16. Buku Usang.
Seberapapun pahitnya acara kehidupan ini, aku tahu dan mulai menyadari, di situlah sekolahku sebenarnya.
Sandrina_
Sandrina masuk ke dalam daerah kampus pascasarjana. Ia mencari Pak Ari yang juga mengajar mahasiswa di pasca. Wajahnya celingukan.
"Sandrina?"
Sandrina menoleh. "Pak Ari, kebetulan saya butuh sama Pak Ari."
"Butuh apa?"
Sandrina menyerahkan sebuah buku usang berbahasa inggris.
"Bapak pernah menyuruh saya buat ikutan les bahasa inggris. Kalo begitu saya mau. Tapi sudah telat ya, Pak?"
"Oh belum. Lalu apa hubungannya sama buku ini?"
"Buku ini punya ibu saya, Pak. Saya pengen tau artinya."
Pak Ari memegang buku tulis berukuran besar dan tebal itu. Sedikit kumal. Tulisan di dalamnya bersambung dan berbahasa inggris. Jika boleh dosen itu nilai, ibunda Sandrina sangat pintar berbahasa inggris. Pak Ari sempat membaca sejenak artinya. Tentang isi hati. Tepatnya itu buku diary.
Sebenarnya Pak Ari tertarik untuk membacanya. Hanya saja ia ragu. Bukankah buku itu milik orang lain.
"Ibu kamu yang memberi ini?" tanya Pak Ari.
Sandrina menggeleng. "Mama udah meninggal lama, Pak. Itu dititipkan sama temen mama, Nyonya Amelda. Dan Nyonya Amelda yang ngasi itu ke saya."
Pak Ari mengangguk-anggukkan kepalanya pelan. "Bolehkah saya meminjamnya?"
"Buat apa, Pak?"
"Saya suka bahasa inggris mama kamu. Sepertinya ia fasih sekali bahasa inggris."
"Boleh. Silakan, Pak."
"Setelah kamu bisa berbahasa inggris walaupun sedikit, saya akan mengembalikan buku ini."
"Ceritanya buku itu buat tawanan ya, Pak?"
"Of course. Supaya kamu tambah semangat belajar bahasa inggris."
"Boleh. Makasih ya, Pak."
Pak Ari menggangguk. "Nanti sore kita kumpul di ruang delapan."
"Oke, siap!"
«««♡»»»
Beberapa hari ini Sandrina disibukkan dengan jadwal kuliah dan les bahasa inggris. Entah apa yang sedang dia kejar. Keinginannya bisa berbahasa inggris hanya dengan tujuan untuk bisa membaca buku harian sang mama.
Sebenarnya bukan buku harian saja, tapi masih ada beberapa literatur yang biasa dibaca sang mama dalam bentuk bahasa inggris. Nyonya Amelda memang sengaja menyimpan itu semua untuk anak dari sahabatnya itu kelak.
Terima kasih, Nyonya Amelda. Terima kasih, Ya Allah. Aku masih punya kenangan tentang almarhumah mama.
Terima kasih mama, masih menyisakan kenangan padaku, walaupun ..., aku hancur oleh kisahmu.
"Bahasa Inggris kamu lumayan bagus, San. Hanya perlu diasah sedikit lagi," ujar Pak Ari.
Ia menemani Sandrina saat melewati pelataran kampus.
"Saya belum banyak paham soal bahasa inggris, Pak. Masih tahu sedikit."
"Butuh proses memang, tapi lumayanlah. Kamu belajarnya cepet bisa."
Senyum dosen muda itu terbingkai manis. Membuat Sandrina semakin mengaguminya.
«««♡»»»
Ari Adhitya Pramana, dosen muda itu meletakkan kacamata di meja kerjanya dan menutup buku usang milik Sandrina.
All I wrote in this book.
Kata-kata di awal itu yang membuatnya semakin penasaran akan kisah mama Sandrina.
"Aku tahu kenapa kamu selalu bertanya soal anak haram, San," gumam Pak Ari setelah membacanya.
