23. Aku Sudah Ikhlas.
Mungkin inilah titik klimaks ceritaku. Mengikhlaskan dia yang mungkin bukan bagian dari cerita kehidupanku.
Sandrina_
Sandrina tengah asyik membaca Al-Qur'an beserta terjemahannya. Ia termangu saat membaca Al-Qur'n surat Al-Baqarah ayat 45.
Allah SWT berfirman:
وَاسْتَعِيْنُوْا بِالصَّبْرِ وَالصَّلٰوةِ ۗ وَاِنَّهَا لَكَبِيْرَةٌ اِلَّا عَلَى الْخٰشِعِيْنَ
"Dan mohonlah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan sholat. Dan hal itu sungguh berat kecuali bagi orang-orang yang khusyuk."
Tak terasa air mata Sandrina berlinang perlahan. Bayangan akan sang suami dan senyuman khasnya terngiang dalam ingatan Sandrina.
Aku sangat sangat merindukan Mas Ari.
Masih berjodohkah hamba dengannya, Ya Rabb??
Sementara sekarang saja cerita tentang kami masih terselubung awan kelam.
Mengingat ayat yang Sandrina baca tadi, wanita itu sudah melaksanakannya. Ia sabar menunggu sebuah kepastian dan sholat hajat siang malam memohon petunjuk. Namun sepertinya belum ada titik cerah selama beberapa bulan.
Benar kalam-Mu, Ya Allah. Ini sangatlah berat. Semoga Kau menjadikan hamba orang yang khusyuk, yang tetap yakin akan segala ketetapan-Mu, yang ikhlas menjalankan takdir-Mu setelah hamba memasrahkan segalanya pada Engkau ..., Aamiin ....
Sandrina menutup kitab Al-Qur'an setelah menciumnya sembari memejamkan mata dengan hati yang berserah diri pada Sang Pencipta. Ia memasukkannya kembali ke dalam tas. Setelah itu, ia meletakkan tasnya di tempat yang agak tinggi karena ia sadar, ada kitab suci yang ia agungkan.
“Lo gak coba hubungi suami lo?” tanya Avi yang tiba-tiba berada di depan Sandrina.
Sandrina tersenyum tipis sembari menggeleng pelan.
“Ya seenggaknya lo usaha,” lanjut Avi.
“Aku lupa nomor Mas Ari karena ninggalin hape di kamar,” jawab Sandrina.
“Trus, lo masa idup cuma gini terus?” Avi menautkan kedua alisnya. “Oke, lo masih kuat dan fresh. Lo yakin dengan pencipta lo and whatever-lah. Tapi gimana kalo lo lahiran? Oke, keluarga gue mungkin bisa bantuin biaya lahiran lo ato lo udah nabung dari gaji lo, tapi Sandrina ..., idup tu gak sesederhana itu. Lo masih harus lahiran. Gue pernah liat sepupu gue lahiran dan liat dengan mata kepala gue sendiri gimana ribetnya dia sama tu bebi yang baru lahir. Nangis, rewel, de-el-el lah. Gue aja liatnya sampe tepok jidat karena stress liatnya. Apalagi sepupu gue itu. Duhh ribet banget. Dan untungnya, sepupu gue tu ngumpul sama bonyoknya. Masih pake pembokat pula. Dan lo ...?? Sandrina, pliz cari laki lo. Dia sama keluarganya kudu tanggung jawab juga sama tu bebi. Gak bisa mereka lepas tangan gitu. Gak bisa,” ujar gadis berwajah oriental itu dengan menggebu-gebu.
Sandrina masih bergeming. Dengan tenang, ia menjelaskan.
“Mungkin aku bisa mencari informasi soal Mas Ari. Aku bisa menemuinya saat ini juga. Tapi ..., suamiku masih punya kewajiban untuk orang lain yang lebih penting dariku.”
“Siapa dan kenapa?”
“Ibu Mas Ari. Dia lebih berhak atas Mas Ari daripada aku.”
“Busyet dah! Lo istrinya, San. Lo lebih berhak. Tu emak laki lo mestinya udah gak perlu ikut campur rumah tangga lo,” gemas Avi.
