19. Bahagia


Kadang dalam bahagia masih saja ada duka. Semoga kali ini, bahagiaku sempurna.

Sandrina_

“Ini sudah keputusanmu, May. Tanggungjawablah dengan itu semua,” ucap Ari.

Wanita di sampingnya itu tertunduk. Mereka mengamati jalanan yang terlihat ramai. Suasana taman kota tak berbeda dari biasanya.

Minggu pagi itu kebanyakan setiap individu sibuk dengan aktivitasnya masing-masing. Ari sudah pamit pada Sandrina jikalau Maya meminta bertemu dengannya. Sandrina mengiyakan saja.

Keduanya kini duduk di bangku panjang bawah pohon camelia yang rimbun. Angin pagi menerpa hijab panjang  Maya.

“Aku akui berdosa pada Mas Ari. Selama pernikahan siri kita, aku menjalin kasih dengan seorang pemuda Yaman. Dari awal aku memang menyukainya. Sampai akhirnya Mas Ari mengkhitbahku. Aku jujur pada kekasihku di sana. Bahwa pernikahan kita hanyalah sekedar untuk menjaga iman masing-masing. Sekalipun, kita tak pernah bersentuhan.”

“Setelah akhirnya aku memutuskan ikatan ini dengan Mas Ari. Aku lega karena bisa melanjutkan hubungan dengan kekasihku di sana. Tapi sayangnya aku terkejut. Pas hari di mana ikatan kita sudah batal, di sana, dia mengkhitbah seorang perempuan Yaman juga. Aku sedih dan menyesal dengan keputusanku melepas Mas Ari. Aku tahu Mas Ari adalah sosok pemuda baik hati dan ramah. Dan Mas Ari juga sangat mencintaiku. Kupikir, aku harus menyelesaikan ini. Aku akan meminta Mas Ari kembali padaku. Karena itu, keesokannya aku menghubungi abah dan menceritakan semuanya. Aku ingin kembali pada Mas Ari. Tapi yang terjadi, abah malah memarahiku dan mengatakan bahwa Mas Ari sudah memutuskan untuk menikah dengan orang lain.”

Maya menghela napas dalam. Ia mengusap air di sudut matanya.

“Secepat itu Mas Ari melupakanku. Apalagi dengan mahasiswa yang dikenal kurang baik di kampus. Apa Mas menyukainya selama kita punya hubungan?”

Ari menggeleng pelan dan menoleh seketika pada Maya.

“Kamu menyangka aku selingkuh?”

Maya mengangkat bahu. “Hanya Allah dan Mas Ari yang tahu.”

“Setelah kamu putusin, aku sempet down. Tapi mungkin memang sudah jalannya. Tak sengaja aku kembali membuka-buka file tentang Sandrina. Aku kagum dengan kepribadiannya. Menghadapi semua hal sendirian. Dia gadis yang kata orang bengis, ternyata begitu berani dan mandiri dalam menghadapi berbagai masalah. Dia yang kata orang angkuh, ternyata berhati lembut dan penuh kasih. Aku memutuskan untuk mengkhitbahnya setelah semalaman meminta petunjuk. Memohon keringanan jalan jika Sandrina memang jodohku. Dan Alhamdulillah, Sandrina Insya Allah jodoh dunia akhiratku,” terang Ari.

Seorang wanita tengah tersenyum haru mendengar ucapan Ari. Siapa lagi jika tak lain adalah sang istri, Sandrina yang bersembunyi di balik Pohon Akasia.

Saat Ari pamit hendak pergi menemui Maya, Sandrina sedikit curiga. Kenapa dirinya tak diajak serta. Sepribadi apa yang akan mereka bincangkan sampai harus di luar rumah begitu. Pernikahan mereka sudah memasuki usia sebulan lebih. Mengapa Ari harus menemui wanita lain yang bukan mahramnya? Bukan Sandrina namanya bila hanya berprasangka tanpa melihat atau mendengarnya sendiri.

Sandrina melihat mimik wajah Maya yang melihat ke arah suaminya dengan murung.

“Apa tidak ada kesempatan kedua, Mas? Bahkan aku mau jadi yang kedua,” tukas Maya.

Ari menoleh mendengar Maya mengatakan mau jadi yang kedua.

