2. Seorang Sandrina
Sudut pandang tiap orang pasti berbeda. Begitu pun caraku menjalani hidup. Jangan mencoba menyayangiku, karena yang ada, itu hanya akan melemahkanku.
(Sandrina)
Sandrina menatap bisu pemuda di depannya. Selanjutnya, ia tersenyum miring dan berlalu.
“Sandrina, tunggu!” panggil pemuda yang tak lain adalah Ikhwan.
Sandrina menghentikan langkah dan memejamkan mata sejenak. Ia tetap bergeming dan tak membalikkan badan, menunggu Ikhwan menyelesaikan ucapannya.
“Apa yang kamu cari dengan semua sikap brutalmu itu?”
Sandrina tersenyum sarkastis dan berlalu begitu saja. Ikhwan yang melihat sikap angkuh seorang Sandrina merasa jengkel sendiri. Ia pikir, apakah Sandrina itu punya jiwa? Diajak bicara saja, begitu sulit. Seolah dunia yang ia nikmati sekarang tak punya bayangan bagi yang lain.
“Apa kamu punya hati?” Nada bicara Ikhwan meninggi karena jarak mereka yang semakin menjauh.
Sandrina segera berbalik dan melangkah cepat menuju pemuda yang mengajaknya bicara sedari tadi.
“Hati gue udah lama mati. Jadi jangan pernah bahas masalah hati. Lo benerin hati lo dulu,” bisiknya ke dekat Ikhwan. Bahkan tatapan tajam gadis itu lurus pada manik mata Ikhwan seperti pedang yang siap menghunus jantung pemuda itu kapan saja.
Dalam hati Ikhwan mengucap istighfar. Mencari perkara dengan gadis itu memang tidaklah mudah. Seperti anyaman tali temali yang rumit. Bahkan menebak isi hatinya saja, bisa dibilang itu mustahil. Di balik tatapan tajam mata gadis itu, Ikhwan bisa menilai bahwa Sandrina seolah menyimpan luka dan kesedihan tak berujung. Hanya itu. Namun tertutupi dengan keangkuhannya.
Sandrina, yah Sandrina. Tatapanmu seperti dua sisi mata logam. Berbeda, namun menyatu dalam dirimu. Sikap angkuhmu tak bisa menutupi kesedihan di balik matamu itu. Ada apa sebenarnya denganmu? Apa yang kau cari dengan semua sikap dinginmu itu? Dan anehnya lagi, semua orang seakan takut dengan tatapan itu. Seperti tatapan mata king cobra tepatnya. Yang siap mematuk kapan pun kau mau.
Ikhwan masih mematung memikirkan semua hal tentang gadis yang menjauh dari hadapannya itu. Yang masih pemuda itu herankan, walaupun gadis itu terkenal bengis dan mempunyai sebutan si ratu sadis, semua orang seolah dibuat penasaran dengan sikapnya itu. Bahkan dua teman akrabnya, Rina dan Andin, tak banyak tahu tentang Sandrina. Yang semua orang tahu, gadis itu adalah anak yatim piatu dan dibesarkan di panti asuhan. Semua orang menebak mungkin karena dirinya dididik di panti asuhan, jiwanya terguncang dan tak bisa menerima takdir. Sekilas, hanya itu persepsi datar mereka.
Sandrina masih setia dengan senyum sarkastis di bibirnya. Ia merasa semua orang membenci sekaligus menyukainya. Membenci sikap brutalnya, namun banyak juga yang menyukainya. Ia tergelak sendirian dalam hati. Begitu percaya dirinya Sandrina.
Aku tahu kalian menyukaiku. Tapi ya sudahlah. Itu urusan kalian. Aku takkan tergoda dengan hal receh semacam itu.
«««♡»»»
Sandrina mempercepat langkah saat mendekati Panti Asuhan Cahaya Bunda, panti asuhan yang ia tempati. Ia tak mengerti mengapa banyak orang berdiri di depan tempat tinggalnya itu. Segera ia melesatkan langkah dan mencari celah masuk ke dalam panti di antara kerumunan orang banyak.
“Ada apa, Bu?” tanya Sandrina pada seorang ibu panti——pengasuhnya dari kecil dulu.
“Itu panti kita mau digusur, Sandrina.”
Sandrina membuka mulut. “Apa yang terjadi?”
“Ada rumor yang mengabarkan, kalo anak-anak panti ini adalah anak buta moral. Beberapa ada yang bekerja sebagai wanita malam dan beberapa lagi ada yang membuat ulah menjadi preman. Mau jadi apa panti ini. Aku sudah mengingatkan kalian, tapi kalian mengabaikan peringatanku,” desah Ibu Maya, sang pengasuh panti.
Sandrina terdiam cukup lama. Ia tahu sang ibu pengasuh juga ikut menyindirnya. Ibu Maya pernah mendapatkan surat peringatan dari kampus untuk mendidik Sandrina dengan benar. Wanita yang terlihat sabar itu akhirnya bisa murka juga. Sandrina juga tahu, bahwa Yayuk, musuh bebuyutannya di panti waktu kecilnya dulu sudah keluar dari panti dengan prestasi yang memalukan. Yah, memalukan, karena ia menjadi kupu-kupu malam. Sandrina pernah mendekati dan menasehatinya. Namun jawaban Yayuk justru membuatnya memilih bungkam.
