18. Hari Baru

Aku mulai percaya akan hadirnya pelangi setelah hujan.
Sungguh, begitu indah cara Allah menunjukkan jalan kepada hamba-hamba-Nya.

Sandrina_

“Berbahagialah, Anakku. Akhirnya kamu bertemu dengan jodohmu, Nak. Sandrina, mulai sekarang, jadilah wanita yang baik, lemah lembut dan patuh pada suamimu,” pesan Ibu Maya pada Sandrina.

Sandrina mengangguk pelan. Di depan kaca rias itu, ia bisa melihat bayangan dirinya yang kini berbalut kebaya berwarna putih berpadu warna biru muda.

Mereka melangsungkan akad nikah di panti atas permintaan Sandrina.

Suasana haru bisa dirasakan pagi itu di panti. Seorang anak panti yang kini dipinang dan mengikat sumpah setia bersama seorang pemuda dari keluarga terpandang lagi kaya raya.

Ibu Maya menangis bahagia saat undangan yang hadir mengikuti ucapan saksi mengatakan sah. Sandrina tak bisa menahan air matanya yang luruh. Ia segera memeluk Ibu Maya.

“Ibu, makasih atas semua kebaikan Ibu selama ini. Doakan Sandrina bahagia, Bu,” ucap Sandrina saat Ari dan keluarganya akan membawanya pergi dari panti.

Ibu Maya mengusap lembut puncak kepala anak asuhannya itu.

“Doaku akan selalu menyertaimu, Nak. Ingat pesan ibu ya, Nak?”

Sandrina mengangguk dan kembali memeluk Ibu Maya.

«««♡»»»

Ari dan Sandrina tengah duduk di tepi telaga malam itu dan hanya dengan diterangi cahaya bulan purnama.

“Pak, aku boleh nanya?” tanya Sandrina.

Ari tersenyum manis dan mengangguk pelan. “Namun sayangnya aku sudah tahu apa yang mau kamu tanyakan.”

“Bisa nebak?”

“Kenapa bapak memilihku? Pasti nanyanya gitu, ‘kan?”

Sandrina tersenyum kecil dan mengangguk. “Apa yang Bapak cari dari manusia hina sepertiku? Apa aku ini hanya pelarian setelah Bapak berpisah dari Mbak Maya?”

Ari menoleh pada Sandrina dengan menggenggam tangannya. Ia memandang lekat manik mata sang istri.

“Sekarang kita sudah sah sebagai suami istri. Sudah sah dan Allah ridho dengan hubungan kita. So, jangan pernah bertanya itu lagi. Tapi aku jawab. Jawaban dari pertanyaan yang pertama adalah, semua manusia sama. Sehina apa kamu, San? Kita gak bisa nilai manusia dari luarnya, fisik atau sikapnya. Gak bisa. Sebelum kita mengenal dan memahami betul orang itu. Dan yang kedua adalah, sejak dia pergi, sejak itu pula aku sudah putuskan, dia sudah terputus segala halnya dariku. Hubungan dan perasaanku sudah terputus darinya. Karena apa? Karena aku hidup dengan prinsip, bahwa yang sudah pergi, ijinkanlah saja hal itu pergi. Termasuk dari sini,” tunjuk Ari pada pelipisnya, yang ia maksudkan adalah akal. “Dan juga pergi dari sini,” tunjuknya pula pada dada. Yang ia maksudkan adalah hati.

“Bukankah Bapak tahu dari mana asalku?”

“Sandrina, manusia tumbuh bukan hanya karena darah yang mengalir, tapi juga karena pola asuh. Kamu ngerti 'kan maksudku?”

Sandrina mengangguk sekali.

“Dan aku yakin, Ibu Maya mendidikmu dengan sangat baik.”

Sandrina memandang lekat telaga di depannya sambil tersenyum.

“Ibu Maya adalah wanita yang baik, keibuan dan lemah lembut. Apa semua nama Maya punya hati selembut kapas, Pak?”

“Jangan sebut Maya yang lain, San. Kulit kadang gak sama dengan isi.”

Sandrina cekikikan mendengar ucapan laki-laki yang sudah sah menjadi suaminya itu.

“Satu hal lagi, San!”

“Apa?”

“Mulai sekarang jangan panggil pak lagi. Entar jalan di tempat umum, aku dikira bapakmu,” sungut Ari.

“Trus dipanggil apa?”

“Kang mas aja.”

Sandrina tertawa lebar sampai harus menutup mulutnya. Tak lupa ia memukul lengan sang suami.

