17. Zamrud
Ternyata Allah punya cara tersendiri untuk menunjukkan kebahagiaan sejati pada hamba-Nya.
Layaknya seseorang yang melewati jalanan berkerikil tajam, lalu melewati jalanan mulus. Akan terasa sekali kebahagiaan itu setelahnya.
Sandrina_
“Anak panti?” tanya ibunda Pak Ari.
Pak Ari mengangguk. Kedua orangtuanya saling berpandangan.
“Nak, bukannya kami tidak setuju, tapi bukankah nasabnya saja tidak jelas. Bagaimana kalo dia hasil perbuatan terlarang kedua orangtuanya sampai dibuang ke panti?”
Ari terdiam sejenak. Bisa jadi benar, tapi tidak sepenuhnya benar. Mereka belum mengerti apa yang ada di pikiran Ari.
“Ma, Rasulullah memberi kita pilihan akan calon pasangan hidup. Memang ada nasab di sana, tapi yang Nabi utamakan adalah akhlaknya. Sandrina gadis yang baik.”
“Sandrina? Sepertinya papa pernah dengar nama mahasiswimu itu? Dia bukan yang pernah dipenjara itu, 'kan?”
Ari memutar otak untuk kembali meyakinkan orangtuanya. Di mata orang lain, Sandrina memang bukanlah gadis yang baik. Gadis bengis dengan segala keangkuhannya. Hendak mencari informasi pada siapapun tentang gadis itu, tetap saja akan mengatakan hal yang sama. Siapa yang akan rela mempunyai menantu seperti itu?
Ari tak menyalahkan kedua orangtuanya. Ia hanya meminta sedikit kesempatan saja.
“Ari? Kenapa tidak menjawab pertanyaan papamu, Nak?” tanya sang mama.
“Diammu mengatakan iya, Ari,” sanggah sang papa.
Ari pasrah dan mengangguk pelan. “Dia Sandrina yang pernah dipenjara, Pa, Ma. Tapi Ari minta sedikit kesempatan untuk mengenalkan Sandrina pada kalian. Dan Ari mohon, Papa sama Mama bisa bijak dalam hal ini.”
“Tapi, Nak ....”
Ucapan sang mama disergah oleh sang suami dengan tangannya.
“Kami akan mencoba memikirkannya, Ari,” sahut sang papa tenang.
Ari mengangguk-anggukkan kepalanya menatap bergantian kedua orangtuanya.
“Terima kasih atas kesempatan ini, Pa.” Ari bangkit dan hendak berlalu, namun langkahnya terhenti seketika dan menoleh sejenak pada mama papanya. “Aku harap, Papa sama Mama tidak melihat kulit, tapi melihat isi. Sandrina memang bukan gadis hebat seperti Maya. Tapi aku yakin, dia bisa lebih baik dari gadis yang pernah aku kagumi itu,” ucapnya kemudian. Setelahnya ia kembali berlalu.
«««♡»»»
“Iya, Ma. Ini kita sudah sampai,” ucap Pak Ari.
Setelah melepas seatbelt, Pak Ari menoleh pada gadis di sampingnya yang terlihat gugup.
“Kita sudah sampai, San. Ayo turun!” ajak Pak Ari.
Sandrina dan Ari Adithya sudah tiba di halaman rumah orang tua Pak Ari. Sandrina sedikit ragu dan takut. Biasanya ia selalu berani menghadapi apapun. Termasuk menghadapi kenyataan. Namun sekarang, ia terlihat sering menelan salivanya kelu. Dengan kepercayaan yang diberikan oleh sang dosen, Sandrina mau diajak menemui orangtua dari orang yang sudah melamarnya itu.
Sandrina berjalan di belakang Ari dengan tertunduk bisu. Setelah dipersilakan duduk di sofa empuk ruang tamu rumah bercat merah muda beserta beberapa aksen berwarna senada itu, Sandrina masih saja tertunduk. Ia merasa sangat takut. Dan Sandrina hanya bisa memutar-mutar cincin di jari tengah yang diberikan sang dosen padanya itu.
“Nak Sandrina,” sapa mama Ari.
Sandrina mengangkat wajah. Semula ia pikir, wajah mama Pak Ari adalah wajah seorang wanita kaya yang angkuh dan berhati keras. Tapi yang ia lihat di hadapannya kini adalah wanita yang tersenyum lembut penuh keibuan. Sandrina membalas senyum wanita itu hati-hati.
“Sandrina, ini mama aku. Namanya Mama Atiqa. Mama yang selalu cantik. Karena itu, papa gak mau berpaling.”
Ari memperkenalkan sang mama pada Sandrina. Sang mama mencubit pipi Ari karena gemas sudah memujinya di depan suami dan calon menantunya.
“Dan di sebelah mama itu adalah papa. Papa Pramana namanya.”