Pak Ari membuka laptop dan membuka beberapa file. Ia memandang layar itu cukup lama dengan senyum tipis. Foto-foto Sandrina yang sengaja ia ambil dari flashdisk gadis itu. Entah kenapa ia tertarik dengan kehidupan Sandrina.
Dosen muda itu menyandarkan punggungnya ke dada kursi. Wajahnya terangkat memandang langit-langit. Entah sesuatu sedang merecoki pikirannya.
Ponselnya berdering cukup lama. Ia menengoknya sebentar. Dengan malas, Pak Ari menggeser tanda hijau.
"Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumussalam. Iya, May?"
"Mas, jangan lupa besok kita ketemu di rumah. Abah sudah tahu permasalahannya. Tinggal Mas yang ngomong langsung."
"Insya Allah besok aku ke sana."
"Makasih ya, Mas. Maafkan aku ...."
"Gak pa-pa."
Setelah mematikan sambungan telepon, Pak Ari kembali menyandarkan tubuhnya di dada kursi dengan tangan yang ia letakkan di tengkuk. Menghela napas pelan, lalu bangkit menuju tempat tidur.
«««♡»»»
"Sandrina," panggil Pak Ari.
Ia menyerahkan buku usang milik mama Sandrina.
"Iya, Pak?"
Sandrina menoleh dan mengambil buku itu.
"Bukannya kata Bapak ...."
"Bacalah! Belajarlah bahasa inggris dari situ."
Sandrina diam memandangi buku usang milik almarhumah mamanya itu.
"Apa kau sempat membacanya?"
Sandrina menggeleng pelan. "Saya gak tahu bahasa inggris, Pak. Tahu sedikit, tapi itu susah."
"Jangan berbohong, San," lirih Pak Ari.
Sandrina tertunduk. Kakinya sibuk mengurai dedaunan kering di bawahnya. Taman kampus itu sangatlah luas dan tak seorang pun tahu apa yang tengah mereka perbincangkan. Walaupun di balik pohon mahoni itu, ada seorang yang mencoba mengamati tindak-tanduk mereka dari kejauhan.
"Bapak mikir apa?"
"Itu bukanlah bahasa yang rumit. Bahasa inggris yang ibumu tulis adalah bahasa inggris sehari-hari dan aku yakin, kamu bisa mengartikannya."
"Pak, saya ...."
Sandrina memejamkan mata sejenak dan kemudian berjalan melewati Pak Ari dengan menghela napas berat. Saat ia hendak berlari, ucapan Pak Ari mencegahnya.
"San, jangan lari! Hadapi!" sergah Pak Ari.
Sandrina membalikkan badan dan memandang Pak Ari dengan mata berkaca-kaca.
"Bapak tahu kenapa saya menyerahkan buku ini sama bapak?"
"Aku gak tahu apa maksudmu."
"Karena cuma Bapak yang bilang saya bukan anak haram! Dan setelah baca buku itu, semuanya jelas, Pak! Supaya Bapak tahu bahwa anak haram itu ada, di depan Bapak sekarang!" pekik Sandrina.
Sandrina menyeka air matanya yang jatuh lalu pergi tanpa dapat dicegah lagi.
Langkah demi langkah gadis itu seolah meninggalkan jejak pilu. Pak Ari membuka kacamatanya dan mengusap air bening yang sempat menitik di sudut mata.
"Baru kali ini aku bertemu dengan seseorang yang begitu kuat. Diamnya kamu, San. Meninggalkan pilu yang tak banyak orang tahu. Orang hanya menganggap kamu gila dengan kebengisanmu, tapi di balik itu semua, aku akui, kamu gadis terhebat yang pernah kukenal."
«««♡»»»
"Jangan gila, San. Pak Ari sudah punya tunangan!"
Sandrina masih mematung dengan memeluk buku-buku diktat kuliahnya. Ia memasang telinga tak mendengar bagi Mario yang mencoba menegurnya.
"Gue ngeliat lo sama Pak Ari! Lo jangan gila! Tunangan Pak Ari itu wanita hebat dan gak sebanding sama lo!" Mario malah semakin memanasi Sandrina.
Sandrina berbalik dengan tatapan elangnya. Mata bolaknya yang bulat sempurna masih saja membuat lawan bicaranya sedikit bergidik.