“Berasa hidup di keraton. Kang Mas Ari.”

"Ya sudah panggil Mas Ari saja kalo begitu."

Ari mengerucutkan bibir melihat Sandrina masih tertawa mengejeknya. Selang beberapa saat kemudian, ia membisu dan memandang istrinya dari samping.

“Sandrina, mulai sekarang jangan menganggap dirimu sendiri hina. Allah Maha Adil. Kita hanya mengikuti apa yang diperintahkan Allah dan yang diajarkan nabi kita, Muhammad. Selain itu, tidak ada kekhawatiran bagi orang yang beriman.”

Sandrina mengangguk. “Beri aku kebahagiaan, Mas Ari. Ubahkan masa laluku yang buram menjadi warna yang cerah. Aku juga ingin bahagia. Seperti yang orang sering katakan bahwa akan selalu ada pelangi setelah hujan menerpa. Bagaimana pun buruknya aku, aku juga manusia. Yang ingin memiliki harapan. Memiliki bahagia,” ucap Sandrina dengan mata berkaca-kaca.

Ari mendekat dan merengkuh Sandrina dalam pelukannya. Sandrina menangis sesenggukan. Ari mengusap rambut Sandrina berulang-ulang.

«««♡»»»

“Apa ini, Mas?”

Sandrina menyeka rambutnya yang basah setelah mandi pagi. Ia bersiap akan kuliah ke kampus hari ini. Namun tatapannya tercekat pada sebuah kotak berwarna biru terang yang diletakkan di atas kasur. Sandrina merabanya.

“Buka aja,” ujar Ari.

Ari sibuk nemasang dasi dan menyisir rambutnya di depan kaca. Sementara ia sesekali tersenyum nelihat Sandrina masih meraba kotak itu.

“Boleh?”

“Memang buat kamu, Sayang.”

Dipanggil sayang, Sandrina mengangkat alis dan membuka mulut. Namun tak lama kemudian ia tersenyum samar karena tersipu malu. Melihat ekspresi sang istri, Ari tersenyum geli.

Dengan hati-hati Sandrina membuka penutup kotak. Ia meraih kain panjang berwarna biru muda.

“Ini?”

“Itu hijab.”

Ari mendekati Sandrina yang masih bergeming.

“Mulai sekarang, aku pengen istriku berhijab. Memakai pakaian tertutup. Dan kali ini aku memaksa.”

Sandrina tertawa kecil. “Memang niatku maunya gitu. Gak usah dipaksa. Keknya cewek yang pake hijab tu lebih teduh dan adem liatnya.”

“Trus gimana hal sama cewek berhijab tapi kelakuannya gak baik?”

“Nyindir, Mas?”

“Serius, San. Yang jelas itu bukan kamu.”

“Itu kan kacamata manusia, Mas. Iman seseorang siapa yang tahu.”

“Tepat sekali, Istriku yang cerdas! Kita gak boleh menilai sesuatu dari luar."

Sandrina nampak berpikir. "Contohnya apa?"

"Apa ya? Emm, mungkin seperti sekarang ini. Lagi pesatnya media sosial kek sekarang. Berita bohong dan jujur itu bedanya tipis. Makanya jangan langsung disebar biar kita gak jadi penyebar berita bohong. Kalo jujur gak papa. Tapi kalo ceritanya bohong, bisa jadi kita itu penebar fitnah. Alangkah baiknya bertabayyun. Mencari setiap informasi seakurat mungkin. Baru deh kita share. Tapi share berita yang baik-baik saja. Karena kulit kadang gak sama dengan isi, gitu. Intinya hati-hati," ujar Ari.

“Cieee ..., Pak dosen.”

“Menghindari fitnah saja.”

“Kek aku dulu. Kena fitnah. Tapi gara-gara fitnah itu, selama dipenjara, aku jadi kenal sama Allah. Jadi ngerti bagaimana seharusnya bersikap yang baik.”

“Karena Allah selalu tahu bagaimana menjadikan seorang hamba kembali pada-Nya.”

“Iya, Mas.”

Sandrina tertunduk lagi dalam keadaan bersyukur. Bersyukur benar ungkapan pelangi setelah hujan. Selain merasakan nikmat sejuk, ia bisa melihat kesekian warna-warni indah dalam hidupnya. Dengan mengenal Allah kembali.

Saat mereka menuju meja makan untuk sarapan, mama Ari terpaku melihat penampilan Sandrina. Ia segera berdiri dan memegang wajah menantunya.