“Itu menurut ilmu sosial, tapi menurut agamaku, ibu dari suami kita lebih berhak daripada seorang istri. Aku kembali pada Mas Ari sama saja aku melanggar hak itu. Jadi lebih baik biarlah semuanya berlalu seperti air. Jika pada akhirnya Mas Ari meninggalkanku atas perintah ibunya, aku harus terima.”
“Ribet banget sih, San?”
“Karena dalam agama kami, ibu mempunyai tiga tingkat melebihi seorang ayah.”
Avi nampak terdiam. Ia memijit pelipisnya. “Gue aja gak ngerti sama keyakinan gue kek apa. Lo malah enteng aja gitu ngejalanin aturan agama lo itu.”
“Karena dalam ajaran agamaku, manusia diajari untuk bergantung sama penciptanya, Allah. Tempat bernaung dan sebaik-baik tempat bersandar. Mengikhlaskan segala perkara kehidupan hanya pada-Nya. Setelah berusaha keras.”
Sandrina terdiam memandang Avi yang mencoba mencerna kalimat demi kalimat yang ia lontarkan.
“Aku juga berusaha, berusaha menjadi menantu yang baik dan berbakti, tapi jika mereka tak terima, berarti sudah bagianku begitu. Jalan kemudian yang kutempuh adalah mendoakan mereka dengan kebaikan. Dan tawakkal pada pencipta.”
“Tapi gimana pun juga, kita mesti mikir realistis, Sandrina. Gak bisa semua masih direka-reka. Mikir pake nalar.” Dan Avi masih bersikukuh dengan argumennya.
“Karena kehidupan ini juga sebenarnya masih direka-reka. Jalan yang akhirnya kita tempuh gak tahu harus bagaimana dan akan ke mana. Manusia mungkin bisa berusaha, tapi semuanya, Allah Yang Maha Kuasa.”
“Soal bagaimana nanti setelah aku lahiran, itu sudah aku pasrahkan pada Allah Sang Maha Pengatur. Aku seikhlas-ikhlasnya dan seyakin-yakinnya menjalani bahwa akan ada jalan yang ditunjukkan oleh Allah. Karena itu hatiku tenang menjalani kehidupan ini. Buatku sekarang, itulah jalan hakiki. Jalan kebahagiaan yang Insya Allah sejati yang Allah pilihkan padaku.”
Entah bagaimana ceritanya, Avi langsung memeluk Sandrina dengan begitu erat sembari menangis tersedu-sedan.
“Bagaimana mungkin hari ini gue belajar arti ketulusan hidup dari seorang manusia papa, anak panti yang gak punya apa-apa kek lo, Sandrina.”
Avi sesenggukan dalam pelukan Sandrina. Air matanya tetap mengalir deras yang ia abaikan.
“Gue punya banyak hal. Harta, kawan dan semuanya. Tapi baru kali ini gue belajar, bagaimana tenangnya kehidupan yang lo jalanin.”
Avi melepaskan tautan pelukannya, tapi masih menggenggam tangan Sandrina dengan air mata yang tak kunjung henti.
“Di luar sana lo liat, banyak banget orang berebut pek saling bunuh demi namanya kebahagiaan. Tapi dari lo, gue belajar, belajar memahami apa itu kebahagiaan sejati. Sederhana. Sangat sangat sederhana, tapi gue tahu itu berat di awal. Semoga lo kuat, Sandrina. Semoga Tuhan selalu jagain lo!”
Avi menepuk-nepuk punggung tangan Sandrina dengan air mata yang masih setia mengalir ke pipi.
“Dan gue mulai ngerti apa yang lo maksud,” ujar Avi.
«««♡»»»
Bagaimana pun juga sebagai manusia biasa, Sandrina mulai menuruti keinginan hatinya untuk menemui sang suami, Ari Adithya.
Perlahan wanita hamil muda itu menyusuri kampus dengan mencari sang suami. Ia tak berani menengok sang suami di rumah. Dengan berbekal cadar yang menutupi sebagian wajah, Sandrina memasuki kampus. Ia tak ingin ada orang yang mengenal, apalagi sampai menyapanya.
Benar. Dari kejauhan wanita itu melihat Ari Adithya tengah sibuk berjalan menuju mobil dengan ponsel yang menempel di telinga.
“Mas Ari ...,” lirih Sandrina.