"Gue gak punya urusan sama hidup Pak Ari. Dan jangan urusin urusan gue!" bentak Sandrina.
Sebelum ia pergi dari tempat itu, ia membisikkan sesuatu ke dekat Mario.
"Gue gak ada apa-apa sama Pak Ari, tapi kalo lo tetep buntutin gue dan sembunyi di balik pohon, jangan harap gue bakal ngomong sama lo lagi, Pengec*t!"
Sandrina berlalu dari tempat itu. Mario sempat tercekat mendengar penuturan Sandrina. Ternyata gadis itu tahu bahwa dirinya mencoba menguping pembicaraan gadis itu dengan Pak Ari, walau tak berhasil karena jarak yang terlampau jauh. Sebenarnya Sandrina tak bermaksud mengeluarkan ucapan kasar lagi, tapi saat ini, jiwanya masih tergoncang.
Sandrina mempercepat langkah memasuki masjid setelah mengambil air wudu. Ia berdiri melaksanakan sholat zuhur. Dan setelahnya menengadahkan tangan.
Hamba adalah hamba-Mu, Ya Rabb. Tak terbayangkan bagaimana sakitnya menjadi mama. Kuatkan hamba, Ya Allah. Kuatkan.
«««♡»»»
"Maafkan kami, Abah. Ini adalah keputusan kami berdua."
Itu ucapan terakhir Ari Adithya pada Abah Bhanu. Mengingat itu saja membuatnya pasrah dengan keadaan. Kandas sudah impiannya merajut masa depan bersama. Impian akan rumah tangga yang bisa ia bina dan pimpin bersama gadis yang ia suka dari dulu.
"Maafin Maya, Mas. Maya gak siap dengan perjodohan ini. Maya sudah memiliki pilihan sendiri," ucap gadis bertutur lembut itu.
Maya Athiqa Bhanu, gadis cantik berbalut busana tertutup di sekujur tubuh. Lesung pipit dan hidung yang mencung menambah keelokan parasnya. Kulit yang terang dengan sedikit rona merah di pipi membuat sang dosen muda bertekuk lutut untuk mengkhitbahnya. Keinginan Ari Adithya terwujud walaupun hanya nikah siri demi menjaga keimanan masing-masing selama bertemu. Keduanya dipisahkan oleh bentangan laut dan daratan yang luas.
Maya kuliah di Yaman, mengejar impiannya menjadi dosen sastra arab, sementara Ari Adithya sudah mewujudkan impiannya menjadi dosen lebih awal.
Maya mau dijodohkan dengan dosen muda itu atas permintaan sang abah. Perjodohan yang digawangi oleh Bhanu dan Pramana yang sudah bersahabat lama. Apalagi saat sang putra Pramana jujur dalam menyukai gadis bernama Maya saat pertemuan keluarga itu.
"Aku terima. Allah tahu mana yang terbaik untukku," desah Ari Adithya Pramana.
«««♡»»»
Gadis itu masih berjalan dengan santai memasuki areal kampus. Seperti biasa tanpa mempedulikan sekitar. Kedua sahabat yang biasanya setia menemani seolah tak ia indahkan. Yah, gadis malang itu memilih sendiri menjalani hari-harinya.
Gadis itu tetap dengan wajah datarnya. Tak ada yang bisa menebak bagaimana isi hati seorang Sandrina. Entah dia sedang bersedih atau bahagia. Mimik wajah itu nampak sama saja setiap harinya.
"San!"
Panggil seseorang di samping Sandrina saat ia melewati koridor kampus. Sandrina menoleh.
"Ada apa, Pak Ari?"
"Aku ingin bicara sesuatu sama kamu, San."
Sandrina berpikir dengan menautkan kedua alisnya sejenak.
"Bicara apa?"
Pak Ari mengeluarkan sesuatu dari dalam saku celananya. Sandrina tercengang dan membuka mulut saat tahu benda mungil itu hendak diberikan sang dosen padanya.
"Ini buatmu, San."
"Buat apa cincin ini, Pak?"
"Maukah kau menikah denganku?"
-※★♡★※-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top