Pramana hanya melihat datar calon menantu di depannya. Sandrina menganggukkan kepalanya pelan dengan sedikit rasa takut. Suasana menjadi sedikit kaku karena kebanyakan dari mereka terdiam.
“Oiya, mama masak masakan banyak ala kampung sekarang. Ayuk kita makan!” ajak Mama Atiqa mencairkan suasana.
Ari mengajak Sandrina ke ruang makan. Setelahnya, mereka asyik menikmati hidangan masing-masing. Di meja makan itu, kebekuan kembali terjadi.
“Sandrina, bolehkah aku bicara sebentar denganmu?” tanya Pramana sekaligus membuka percakapan setelah selesai makan.
“Iya, Pak.”
«««♡»»»
“Kenapa sedari tadi kamu diam, San? Apa yang papa ucapin sama kamu?” tanya Ari.
Mereka kini berada di dalam mobil menuju pulang. Ari hendak mengantarkan Sandrina kembali ke panti.
“Emm. Gak ada. Beliau cuma nanya soal kehidupanku di panti.”
Ari menganggukkam kepalanya pelan. Mobil memasuki areal panti. Sandrina pamit turun, namun dicegah oleh Ari.
“Apapun yang orangtuaku katakan jangan diambil hati ya? Mereka masih ingin mengenalmu,” kilah Ari Adithya.
Sandrina mengangguk dan keluar dari mobil. Ia mengamati sejenak saat mobil Pak Ari sudah berlalu keluar dari pelataran panti. Lalu ia melangkah masuk ke dalam kamarnya.
Sandrina membuka tas dan meraih bingkisan yang diberikan oleh papa Ari tadi tanpa sepengetahuan Ari ataupun mamanya.
Bingkisan kecil berbentuk kado itu ia buka perlahan.
Bismillah.
Sebuah kotak beludru berwarna biru tua ia buka. Sandrina membuka mulut saat melihatnya. Ia masih ingat betul apa yang dikatakan sang calon papa mertuanya itu padanya tadi.
“Sandrina, apa kamu yakin mau menikah dengan anakku, Ari?” tanya Pramana.
Sandrina jujur dengan menggeleng pelan membuat Pramana menautkan kedua alisnya.
“Lalu kenapa kamu mau dilamar sama Ari?” tanya Pramana lagi dengan sedikit nada tinggi.
“Saya gak yakin karena status saya sama Pak Ari berbeda, Pak. Saya tahu diri soal itu. Bapak sama ibunya Pak Ari pasti gak akan setuju dengan hubungan saya dan Pak Ari,” sahut Sandrina.
“Kenapa kamu mikir gitu?”
“Semua orang juga tahu siapa Pak Ari dan Pak Pramana. Bahkan Bapak berhubungan baik dengan rektor dan dosen-dosen di kampus. Saya tahu itu, Pak. Pak Pramana cukup dikenal di kampus. Bapak adalah salah satu investor di kampus kami. Sekarang saya bisa bayangkan posisi saya yang hanya anak panti, bersanding dengan Pak Ari yang memiliki banyak harta.”
“Pak Ari sudah cerita kalo beliau baru batal menikah dengan calonnya. Calon Pak Ari dulu adalah gadis yang sangat cantik, Pak. Dan berhati kapas. Dia sangat lemah lembut. Saya pernah melihatnya. Pasti semua orang akan bandingkan saya dengan Mbak Maya yang seorang calon dosen dari keluarga kaya dan juga terpandang. Dari Rupa, Nasab, akhlak dan kekayaan, dia memiliki semuanya. Berbanding terbalik dengan saya, Pak.”
Sandrina tertunduk. Ia sadar akan keadaannya. Memang dalam hati terdalam, ia sangat mengagumi Pak Ari. Bukan karena harta atau rupa, tapi karena sikap Pak Ari sebagai salah satu dosen yang tetap menghargai manusia hancur seperti dirinya.
“Apa pemikiranmu sepicik itu, Sandrina. Jujur, aku sering mendengar namamu yang terkenal sering buat ulah. Bahkan kabarnya, kamu pernah mencoreng nama baik kampus karena dipenjara dengan tuduhan penganiayaan walau akhirnya semua itu cuma fitnah belaka. Apa semua itu yang membuatmu berpikir kerdil?” tanya Pak Pramana lagi.
“Terserah Bapak berpikir saya kerdil. Mungkin itulah faktanya. Tapi saya masih punya Tuhan, Pak. Saya yakin, saya mempunyai masa depan walaupun hanya anak panti.”
“Dan satu hal lagi. Semiskin-miskinnya saya, saya mau kelak jika saya menikah adalah dengan restu orangtua. Ridhanya Allah tergantung ridha orangtua. Saya gak mau nikah tanpa restu. Saya mau nikah dengan kebahagiaan. Dan kebahagiaan pernikahan adalah restu orangtua. Saya pernah dengar itu, Pak.”
Pramana bergeming cukup lama. “Pantas saja, anakku mau memperjuangkanmu," ungkapnya tenang.
