabat merah padam karena marah. Ana tetap bersikeras tak mau mengalah dan menyerah, walaupun sebagian kulit halusnya sudah lebam dan babak belur. Anak pejabat itu seolah mengisyaratkan sesuatu pada seorang temannya. Seorang pemuda nampak memukul leher belakang Ana. Gadis itu luruh jatuh ke tanah ruangan itu dan akhirnya tak sadarkan diri. Mereka memasukkan sebuah pil ke dalam mulut Ana. Setelah itu mereka pergi. Kamera video bergerak mengikuti ke mana arah perginya para pemuda. Setelah dirasa sunyi, kamera bergerak mendekati si gadis yang terkapar di tanah. Nampak sebuah tangan yang berbungkus handscoon meraba mulut Ana dan mengeluarkan pil yang dimasukkan oleh para pemuda tadi. Setelah itu, video mati dan suasana di persidangan kembali tenang.
Wanita berselendang diminta kesaksiannya yang sudah membawa bukti berupa video itu. Ia mengeluarkan bukti baru berupa pil yang sama persis dengan pil yang dimasukkan ke dalam mulut Ana.
"Pil apa ini?" tanya hakim.
"Pil yang ada di dalam video itu, Yang Mulia. Saya sudah meminta seorang teman apoteker untuk memeriksanya. Dan ternyata, itu adalah pil dosis tinggi yang bisa membuat peminumnya hilang ingatan atau depresi. Cara kerjanya ringan sekali. Tinggal memasukkan ke dalam mulut dan obat itu akan terurai sendiri dengan cepat bersama air liur. Sedikit saja si peminum menelannya, efeknya sangat drastis, syaraf di otaknya akan sulit menerima informasi yang tersimpan atau bahkan mengacaukan memori di otak."
"Apa kesaksian Anda bisa dipercaya, Nyonya?" sela seorang advokat dari keluarga Ana.
"Anda bisa memeriksanya ke bagian medis yang paling terpercaya sekalipun. Saya sudah memeriksa itu juga ke bagian farmasi di sebuah rumah sakit ternama."
Seluruh hadirin yang hadir menggeleng tak percaya.
"Persidangan ini saya tunda nanti jam 3 sore untuk menunggu hasil pemeriksaan barang bukti berupa pil atau obat ini."
Setelah mengatakan itu, hakim mengetok palu 3 kali dan persidangan terpaksa ditunda sampai sore.
Ibu Maya menemui Sandrina yang masih tertunduk di kursi pesakitannya di depan hakim. Hakim dan seluruh perangkat peradilan sudah keluar meninggalkan tempat itu.
"Ini cukup rumit, Bu," ucap Sandrina pada Ibu Maya.
Ibu Maya menggeleng pelan dan menatap Sandrina dengan lembut sambil mengusap rambut gadis di depannya itu.
"Ini adalah jalan menuju kebebasan dari fitnah yang menimpamu, Nak. Sesadis-sadisnya dirimu pada orang yang kamu aniaya, ibu tahu, kamu gak sampai sesadis mereka. Dan ibu juga tahu, kamu gak niat buat nyakitin teman-temanmu. Niatmu hanya ingin mereka tidak mengganggu kehidupanmu lagi. Ibu hanya berharap, setelah ini kamu bisa ambil banyak pelajaran dari ini semua. Berubahlah, Nak, berubahlah dengan sikap lembutmu pada orang lain. Ini juga teguran dari Tuhan."
Sandrina mengangkat wajah dan menatap balik wajah Ibu Maya. Setelahnya ia menatap ke arah lain.
"Siapa yang peduli dengan kehidupanku, Bu. Hidup yang kukenal seperti itu adanya. Semua orang seperti di hutan rimba. Siapa yang menang, dia yang senang."
Ibu Maya mendesah pelan. "Ubah cara berpikirmu, Nak. Kita manusia bukan hewan. Kita tidak hidup di hutan. Tiap hati manusia masih tersambung dengan akalnya. Masih bisa berpikir."
Ibu Maya menepuk pundak Sandrina dan berlalu keluar ruangan. Sandrina hanya bisa menatap langkah wanita yang mengasuhnya dari kecil itu dari bawah. Tatapan matanya tak sengaja bertemu dengan wanita berselendang yang duduk di belakangnya. Wanita itu segera berpaling dan menutup sebagian wajahnya dengan selendang. Setelah itu, ia beranjak pergi.
"Tunggu!" panggil Sandrina dengan segera bangkit dari kursi.
Wanita itu bergeming dengan tidak menoleh ke arah Sandrina di belakangnya.