“Gue udah cukup ngerasain susah hidup dari kecil. Orang tua gue udah buang gue ke panti. Siapa peduli gue kalo gitu,” lantang Yayuk, membuat Sandrina memilih diam dan pergi setelah mengingatkan bahaya dari profesi Yayuk.
Tapi sebelum pergi, Sandrina berucap, “Gue cuma ngingetin lo. Itu demi hidup lo juga. Lo bakal rusak kalo tetep bertahan dengan pekerjaan lo itu,” ucapnya tenang membuat Yayuk kesal. Saat ia akan membalas ucapan Sandrina, gadis itu sudah lebih dulu berlalu dari hadapannya.
Ibu Maya menatap manik mata Sandrina yang terlihat murung. Ia menyentuh pundak sandrina. “Sandrina,” panggilnya pelan. Sandrina mengangkat wajahnya seraya menggeleng pelan.
“Ada apa?”
Lagi-lagi gadis itu menggeleng. “Maafkan atas kelakuan kami, Bu. Tapi para pemrotes itu juga tidak punya berhak menghakimi kita dengan menyuruh panti ini bubar. Hanya segelintir orang seperti kami saja yang berbuat ulah. Selebihnya, kebanyakan anak-anak panti ini bermoral.”
Ibu Maya hanya mendesah pelan dan hanya mengangguk lemah.
“Setidaknya kalian mengubah sikap kalian. Nila setitik bisa merusak susu sebelanga, Sandrina.”
Sandrina mengangguk dan berlalu masuk ke kamarnya. Saat ia hendak melangkah ke kamar, tak sengaja ia melewati kamar berukuran besar dengan deretan ranjang berjejer yang berisi beberapa remaja panti. Mereka terlihat asyik berkumpul dengan wajah berbinar sambil melihat sebuah majalah bersama-sama. Sandrina memasukkan kedua tangannya ke dalam saku cardigan yang ia pakai dengan manik mata yang terus mengawasi apa yang ia lihat di depannya, tepatnya pada remaja-remaja panti itu.
“Seru, kan?” ujar salah satu anak. Yang lain mengangguk mengiyakan.
“Eh lo pada tau gak, si Amelia udah pernah gitu sama cowoknya,” timpal salah satu dari mereka. Yang lain terlihat menutup mulut dengan mata terbelalak sempurna.
“Serius lo?”
Anak yang mengatakan tadi mengangguk cepat.
“Amelia sendiri yang cerita sama gue. Dia udah sering gitu sama cowoknya.”
Sandrina kesal setengah mati mendengar ocehan para remaja itu. Mereka memperbincangkan sesuatu yang belum sepantasnya melihat usia mereka. Mata tajam Sandrina mencari keberadaan Amelia, namun tak ia temukan. Sepertinya gadis yang menjadi objek pembicaraan itu sedang tak ada di panti.
“Gue kapan bisa punya cowok ya? Jadi penasaran gue.” Remaja yang lain terkekeh geli. Sandrina yang masih mendengar celetukan remaja itu membuat otaknya seketika mendidih.
Sandrina melangkah cepat ke arah remaja yang berkumpul itu. Ia menarik majalah dan membuangnya ke lantai seketika. Dengan wajah merah padam, membuat para remaja itu bergidik ketakutan.
“Lo liat semua ke depan, sekarang!” bentak Sandrina.
Mereka segera mengikuti perintah Sandrina dan melesat cepat sesuai instruksi Sandrina. Mereka tak mau mencari masalah dengan senior panti yang terkenal sadis itu. Saat sudah berada di depan, remaja-remaja panti itu membuka mulut dan bertanya-tanya tak mengerti melihat banyak orang di depan panti.
“Kak Sandrina, ap-apa yang terjadi?” ujar salah satu dari remaja panti itu kikuk.
Sandrina masih bergeming dengan tangan di saku dan dengan santainya, ia mengerjapkan kelopak matanya pelan. Hanya dagunya saja yang ia angkat sebagai isyarat 'lihat saja sendiri apa yang terjadi.' Mereka saling berbisik. Sandrina hanya diam mematung.
Tak lama kemudian, beberapa mobil sedan mewah berwarna hitam memasuki areal panti. Beberapa orang berjas hitam dan berdasi keluar dari mobil. Seorang yang terlihat gagah keluar dari mobil paling belakang di antara mereka. Ia asyik menghisap cerutu dengan memicingkan mata melihat ke arah panti. Dengan langkah perlahan, ia menemui beberapa petugas yang sedang mengurusi masalah pembubaran panti. Nampak laki-laki berjas itu tengah berbincang serius dengan seorang petugas yang jika dilihat dari seragamnya agak berbeda. Sepertinya ia kepala bagian dari para petugas itu. Tak lama setelah perbincangan tertutup itu, semua petugas mulai angkat kaki dari panti. Dengan angkuh, pria yang setia menghisap cerutunya itu menemui Ibu Maya.
