24. Maaf, Sampai di sini.

Ketika Allah sudah memilihkan sebuah jalan kehidupan. Angin yang berembus pun takkan pernah menolak untuk membawanya turut serta.

Sandrina_


“Penjara ini gak cukup buat balas perbuatan kalian!”

“Ini juga karena ulah kamu! Mami papi memberi harta warisan lebih banyak pada kamu!”

“Karena kamu cuma anak angkat yang dipungut dari tong sampah! Harusnya kamu terima kasih sama papi mami yang udah kasihan liat kamu!” tunjuk manusia senja itu dengan geram.

“Bohong!”

“Jangan pura-pura lupa. Orang tuaku mengangkatmu sebagai anak ketika kamu sudah berusia sembilan tahun, Magdalena!”

Yang disebut Magdalena hanya menggeram kesal melihat tingkah adiknya yang memenjarakannya itu.

“Kamu tidak tahu balas budi!” pekik Magdalena. “Anakmu sudah aku rawat layaknya anakku sendiri, Adel.”

“Jangan coba menipuku. Aku mencari Vinda ke mana-mana sampai kami harus ke Indonesia. Setelah sampai di sini, ternyata ..., Vinda sudah tidak ada. Dan yang lebih tragis lagi. Kalian memperlakukannya seperti hewan! Kalian! Kalian akan rasakan membusuk di penjara! Kalian tidak punya sodara di sini. Jadi jangan harap, akan ada yang menolong kalian!” teriak Adelia yang tak lain adalah orangtua kandung Vinda, mama Sandrina.

Nyonya Amelda yang berdiri di belakang mereka melepaskan kacamata beningnya dan menyeka air di sudut mata. Ia maju selangkah dan mendekap bahu papa dan mama dari sahabatnya yang telah tiada itu dengan air mata yang meluruh membasahi wajah.

Berawal dari curhatannya di sebuah situs blog, Nyonya Amelda mengisahkan cerita sang sahabat yang tak lain adalah Vinda. Tak berhenti di situ, Nyonya Amelda juga menampilkan foto-foto Vinda dari masa remaja hingga dewasa. Dan mungkin memang sudah menjadi takdir, tak sengaja seorang kerabat Adel menunjukkan foto-foto di dunia maya itu pada Adel. Tanpa pikir panjang, ia meminta kontak Nyonya Amelda dan segera terbang ke Indonesia dari Inggris. Bersyukur, mereka dulu pernah tinggal sebentar di Indonesia, jadi masalah bahasa bisa lebih sedikit teratasi.

Sayangnya kisah itu seolah menyeka amarah dan air mata Adel dan sang suami karena Vinda, anak semata wayang mereka telah tiada.

Mereka keluar dari kantor polisi setelah memenjarakan Magdalena dan suaminya berdasarkan bukti-bukti yang mudah sekali mereka dapatkan.

Adel tak hentinya menangis mengenang sang putri tanpa melihatnya terakhir kali. Ia bahkan harus jatuh pingsan beberapa kali yang langsung dibawa ke rumah sakit.

“Pa, Vinda udah gak ada. Anak gadis kita yang cantik, lucu dan menggemaskan.”

Tak hentinya Adel memandangi foto Vinda. Sang suami yang juga sudah berambut putih hanya bisa mengangguk-anggukkan kepalanya sedih.

“Bagaimana keadaan Anda, Nyonya Adel?” tanya Nyonya Amelda yang baru tiba ke rumah sakit.

“Amelda, apakah Vinda memiliki anak dari pernikahannya?”

Nyonya Amelda menggeleng pelan, “Tapi Vinda memiliki anak dari yang sebelumnya. Dari ....”

Stop it! Aku paham maksudmu. Sekarang di mana dia?”

“Kemaren aku menyuruh beberapa informanku untuk mencarinya karena dia sudah tidak tinggal di panti lagi. Kabar terakhir mengatakan dia tidak bersama suaminya. Dia pergi dari rumah dan menjadi pelayan toko.”

“Siapa namanya?” tanya Adel lesu.

“Sandrina. Dia wanita cantik sama seperti Vinda. Tapi sepertinya dia juga memiliki masalah dengan keluarga suaminya. Padahal menurut informasi yang saya peroleh, dia tengah hamil muda,” jelas Nyonya Amelda.

“Amelda, suruh orang-orangmu menemuinya. Biar cucuku itu ikut dengan kami saja. Di Inggris, dia akan bahagia. Kami di sana bukanlah warga miskin.”

“Sesuai perintah Anda, Nyonya. Apa Anda perlu melakukan tes DNA terlebih dahulu?”

“Melihat wajah dan sikapnya saja, aku pasti sudah bisa menebak dia cucuku apa bukan.”

“Baiklah.”

«««♡»»»

Andin menyudahi cerita tentang pertemuan dan cerita Sandrina tadi di kampus pada Ari dan keluarganya.

