4. Sebenarnya Rapuh

Jatuhnya air mata adalah pantangan terbesarku karena air mata hanyalah lambang kelemahan. Dan aku bukan manusia lemah.

Sandrina_

»»»♡«««

Langkah kaki Sandrina tergesa memasuki pelataran rumah sakit. Ia harus segera menemui Ana, apapun yang terjadi. Sampai di bagian customer service, ia menanyakan kamar Ana. Pegawai rumah sakit mengatakan kamar Ana berada di nomor 210. Langkah kakinya berlanjut menuju kamar yang ditunjuk. Sepanjang koridor, gadis itu celingukan mencari. Setelah mencapai nomor kamar 210, ia berhenti dan hendak masuk, namun lengannya ditahan oleh seseorang. Sandrina terkejut dan menoleh. Seorang laki-laki tambun mencegahnya masuk.

“Siapa kamu mau masuk sembarangan?” tanya laki-laki itu.

Sandrina tercekat dan menjawab seadanya. “Saya Sandrina, Pak. Saya temen Ana. Saya mau jenguk Ana.”

“Tunggu, jadi kamu yang bernama Sandrina?” selidik laki-laki yang tak lagi muda itu.

“Iya, Pak.”

“Ana sering cerita tentang kamu kalo kamu yang sering menganiaya Ana dan teman-teman kampusnya, dan sekarang kamu mengaku teman Ana? Sulit dipercaya. Jangan-jangan kamu yang ....” Belum selesai laki-laki separuh baya itu berkata, seorang perempuan berteriak memanggil nama Sandrina di belakangnya.

“Sandrina!” teriak gadis itu lagi dengan lantang.
Ia melangkah cepat dan berdiri di samping laki-laki tambun tadi.

“Bapak benar, dia ini Sandrina yang jadi tersangka utama atas penganiayaan terhadap Ana anak Bapak dan percobaan pemerkosaan oleh teman-teman dia!” ucapnya dengan lantang sembari menunjuk Sandrina.

“Fitnah! Itu fitnah, Pak!” Sandrina berteriak tak kalah lantang.

“Siapa juga kamu?” tanya Pak Puji yang tak lain adalah papa kandung Ana, melirik ke arah gadis yang berdiri di sampingnya.

“Saya Wanda, Pak. Teman Ana. Yang sering mergoki Ana dianiaya sama orang ini,” tunjuk Wanda lagi pada Sandrina.

Sandrina emosi. Ia meraih rambut Wanda dan lantas menjambaknya. “Hati-hati kalo lo ngomong. Gue bisa bunuh lo!” geram Sandrina dengan gigi gemerutuk.

“Bapak bisa lihat sendiri kan gimana dia?” ucap Wanda sambil meringis menahan sakit. Ia memegangi rambutnya yang ditarik oleh Sandrina.

“Lepasin dia! Atau aku laporkan kamu pada polisi sekarang juga!” bela Pak Puji pada Wanda.

Sandrina akhirnya melepaskan rambut Wanda dengan dada yang masih naik turun. Bisa-bisanya Wanda berkata demikian. Sesuatu yang Wanda tidak tahu kejadian sebenarnya. Sandrina hanya tak habis pikir terhadap teman kampusnya itu.

“Apa jangan-jangan lo yang nyebarin fitnah kalo ini perbuatan gue?” tanya Sandrina.

“Heh! Anak panti. Buang-buang tenaga juga mentingin urusan lo! Seluruh kampus juga udah tahu kalo Ana masuk rumah sakit dan koma kek sekarang gara-gara lo!”

Sandrina terkejut. Ia hanya bisa memalingkan wajah menahan amarah yang masih berkecamuk di dadanya.

“Mending kamu sekarang pergi dari sini. Soal kejadian yang menimpa Ana, berkasnya sudah masuk ke meja hukum. Siap-siap aja menerima hukuman yang setimpal atas perbuatan kamu, Anak nakal!” geram Pak Puji kesal setengah mati.

“Anak nakal itu pantes disematin sama bocah, Pak. Dan dia pantesnya dibilang anak panti berandal,” timpal Wanda dengan nada mengejek.