“Semua sudah aku bereskan. Tugasmu sekarang adalah menjaga anak-anak panti itu dengan baik,” ujar si laki-laki yang setia dengan cerutunya itu. Sesekali ia menghisap cerutu dan mengembuskannya ke sembarang arah.
Ibu Maya menangis terharu dengan kebaikan laki-laki di depannya. Usia laki-laki itu memang sudah tak muda lagi. Bila dilihat dari garis-garis wajahnya, bisa ditaksir sekitar usia 40 tahunan. Namun penampilan dan bentuk tubuhnya masih terlihat tegap dan gagah.
“Terima kasih banyak, Pak Rain. Sudah beberapa kali Anda memberi bantuan pada kami. Semoga Tuhan membalas kebaikan Anda, Pak Rain,” ujar Ibu Maya.
Laki-laki yang disebut Pak Rain hanya mengangguk sesaat. Sementara tatapan elangnya sebanding dengan langkahnya menuju pada kumpulan anak-anak panti yang sedari tadi menatapnya dan mematung menyaksikan semua kebaikan yang ia lakukan. Namun tatapan tajam mata itu hanya lurus pada satu titik di antara anak-anak panti. Yah, dia menatap gadis angkuh itu. Ia menatap Sandrina yang juga menatap tajam dirinya. Saat mulai dekat dengan gadis itu, tangan Pak Rain mengusap lembut puncak kepala Sandrina.
“Jadilah manusia yang kuat, Nak,” ucap Pak Rain.
Sandrina yang tak acuh hanya diam bergeming dengan wajah memalingkan diri. Gadis itu hanya tak suka jika ada orang yang bersikap lembut padanya. Ia merasa jadi manusia lemah dan butuh kasih sayang. Sungguh, ia merasa jauh dari itu semua. Sandrina tersenyum sarkastis dalam senyum samarnya.
Gue gak butuh motivasi, Tuan berhati kapas.
Seringainya masih tercetak dengan angkuh dari bingkai wajah Sandrina.
Pak Rain tersenyum lembut menatap Sandrina. Ia bisa melihat seringai samar dari gadis itu. Laki-laki itu punya pemikiran sendiri akan Sandrina. Setelah melihat sekilas pada anak-anak panti yang lain, ia melangkahkan kaki menuju mobilnya. Tak lama berselang, mobil-mobil mewah itu pergi meninggalkan panti.
«««♡»»»
Angga masih memandang terpana pada Sandrina. Perempuan kasar itu juga bisa berlaku manis. Terlihat dengan nyata gadis itu menggendong seekor anak kucing berwarna putih sambil tersenyum senang. Sandrina tak menghiraukan tatapan teman-teman kampusnya saat melihatnya begitu manis hari itu.
“Lo suka kucing?” tanya Angga. Ia mendekati Sandrina dan menanyakan itu untuk sekedar basa-basi.
Sandrina tak menanggapi. Ia malah berlalu dari hadapan Angga dengan tetap membawa kucing di tangannya. Angga masih setia mengikutinya. Sandrina jengah juga melihat tingkah pemuda di dekatnya itu.
“Lo mending jauh-jauh dari gue. Gue gak butuh pengawal pribadi!” Semburan ketus itu lagi-lagi keluar dari mulut Sandrina.
“Oh maaf. Gue juga suka kucing soalnya,” kilah Angga. Ia memundurkan langkah teratur.
Ikhwan dan Reynand yang melihatnya dari belakang nampak tertawa terbahak-bahak.
“Nenek sihir lo deketin,” ujar Reynand pada Angga yang sudah ada di dekat mereka.
“Dia itu nenek sihir berhati putri salju ternyata,” sahut Angga.
Reynand segera meraup wajah Angga dengan tangannya. “Ngimpi dia jadi manusia salju. Adanya dia itu manusia es.”
Sandrina nampak meletakkan kucing kecil yang sedari tadi ia pegang itu di atas rumput dengan hati-hati. Langkah kakinya Lurus menuju ke kelas. Kelas ketika itu masih nampak lengang. Namun karena sudah menjadi kebiasaannya ke kelas sebelum dosen pengajar dan teman-temannya datang, hal itu tidak menjadi masalah untuknya. Ia membaca materi yang akan menjadi pembahasan hari itu. Padahal semalam di kamar panti, ia sudah lebih dulu mempelajari materi-materi tersebut.
Tidak akan ada hasil maksimal dari perjuangan tanpa kerja keras. Dan tidak akan ada hasil yang lebih baik tanpa pengorbanan.
Selain sifat keras kepala dan suka menindas, sisi positif—katakanlah begitu—dari Sandrina adalah dia tipikal manusia ambisius. Gadis panti itu merasa harus mendapatkan apapun yang ia mau, walaupun itu membutuhkan perjuangan dan pengorbanan yang tidak mudah.
Satu sisi banyak orang yang mencela gadis panti itu, namun juga tak sedikit orang yang ingin meniru ambisinya. Keinginan tanpa usaha sama saja dengan angan-angan belaka. Yah, mereka hanya bisa iri dan menatap Sandrina tanpa suara.
—※★♡★※—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top