Laki-laki setengah baya yang masih terlihat gagah itu mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celana dan menyerahkannya pada Sandrina.
“Ini apa, Pak?”
“Ambillah, Nak. Anggap ini hadiah dariku. Aku merestui hubunganmu dengan anakku Ari. Jagalah Ari, dalam susah dan senang. Dan jangan buat dia sakit lagi. Dia anak kami satu-satunya.”
“Saya gak bisa berjanji, Pak. Saya hanya bisa berdoa. Manusia takkan mampu apa-apa tanpa ada campur tangan Allah di baliknya.”
“Kamu benar.”
Sandrina menutup mata cukup lama. Baru kali ini ia merasa dianggap sebagai seorang manusia seutuhnya. Setelah perjalanan melelahkan dalam menggapai arti kehidupan.
"Di dalamnya aku letakkan zamrud, Nak. Zamrud ini adalah lambang kejayaan bagi keluarga kami. Karena itu, kami semua memilikinya walaupun tidak memakai barang ini, kami tetap menyimpannya."
"Tapi ini bukan jimat kan, Pak?"
"Mana mungkin saya percaya hal seperti itu. Anggap saja ini hanya lambang keluarga kita. Lambang formalitas semata."
"Tapi saya belum sah sebagai anggota keluarga kalian."
"Insya Allah. Semoga kalian berjodoh dan bahagia."
Sandrina tertunduk haru. "Terima kasih atas penghargaan ini, Pak."
"Yah. Sandrina, jadilah seperti batu permata mulia. Semakin digosok dengan berbagai cara, dia akan semakin berkilau. Begitu pun kehidupan. Jadikan setiap ujian itu menguatkan kesabaran. Karena dengan kesabaran, kita akan mudah memahami jalan kehidupan. Karena Allah bersama orang yang sabar."
Gadis itu meraba kalung emas pemberian Pak Pramana sebagai wujud restu. Di ujung mainannya terdapat batu permata berwarna hijau berkilau, zamrud.
Ya Allah, aku tahu, Engkau selalu adil pada setiap makhluk-Mu. Namun untuk meyakinkan itu semua, kadang otakku tak mampu menjabarkan keadilan-Mu. Akalku tak sampai ke sana. Karena itu selalu berilah aku petunjuk-Mu, duhai Dzat Yang selalu memberi hamba-hamba-Nya petunjuk. Aamiin ....
«««♡»»»
“Lo serius, San? Pak Ari ngelamar lo?” tanya Rina tak percaya.
Sandrina mengangguk. “Bahkan gak lama lagi, gue sama Pak Ari bakalan nikah secepetnya. Ngindarin fitnah,” ringkas Sandrina.
“Selamat ya, San. Gue juga seneng dengernya,” ucap Andin sembari menepuk pundak Sandrina.
“Thanks.”
“Gimana ceritanya, San. Lo bisa ngegaet dosen muda itu? Apalagi Pak Ari udah punya tunangan,” ujar Rina.
Sandrina hanya melirik sekilas pada Rina dengan senyum sarkastis. “Gue masih percaya adanya Tuhan yang ngatur hidup makhluk-Nya. Masalah kek gini kecil buat Pencipta makhluk. Yang jelas, gue bukan pelakor. Kalo lo pengen penjelasan lebih luas, lo bisa tanya langsung sama dosen itu.”
“Gue tahu, lo udah lama suka sama tu dosen dan gue percaya lo. Lo bukan pelakor kek yang digosipin sama orang-orang di kampus ini,” ujar Andin.
“Makasih, Ndin. Tapi gue bukan suka, cuma kagum aja. Dan keduanya beda jauh,” tandas Sandrina.
Andin terkekeh pelan. "Iya deh, sori."
“Selamat ya, San. Kita seneng dengernya,” ucap Rina kemudian.
“Thanks.”
«««♡»»»
“Jadi yang dibilang abah itu bener, Mas?”
“Iya, May. Sebentar lagi. Insya Allah kami akan melangsungkan akad.”
“Selamat ya, Mas. Gak nyangka, Mas Ari bisa secepat itu ngelupain Maya.”
Ucapan gadis di seberang sana itu terdengar kelu.
“Karena sesuatu yang tak bisa dimiliki, buat apa dipaksa untuk dimiliki, May. Jalan satu-satunya adalah mencari jalan keluar itu sendiri. Dan aku memilih Sandrina, alasanku melupakanmu.”
“Em. Maya emang salah. Maafin Maya, Mas. Tapi semoga suatu hari nanti, masih ada kesempatan kita berjodoh lagi. Mungkin bukan sekarang, tapi nanti.”
Ari tertawa kecil. “Sepertinya aku udah gak ngarepin itu lagi. Karena masa lalu, akan tetap jadi masa lalu. Dan masa lalu itu, hanya seperti serpihan mimpi saja,” tandasnya kemudian.
—※★♡★※—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top