Sandrina menggenggam buku-buku jemarinya dengan erat. Tangannya yang terkepal itu sudah siap menghantam mulut Wanda. Ia mengabaikan prinsip untuk tidak memukul wajah orang. Tapi kali ini amarahnya sungguh tak bisa terbendung. Wanda benar-benar menguji pertahanan kesabarannya.

Dengan secepat kilat, tangan kaku Sandrina melayang juga ke mulut Wanda yang nampak tersenyum mengejeknya. Wanda memekik kesakitan sambil menutup mulut yang sudah diberi bogem mentah oleh Sandrina. Sementara Pak Puji yang tak sempat menghalau perbuatan gadis brutal di depannya itu ikut memekik karena terkejut. Ia menggelengkan kepalanya kasar. Pak Puji yang melihat darah di mulut Wanda, langsung menyeret kasar Sandrina ke luar rumah sakit. Ia menghempaskan tubuh Sandrina ke tanah dengan kasar.

“Jangan perlihatkan wajah kamu lagi di depanku! Siap-siap saja masuk penjara, aku pastikan gak akan ada tempat damai buat perempuan brutal seperti kamu kecuali di penjara seumur hidup! Aku pastikan itu!” teriaknya pada Sandrina yang masih terkapar di tanah.

Pak Puji pergi begitu saja meninggalkan Sandrina yang masih bergeming menatap tanah.

Yah, hidup! Ini hidupku, batin Sandrina.

Tuhan, Kau masih ada di sana? Atau Kau memang tidak ada? Oh iya aku lupa. Bulsyit sekali orang yang mengada-adakanmu. Kau cuma fatamorgana, seperti air di atas aspal yang panas. Seseorang mengharapkan air di tengah panasnya matahari, tapi setelah didekati, air itu menghilang. Yah, seperti itulah makna Tuhan.

Sandrina tidak menangis justru ia terkekeh pelan mengingat nasibnya. Kehidupan yang ia jalani selalu begitu. Di saat tangannya menggenggam tanah, wajahnya terangkat menatap langit. Semasa kecil dulu, ia suka menatap langit. Langit adalah seribu alasan untuk tetap semangat hidup dan harapannya untuk masa depan yang cerah kelak. Namun sekarang, langit adalah sesuatu yang membosankannya.

Langit adalah harapan palsu, batinnya lagi.

«««♡»»»

Siang terik, Sandrina duduk termangu di teras panti. Tak biasanya wajah kaku itu nampak murung dan lebih banyak melamun. Sebenarnya hari ini dia punya jadwal kuliah yang lumayan padat, tapi gairahnya belajar seperti biasa lenyap. Cita-citanya menjadi orang sukses juga terasa sudah akan raib. Ia tahu, omongan Pak Puji bukanlah omongan anak kecil. Dan ia tahu, sebentar lagi papa Ana itu akan menjebloskannya ke penjara.

Ibu Maya mendekati Sandrina dan duduk di sampingnya. Sandrina menoleh dengan malas. Ia tahu apa yang akan dikatakan perempuan lembut setengah baya itu. Apalagi saat Ibu Maya menyerahkan selembar surat panggilan dari kampus untuknya pada Sandrina.

“Maafkan Sandrina, Bu,” lirih Sandrina.

Ibu Maya menggeleng pelan dan mengusap rambut panjang Sandrina.
“Ibu yakin kamu gak salah, Nak. Ibu tahu, kamu kasar dan paling susah mengontrol emosi, tapi ibu juga tahu, kamu gak akan sebrutal itu. Dari kecil, ibu yang ngerawat kamu. Ginana sedih dan senangnya kamu, riang dan murungnya kamu. Ibu tahu kamu melakukan banyak kekerasan cuma niat membela diri. Walaupun ibu gak setuju dan sering marahin kamu, tapi ibu tahu, Sandrina bisa mengerti batas."

Sandrina menatap bisu wajah Ibu Maya, wanita yang menjaga dan mengasuhnya dari kecil. Mungkin cuma wanita lembut itu satu-satunya manusia yang mempercayai dirinya.