“Begini terlihat lebih cantik, Sayang. Semoga istiqomah ya,” ucapnya bahagia.

“Terima kasih, Ma.”

«««♡»»»

“Gila bener, baru kemaren gue hadir di akad lo, sekarang dah maen kuliah aja. Gak kesel, San?” sindir Rina.

“Kesel apaan?”

“Ntu laah, masa lo gak paham. Gue aja ngerti walaupun gak pernah nikah.”

“Gendengmu, Rin!” tegur Andin. “Jangan bahas itu. Ennek gue. Belom juga ada yang minang.”

“Yaudah. Nasib kita sekarang pacaran. Gak pake nikah. Masih lama.”

Mendengar percakapan kedua sahabatnya, Sandrina tersenyum geli.

Rina menoleh pada Sandrina. “Lo senyum, San? Jarang gue liat lo senyum. Lagi bahagia bener keknya.”

“Iyalah pengantin baru, Rin.”

Yang menyahut malah Andin. Sandrina masih bergeming dengan wajah berseri.

“Gue sering liat lo senyum. Tapi senyum ngejek, San. Sama rival-rival kita. Tapi sejak lo berubah gara-gara kena masalah dulu, lo gak pernah ngebuli lagi. Gue jadi kangen ngebuli orang. Yah, buat obat suntuk gitulah,” ujar Rina santai.

“Gak, Rin. Justru gue ngerasa kalo ada orang yang udah bikin hati kita sakit, mending kita diemin aja. Tahan dan sabar aja. Itu bakal buat hati kita tentrem. Biarin Allah saja yang ngasi balasan buat orang itu. Kita cukup serahin aja sama Allah. Allah itu barengan sama orang yang sabar. Jadi gak perlu khawatir sama diri kita. Allah gak bakal biarin kok,” terang Sandrina.

“Busyett dah. Nikah ma pak dosen kenapa lo jadi ustazah begini. Hebat Pak Ari. Preman insaf nih namanya.”

Sandrina tertawa mendengar ucapan Rina. “Dan gue jadi gak asik gitu maksud lo?” sindirnya.

“Tergantung.”

“Gue kira lo mo ngomong truk gandeng, Rin,” canda Andin.

Membuat ketiganya kembali tertawa.

“Pak Ari emang dasar ya. Ngebuat temen gue kali ini pake hijab panjang begini. Tapi kalo diliat-liat sih, lo tambah cantik, San, pake hijab. Tambah kalem. Adem, gitu diliat,” lanjut Rina.

“Dan tumbenan juga lo sering muji gue, Rin. Biasanya juga sarkastis mulu ma gue,” kilah Sandrina.

“Gue cuma berkata jujur, San.”

Gue harap, kalian juga bisa dapetin suami kek Mas Ari. Sabar dan bisa ngebimbing buat kenal Allah, Amiin . Doa Sandrina dalam hati.

«««♡»»»

“Hijabnya kena angin ya, Sayang?” tanya Ari.

Perkuliahan sudah usai, sore itu mereka beranjak pulang. Mereka kini berada di dalam mobil.

“Memangnya kenapa, Mas? Kacau?”

“Sedikit,” sahut Ari.

Ari masih fokus menyetir. Ia tak bisa membetulkan letak hijab sang istri.

Sandrina mencoba membetulkan letak hijabnya. “Tadi ditarik-tarik sama Rina ini. Katanya lucu aja liat aku pake hijab.”

Ari menoleh sejenak pada sang istri. “Cantik kok.”

“Kata Rina juga gitu.” Sandrina terkekeh pelan.

“Karena itu faktanya.”

“Hmm. Semoga bukan dusta,” sahut Sandrina.

Ari tak menyahut hanya menggeleng pelan karena ia fokus pada jalan di depannya.

Mobil melaju perlahan saat memasuki halaman rumah Ari. Setelah sampai di teras halaman, mereka turun. Ari membetulkan letak hijab Sandrina.

“Sempurna,” ucap Ari.

“Udah bener maksudnya?”

“Iyap. Hijabnya udah bener. Cocok sama yang make. Cantik.”

Sandrina tertawa lebar. Ia tahu suaminya hanya bercanda. Karena Sandrina tak pernah merasa cantik selama ini. Padahal wajahnya mirip sekali dengan artis eropa jika Ari bisa ungkapkan.

Dari balik ruang tamu, seorang gadis melihat mereka dengan tatapan terluka. Ia segera memalingkan wajah ke arah samping karena tak kuat melihat lakon di depannya.

—※★♡★※—




Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top