"Saya ucapkan banyak terima kasih. Saya gak tahu siapa Anda. Mungkin saja Anda adalah malaikat yang Tuhan kirim buat manusia buruk seperti saya. Sekali lagi terima kasih," ujar Sandrina.
"Kamu gak perlu berterima kasih, Nak. Aku hanya tidak suka dengan ketidakadilan. Kamu gak bersalah sama sekali dalam hal ini. Aku pastikan, kamu terbebas dari tuduhan manipulasi ini."
Sandrina mengangguk. "Terima kasih," ucap Sandrina lirih, namun bisa didengar oleh si wanita berselendang.
«««♡»»»
Sidang kembali dilanjutkan saat jam tepat menunjukkan angka 3 sore.
Barang bukti baru berupa pil tadi sudah dicek pada bagian medis dan keterangan dari wanita berselendang dinyatakan benar adanya. Pil tersebut adalah obat perangsang syaraf untuk mengaburkan sistem memori otak. Tujuannya tak lain adalah agar si korban lupa pada orang-orang yang sudah menganiayanya. Bahkan, korban bisa hilang ingatan permanen jika obat tersebut tertelan seluruhnya. Mendengar pernyataan tersebut dari panitera peradilan, semua yang hadir berdecak heran. Apakah benar ada manusia setega itu melakukan penganiayan terhadap korbannya.
"Nyonya Amelda, silakan ke depan sebagai saksi," panggil seorang advokat pada wanita berselendang yang ternyata bernama Amelda melihat dari KTP yang ia tunjukkan pada persidangan sebelumnya.
Wanita bernama Amelda maju ke depan. Ia duduk dengan tenang.
"Lalu, saputangan yang Anda bawa, juga sudah kami periksa. Dan benar adanya sesuai keterangan Nyonya bahwa dalam saputangan tersebut mengandung obat bius. Terima kasih atas kesaksian valid Nyonya."
Hadirin nampak bertepuk tangan yang langsung direspon ketuk palu oleh hakim. Suasana kembali hening.
"Nyonya Amelda, bisa Anda beri kesaksian bahwa Saudari Sandrina di sini bukan sebagai terdakwa? Anda hanya membuktikan kronologi kejadian yang menimpa korban yaitu Nona Ana, tapi Anda belum memberi kesaksian soal ketidakterlibatan Saudari Sandrina dalam kasus ini," ujar pengacara Keluarga Ana.
"Masalah itu saya serahkan pada pengacara Sandrina," ujar Amelda.
Dalam hal ini, Amelda memberikan kesempatan pada Pak Sukarso selaku pengacara Sandrina untuk memberikan pembelaannya terhadap Sandrina, kliennya.
"Silakan, Pak Sukarso," ujar hakim ketua.
"Terima kasih, Yang Mulia. Terima kasih, Nyonya Amelda. Saya rasa, kita perlu memanggil para terdakwa yang ada di dalam video tadi. Sepertinya hal itu tidaklah terlalu sulit. Mereka yang bisa memberikan jawaban langsung di sini. Terutama, anak pejabat dalam video tersebut."
Jawaban ringkas dari Pak Sukarso seketika membuat seisi ruang persidangan riuh. Sebagian besar dari mereka setuju dan menganggukkan kepalanya. Hakim kembali mengetokkan palu. Hadirin kembali tenang. Tanpa mereka semua tahu, seorang gadis di ujung sana terlihat keluar ruangan terburu-buru dengan keringat dingin membasahi tubuh. Ia terlihat melakukan panggilan cepat pada seseorang.
"Sekarang lo udah terbukti bersalah, Van! Lo cepet lakuin sesuatu! Wajah lo di video itu emang samar, tapi temen-temen lo, mereka gak akan lepasin lo juga!" ucapnya setengah berteriak.
Setelah mematikan sambungan telepon, ia memijit pelipis dan keningnya bergantian. Sikapnya tak tenang. Keringat dingin masih setia membasahi sekujur tubuhnya. Raut ketakutan terpancar jelas dari mata. Ia menggigit bibir frustasi.
"Gue kira Ana koma bisa mempermudah jalan gue buat jeblosin Sandrina, anak panti sialan itu. Buat tu anak menderita! Malah datang wanita yang sok jadi malaikat kesiangan! Sial!" makinya sendiri.
Persidangan kembali ditunda beberapa hari lagi untuk mengumpulkan barang bukti dan saksi baru sekaligus menghadirkan orang-orang yang ada di dalam video. Tak ayal si anak pejabat dan gadis itu berang bercampur takut.
-※★♡※★-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top