Rasa rindu yang sangat menggebu dan bahkan tak terelakkan menyusup dan menyebar dalam sanubari. Membuat Sandrina tak bisa menahan tangis dalam lekukan cadarnya.
“Ya Allah, dia menjadi milikku beberapa bulan lalu. Dan setelah beberapa bulan kemudian, dia sudah harus kujauhi,” gumam Sandrina. “Tapi bi'idznillah, hamba ikhlas, Ya Allah ....”
Sandrina berbalik dan melangkah pergi. Dari kejauhan ia melihat Ari bersama Maya masuk ke dalam mobil. Sangat sakit wanita yang tengah hamil muda itu melihatnya. Tapi keikhlasan kembali menjadi alarm pengingat saat ia mengingat akan Sang Pencipta Sang Maha Pengatur Yang sudah mengatur semuanya.
Sementara itu di tempat lain ....
“Maafin, Maya, Bu,” ucap Maya pada Atiqa.
Atiqa memalingkan wajahnya dan berkata, “Aku memang menerima ucapanmu, tapi sumpah demi Allah, setelah kamu meninggalkan anakku, Ari, aku sudah mencoretmu dari daftar menantuku lagi.”
“Tapi bukankah aku tidak bohong soal Sandrina? Dan bukankah Mas Ari sendiri yang meminjamkanku buku milik Sandrina itu?” kilah Maya.
Pramana hanya menjadi penonton tanpa komentar di ruang tamu miliknya itu.
Sementara Ari yang semula terdiam, menghela napas sejenak dan ikut membuka suara. “Waktu itu aku sangat sibuk sampai tak melihatmu sedang memegang buku apa. Saat kamu mau minjem, aku hanya mengangguk. Kupikir hanya buku biasa. Padahal buku itu seingatku, aku letakkan di kamarku dengan susunan paling bawah. Aku gak tahu kapan kamu masuk ke kamarku dan mengambil buku itu. Kupikir sebagai seorang perempuan yang berpendidikan dan mengerti soal attitude, kamu sudah tahu aturan masuk ke dalam kamar yang bukan kamarmu,” tukas Ari.
Maya hanya menunduk. Atiqa dan Pramana saling bertukar pandang sejenak. Tersimpan raut wajah murung antara keduanya.
“Maya, kami dulu menghargai keputusanmu untuk meninggalkan Ari. Kami tahu bagaimana beratnya Ari menerima keputusanmu yang terbilang mendadak itu. Terlebih, Ari sangat mencintaimu waktu itu. Dia bahkan mau menunggumu sampai selesai studi di Yaman. Tentunya Ari sangat terpukul soal itu. Alhamdulillah kami bahagia setelah itu karena Ari memilih untuk tak berlama-lama larut dalam kesedihan. Dia memperkenalkan seorang perempuan yang kami tahu—banyak kekurangan, tapi Ari meyakinkan bahwa wanita yang ia bawa itu adalah wanita baik-baik. Kami menerimanya. Setelah itu, sudah tidak ada cerita lagi antara kamu dengan Ari. Karena hal ini juga adalah keputusanmu. Jadilah wanita yang bijak, yang menghargai keputusan diri sendiri,” terang Pramana.
Maya hanya bisa terisak. “Maafkan keegoisan saya. Saya tahu semua ini adalah kesalahan saya. Saya akan membantu mencari Sandrina.”
Masing-masing semuanya terdiam. Ari hanya bisa menghela napas panjang. Sesak berkali-kali ia rasakan setelah perpisahannya dengan sang istri yang masih terus membayangi. Badannya semakin kurus dengan wajah yang tak dipungkiri semakin menirus.
“Dari mana kita akan mencari Sandrina, Pa?” tanya Atiqa.
“Mungkin kita akan lapor polisi,” cetus Pramana.
“Sandrina ada di kampus,” sahut Maya.
Semua orang menoleh ke arah Maya.
“Jangan sok tahu,” lirih Ari.
“Aku melihatnya tadi sedang menatap Mas Ari. Dia mengenakan pakaian panjang dan cadar, tapi aku bisa melihat dari caranya berjalan.”
“Kita segera ke kampus!” ajak Pramana sembari meraih kontak mobil di meja.
—★※♡※★—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top