Sandrina tersenyum tipis dan mengalihkan pandangannya lurus ke depan. Ia tak ingin melihat wanita di sampingnya itu menitikkan air mata karenanya.

“Ibu tenang aja. Sandrina masih punya keyakinan akan jalan keluar. Masih punya keyakinan kuat bahwa kebenaran akan selalu mencari jalannya sendiri,” tukas Sandrina.

Sandrina berdiri dan berlalu dari Ibu Maya. Entah dia akan ke mana, yang jelas, pikirannya yang suntuk saat ini bisa membuatnya ke mana saja kakinya melangkah. Ibu Maya yang melihatnya dari arah belakang hanya bisa mendesah pelan.

“Dari dulu kamu selalu begitu, Nak. Tidak suka menunjukkan kelemahan. Selalu tampil kuat, padahal ibu tahu, saat ini kamu sedang rapuh. Tapi kamu tidak suka jika orang lain menganggapmu lemah. Ibu cuma berdoa, semoga keyakinanmu berbuah manis. Akan ada jalan keluar buatmu, Nak.”

Ibu Maya pun bangkit dan segera masuk ke dalam panti. Sesekali tubuhnya berbalik melihat ke arah perginya Sandrina. Gadis itu sudah berada di kejauhan di luar lingkungan panti. Celana denim yang dipakai gadis itu nampak lusuh. Sesekali kaki Sandrina menendang apapun yang ada di depannya. Ibu Maya hanya bisa menanggapinya dengan gelengan kepala pelan seraya berdoa semoga anak asuhnya itu baik-baik saja.

«««♡»»»

“Oke, Bro. Ini bayaran lo.”

Nampak beberapa pemuda dengan lengan penuh tato mencium tumpukan uang yang diberikan gadis itu.

“Kalo cuma kerjaan begini, lo bisa serahin ke gue. Yang penting bayarannya pantes aja.”

Gadis itu tertawa puas. “Kalo gue perlu sama lo lagi, gue call lo pastinya.”

By the way, calon korban gue manis juga. Hampir aja gue perkosa beneran kalo gak inget duit dan ancaman lo.” Pemuda yang paling tinggi itu berkelakar dan tertawa lebar. Gadis itu membulatkan mata dan menatap tajam pemuda preman di depannya.

“Awas aja lo gak nurut sama gue," ancamnya. "Tapi lo beneran gak apa-apain dia, kan?” tanya gadis itu sedikit ragu dan bimbang.

“Yah, dikiiit, bonuslah buat kita, ya gak, Bro?” tanya pemuda berpenampilan preman itu pada kedua temannya. Kedua temannya tertawa sambil mengacungkan jempol sambil menenggak minuman beralkohol langsung dari botol yang ada di tangannya.

“Ya udah tugas lo udah kelar. Kerjaan lo rapi gak ada polisi tahu, gue suka. Karena itu duit itu juga udah gue tambahi bonusnya.”

“Sip!”

Pemuda itu pun menganggukkan kepalanya dan berlalu begitu saja dari hadapan gadis itu.

Gadis itu kini sendiri di ruangan dengan sedikit cahaya matahari itu. Dialah yang sudah membuat drama begitu menarik untuk musuh bebuyutannya, Sandrina. Ia tersenyum puas membayangkan Sandrina dipenjara. Terlebih ancaman orang tua Ana adalah penjara seumur hidup. Gadis itu tertawa terbahak-bahak.

Thanks, God! Kali ini Lo bisa diajak kerja sama, kiss for You, My Lord.”

Gadis itu tertawa lebar lagi dengan penuh kemenangan. “Gak ada yang boleh nyaingin gue dalam hal apapun! ato kalo gak, nasibnya bakal sama kek anak panti sok preman itu!” ucapnya bermonolog yang masih setia dengan tawa terbahaknya.

Tanpa gadis itu sadari, ada bayangan seseorang yang tengah mengawasinya dari luar ruangan itu. Tepatnya mengintip pada sebuah celah kecil. Setelah itu, bayangan seseorang itu pergi dengan senyum tipisnya.

—※★♡★※—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top