“Maaf, Maya. Apa yang ada di pikiranmu? Kamu ini cantik dan berpendidikan. Lagipula kamu kan yang minta kita pisahan? Sekali maaf, May. Ludah yang sudah kamu buang, gak mungkin 'kan kamu jilat lagi?”

“Tapi aku menyesal, Mas Ari. Aku trauma sama laki-laki lain. Aku takut dikhianati lagi. Dan aku hanya percaya pada Mas Ari. Yah, Satu-satunya laki-laki yang bisa aku percaya!”

Ari menggelengkan kepala. “Aku sekarang sudah beristri. Dan istri bagiku cukup Sandrina saja. Maaf! Ucapan kita sampai di sini saja. Tidak ada lagi yang perlu dibahas.”

Ari bangkit dan berjalan cepat meninggalkan Maya sendirian. Maya masih berusaha menghalangi Ari untuk pergi. Sandrina yang melihat Ari menuju parkiran ke mobilnya, ikut berlari mengendarai motor matik yang ia gunakan tadi menuju taman.

Sandrina melewati jalan tikus agar tidak ketahuan Ari. Setelah tiba terlebih dahulu di rumah, Sandrina barulah bisa bernapas lega.

“Alhamdulillah gak ketahuan,” ucapnya sambil ngos-ngosan.

“Sandrina sayang. Jika seorang istri keluar rumah, harus ijin pada suami. Tolong dicatat di buku diarymu ya, Istriku.”

Sandrina membuka mulut lebar dengan mata terbelalak ngeri. Jantungnya berdebar kencang. Ia menggigit bibir bawahnya seraya membalikkan badan.

Ari sudah mengetahuinya sejak di taman. Ia melihat Sandrina saat di balik pohon dari warna baju yang Sandrina kenakan terhempas angin saat Ari hendak beranjak pulang. Ia jadi tertawa geli melihat kelakuan nakal sang istri.

Dasar istri bandel. Awas aja nanti di rumah.

“Aku tadi cuma beli tomat sama cabai ke warung depan, Mas. Tapi karena tokonya tutup jadi naik motor nyari warung yang buka. ‘Kan Mas Ari suka sambal pedas. Rencananya mau buat menu makan nanti malem,” kilah Sandrina sedikit ketus.

“Dapet, tomat sama cabainya?”

Sandrina tergagu. “Ada. Bentar.” Sandrina berlari ke dapur. Ia bersyukur sang mama mertua baru saja selesai berbelanja dan ia mendapati tomat dan cabai yang masih terbungkus plastik.

“Nih.”

Sandrina menyerahkan tomat dan cabai pada Ari. Sang suami hanya mengangkat alis dan langsung mengusap pelan bahu sang istri.

“Seorang istri yang keluar rumah itu harus ijin sama suami dulu. Sekalipun cuma beli cabai sama tomat. Apalagi beli cabai sama tomatnya sampai di taman kota.”

Wajah Sandrina memerah seperti tomat yang Ari pegang. Ia mencoba menormalkan ekspresi wajahnya supaya tidak ketahuan.

“Ah Pak Dosen jangan ngarang,” celetuk Sandrina.

“Wajahmu tak bisa berbohong, Sayang. Oiya, kamu tahu juga gak, kalo Allah itu gak suka banget sama tukang boong?” ujar Ari sambil berlalu.

Sandrina terduduk di kursi dengan mimik wajah bingung. Kemudian bangkit dan mengejar sang suami ke kamar.

“Mas Ari!”

Sebelum Ari menoleh, Sandrina sudah mendekap pinggangnya erat seraya membenamkan wajah di punggung sang suami.

“Maafin Sandrina, Mas. Sandrina kalap. Sandrina takut Mas Ari diculik sama Mbak Maya.” Ari memutar tubuhnya dan menatap lekat pada sang istri. “Hey, Istri sholehahku. Apa yang kamu pikirkan, Sayang. Maya itu bukan nenek sihir yang lagi pengen nyulik sang raja yang tampan.”

Sandrina mencubit perut Ari membuat Ari mengaduh kesakitan. “Aku serius, Mas. Mbak Maya 'kan cinta pertama Mas?”