“Sandrina menemui kami dan menyerahkan ini,” ujar Andin.

Sahabat Sandrina, Andin dan Rina menyerahkan sebuah kotak kecil berbentuk persegi panjang pada Pramana langsung. Saat Pramana membukanya. Ia bergeming cukup lama. Kalung emas dengan bermata zamrud itu melingkar di dalam kotak yang ia pegang.

“Sandrina mengucapkan terima kasih karena kalian pernah hadir di dalam hidupnya. Menjadi bagian dari ceritanya.”

“Lalu di mana sekarang Sandrina?” tanya Ari menoleh ke kanan dan kiri.

“Pak Ari, beberapa jam lalu, Sandrina di kampus ini, melihat Pak Ari berjalan beriringan dengan Mbak Maya. Sandrina pikir, kalian sudah menikah lagi. Karena itu, Sandrina memilih untuk ikut grandma dan grandpa-nya ke Inggris.”

Ari yang sedari tadi nampak tenang, langsung shock dan terduduk seketika, “Sandrina, istriku ...,” lirihnya.

Atiqa yang melihat anaknya seketika itu juga ikutan shock. Ia lantas memeluk Ari. Ari tertunduk dan menekuk wajahnya sendiri di atas lutut.

“Ari, kamu gak pa-pa, Nak? Ari?”

Wajah Atiqa pias melihat anak semata wayangnya sudah tak bisa diajak bicara lagi karena terlihat depresi berat.

“Pa, Ari ....”

Pramana mencoba menenangkan dan mendekati Ari.

“Kuatkan dirimu, Ari! Kita akan mencari Sandrina walau sampai ke Inggris.”

Pramana agak ragu juga. Inggris bukanlah negara kecil. Mencari di negeri sendiri saja mereka kewalahan pasti apalagi di negara orang.

"Kita akan mencari istri dan calon anakku ke bandara," tukas Ari. "Andin, Sandrina memberitahu naik maskapai penerbangan apa?"

"Dia tadi menunjukkannya padaku."

Pramana menyanggupi. Mereka segera berlari masuk ke dalam mobil dengan tergesa menuju bandara.

Setelah tiba di bandara, Ari bertanya tentang penerbangan menuju Inggris dengan Garuda Indonesia.

"Penerbangan sudah take-off sepuluh menit yang lalu, Pak," ujar petugas dari maskapai penerbangan itu.

Ari diam dan bergeming cukup lama. Posisinya tetap seperti semula. Tak lama kemudian, Ari kehilangan kesadaran. Ia tersungkur ke lantai dengan mata terpejam karena pingsan.

“Ari!!” pekik Atiqa.

«««♡»»»

Saat Ari membuka matanya perlahan. Orang-orang sudah memandanginya dengan wajah khawatir. Ia mencari seseorang di antara banyak orang di dekatnya itu. Sang papa dan mama, Maya dan kedua sahabat Sandrina.

“Sandrina? Mana istriku?” gumam Ari.

Mendengar pertanyaan Ari, yang lain hanya tertunduk lesu. Air mata menetes perlahan dalam setiap mata yang hadir. Ada sesal dan sesak yang sama-sama bisa dirasakan di ruangan perawatan berwarna krem lembut itu.

Sejak kejadian itu, Ari Adithya selalu menyempatkan diri untuk ke Inggris mencari Sandrina. Kebiasaannya kini adalah duduk termenung di tepian laut dekat bandara. Berharap suatu hari nanti, Sandrina kembali ke dalam pelukannya lagi.

Sandrina, kaulah ceritaku. Sampai kapan pun, aku akan setia menunggumu ....

Dari kejauhan, Atiqa yang melihat itu tak hentinya menangis seraya memeluk sang suami, Pramana.

“Sandrina, pulanglah cepat, Nak. Kami menunggumu,” ucap Pramana seraya menggenggam erat kalung zamrud yang pernah hinggap di leher menantunya itu.

“Sandrina, maafin kesalahan terbesar mama, Nak. Mama mengabaikan wanita berlian sepertimu,” gumam Atiqa.

Kelopak bening Atiqa dan Pramana sama-sama berkaca-kaca karena perasaan yang campur aduk.

Sandrina, kisah seorang anak panti yang terbuang yang pada akhirnya, semua orang merindukan kehadirannya.


Sementara nun jauh di sana ....

Wanita yang tengah hamil tua itu menciumi setiap kelopak bunga tulip yang anggun nan harum. Tatapannya menerawang ke atas. Ke langit biru dengan sedikit awan yang berarak. Dengan senyum tipis, hatinya berbisik,

Duhai kenangan ..., bila suatu saat nanti kita masih ditakdirkan bersama, pasti akan bersama.

—★※♡※★—

END*

Versi cetak tersedia Insya Allah dengan epilog. '_'

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top