“Gak. Cinta pertamaku adalah istriku. Cinta pertama dan terakhirku. Jodoh dunia akhiratku. Namanya Sandrina Florecita. Wanita manis dan sholehah. Calon ibu sholehah dari anak-anakku yang sholeh dan sholehah. Yassarallah, Ya Allah. Aamiin ....”

Sandrina tersipu malu. Sambil menutup wajahnya, ia tertunduk.

Ari memegang pucuk kepala sang istri.

“Demi Allah, Istriku. Semoga engkaulah jodohku. Jodoh dunia akhiratku. Semoga Allah memberi kemudahan padaku untuk membimbingmu dan anak-anak kita kelak.”

Sandrina tak bisa menahan tangis haru. Akhir-akhir ini ia seringkali tersentuh dan mudah menangis.

«««♡»»»

Suasana pegunungan pagi itu benar-benar dingin. Padahal kedua sejoli itu sudah memakai jaket tebal sebagai tameng dari dinginnya udara, tapi tetap saja, angin dingin yang nakal itu merasuk ke dalam setiap pori-pori kulit. Membuat keduanya selalu saling bertautan.

“Dingin,” rengek Sandrina seraya mengusap-usap telapak tangannya yang sudah tertutup kaos tangan.

Ari merengkuhnya ke dalam dekapan. “Kasihan istriku yang cantik.”

Sandrina tersenyum malu. Keringat dingin mengalir kemudian. Sepertinya pagi itu sudah menyerap banyak energi. Terbukti kali ini perut Sandrina sedang berdangdut ria.

“Mas ...,” rengek Sandrina lagi.

“Ada apa, Sayang?”

Sandrina mengusap perutnya. “Lapar.”

Ari melirik arlojinya. “Masih jam setengah enam sudah lapar?”

“Gak boleh makan jam segitu ya, Mas?”

“Gak pa-pa dong. Tandanya istriku mulai sehat. Makan yang banyak biar pipinya tambah isi. Tambah embem.”

“Kalo nanti diabetes?”

“Diatur, Sayang.”

Mereka berjalan menyusuri daerah yang ramai pengunjung. Ari bersyukur karena di tempat wisata itu buka rumah makan 24 jam. Jadi ia tak perlu kewalahan mencari makanan sepagi itu.

“Mas gak makan?” tanya Sandrina sambil melahap makanannya yang sudah tersaji di depannya.

“Nanti aja.”

Ari melihat ke sekeliling merasakan hawa sejuk yang mendamaikan hatinya.

“Mas besok jadi ikut penataran ke Jogja?”

“Iya, Sayang. Maaf ya, mas tinggal sebentar. Ada mama kok di rumah jadi gak usah pulang ke panti.”

“Mas kan seminggu di Jogja, jadi aku ijin tidur di panti 3 hari aja ya, Mas. Kangen sama Ibu Maya, sama temen-temen panti juga.”

“Ya sudah terserah. Yang jelas setelah 3 hari balik ke rumah.”

“Oke.”

Sandrina menyanggupi dengan membentuk huruf O ibu jari dan jari telunjuknya.

“Oke apa Insya Allah?”

“Eh Insya Allah. Maaf lupa.”

Sandrina kembali melahap makanannya sampai habis.

«««♡»»»

“Hati-hati ya, Nak. Mama cuma bisa bantu doa.”

Ari menyalami punggung tangan sang mama seraya pamit karena tugas. Sandrina juga ikut serta karena Ari akan mengantarkannya ke panti.

“Ma, Sandrina juga pamit ya?”

Mama Ari mengangguk. “Cepat pulang, Sandrina.”

“Insya Allah, Ma.”

Setelahnya mereka menuju mobil dan melambaikan tangan pada sang mama. Papa Pramana juga sedang tidak ada di rumah. Karena itu, Mama Atiqa berharap Sandrina segera pulang ke rumahnya.

«««♡»»»

“Buku apa ini, May?”

“Mama baca sendiri. Mas Ari yang meminjamkannya pada Maya, Ma.”

Mama Ari duduk di sofa empuknya dan membuka buku tersebut halaman demi halaman. Ia menutup mulut saat membaca beberapa halaman saja dan menjatuhkannya seketika.

“Sandrina??”

—★※♡※★—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top