15. Anak Haram.

Seandainya kedua orangtuaku tidak berbuat dosa, aku tidak akan disebut anak haram. Mereka yang berbuat, malah aku yang menanggung malu.

Sandrina_

Hari terik seperti saat ini benar-benar menguras tenaga dan pikiran. Seorang gadis tengah terburu melewati tangga di kampus. Sandrina berkali-kali menengok arloji yang setia melekat di pergelangan tangan kirinya. Hari ini ia akan menemui dosen sejarah. Ia sudah terlambat dan harus segera menemui dosen itu untuk mengumpulkan tugas.

Setelah bergegas dan menemui sang dosen, ia menyerahkan tugas yang diminta.

"Bagaimana, Bu? Apa tugas revisi saya sudah benar?" tanya Sandrina.

Dosen setengah baya yang masih terlihat cantik itu menaikkan kacamatanya yang melorot. Ia membaca sekilas dan memeriksa dengan detail tugas mahasiswi di depannya itu.

"Oke, lumayan. Sudah mendekati benar. Lain kali jangan bolos lagi ya kuliah saya. Kamu tahu kan saya gak suka mahasiswa yang tidak disiplin?"

Sandrina tersenyum. "Pasti, Bu. Siap!" Ia mengangkat tangan seolah hormat pada Bu Hartanti, sang dosen yang terkenal killer itu.

Setelah pamit pergi dan berada di depan ruangan Bu Hartanti, Sandrina mengusap dada sembari menghela napas lega. Kemaren ia diberi punishment oleh sang dosen karena tidak masuk dengan alasan ijin. Sebenarnya Sandrina tengah sibuk mencari informasi soal keluarganya. Alasan tidak masuknya tidak diterima karena dianggap alasan yang kurang spesifik. Dosen yang terkenal sangat disiplin itu menyuruh Sandrina mengumpulkan tugas review beberapa buku sejarah.

Demi nilai sempurna, Sandrina melaksanakan tugasnya dengan sempurna pula. Walaupun akhirnya sang dosen killer tetap menganggap tugasnya lumayan. Entah lumayan kurang atau lumayan lebih. Mengingat hal itu Sandrina mengangkat bahu dan tertawa geli sendirian.

Kaki jenjang gadis itu melangkah satu per satu melewati tangga. Di persimpangan, ia bertemu sosok dosen muda yang ia kagumi.

"Pak Ari," sapanya.

"Hai, Sandrina," balas Pak Ari. "Oiya, San. Flashdisk kamu kemaren masih ada di saya."

"Flashdisk yang mana ya, Pak?"

"Yang buat tugas akhir kemaren. Saya juga lupa mengembalikan. Padahal temen-temen kamu sudah langsung terima flashdisk masing-masing."

Sandrina membuka mulut dan menepuk keningnya sendiri.

"Saya bahkan gak kepikiran sama sekali sama flashdisk saya, Pak. Saya kira hilang." Sandrina tertawa kecil.

"Mari ikut ke ruangan saya. Flashdisk-nya ada di dekat komputer," ajak Pak Ari.

Kebetulan ruangan Pak Ari bersebelahan dengan ruangan Bu Hartanti. Sehingga mereka berjalan tidak terlalu jauh dari tangga tersebut.

"Ini flashdisk-nya," ucap Pak Ari sambil menyerahkan benda mini itu pada Sandrina.

Sandrina langsung memasukkannya ke dalam tas.

"Gimana kuliah kamu, lancar?" tanya Pak Ari.

"Alhamdulillaah ...." Ucapan Sandrina terpotong saat seorang gadis cantik masuk ke ruangan Pak Ari dan menyalami punggung tangan dosen itu.

Sandrina bergeming sejenak melihat pemandangan di depannya. Pak Ari benar-benar memiliki kehidupan yang sempurna. Selain karir yang sukses, lihatlah wanita di depannya kini. Wanita yang terlihat begitu sempurna. Dandanan yang sopan dengan hijab yang tertutup sempurna. Tutur katanya yang lemah lembut dan senyumnya yang begitu manis. Benar-benar terlihat sempurna. Bahkan kabarnya, mereka kini sudah menikah siri. Dengan alasan menjaga iman saat mereka bertemu. Calon istri atau istri siri sang dosen adalah keluarga priyayi. Keluarga yang terkenal alim soal agama. Mereka akan menikah sah setelah wanita cantik berhijab itu lulus dari pendidikan tingginya di Yaman. Keduanya sungguh serasi dan sempurna.

"Saya permisi dulu, Pak," ucap Sandrina kemudian.

«««♡»»»

Sepanjang perjalanan pulang ke panti, Sandrina masih memikirkan pasangan sempurna di hadapannya tadi. Sandrina menengadah ke atas langit yang berwarna biru.

Ya Allah, mereka terlihat begitu sempurna. Begitu pun kehidupan mereka. Andaikan aku bisa seperti mereka. Maafkan aku yang mengeluh ini, tapi adilkah Kau?

Sandrina melewati pinggiran pasar yang menghadap ke jalan raya. Ia menoleh ke kanan dan kiri. Sesampainya di sebuah toko, Sandrina berhenti dan mengamati sesuatu. Yah, hijab panjang berwarna merah marun yang digelut sedemikian apik pada sebuah patung wanita. Sandrina menghadap lurus pada kaca depan toko seolah dirinyalah yang menjadi memakai hijab. Gadis itu mengamati sejenak dengan berkacak pinggang dan berpikir.

Gak ada salahnya juga nyoba.

"Mbak, kalo mo beli, beli aja. Gak usah kek patung gitu," sergah seorang pelayan.

Sandrina menatap tajam pelayan itu dari samping. Pelayan tersebut jadi salah tingkah. Sandrina tak menggubris dan malah masuk ke dalam toko.

"Mbak, saya beli hijab itu," tunjuk Sandrina pada seorang pelayan yang ada di dalam toko.

Pelayan itu mengangguk dan mengambilkan hijab yang sama persis dengan yang dikenakan oleh patung di etalase depan.

"Dicoba dulu, Mbak," ujar sang pelayan ramah.

"Gak usah makasih. Bilang sama temen Mbak, jangan belagu jadi pelayan!" tukas Sandrina meninggikan suara sampai terdengar pada pelayan yang menegurnya tadi yang juga sudah ada di dalam toko.

«««♡»»»

Hari itu Sandrina sengaja memakai hijab yang ia beli kemaren ke kampus. Beberapa mahasiswa menatapnya aneh saat ia lewat. Berbeda dengan si pemakai hijab, ia memilih tak acuh dan terus melangkahkan kaki menuju kelas.

"San!" panggil Rina dan Andin bersamaan.

"Sekarang belum tahun baru deh keknya. Napa lo jadi ubah penampilan gini?" sindir Rina.

"Pertanyaan lo gak penting!" ketus Sandrina.

"Serius lo pake pakaian gini, San? Lo udah mikir belom. Lo bisa dibully balik sama temen-temen tau nggak?" ujar Andin.

Sandrina menoleh sambil mendekap kedua tangannya di dada. "Coba aja. Gue pengen tahu siapa orangnya."

Rina saling bertukar pandang dengan Andin. Keduanya sama-sama menggelengkan kepala dan mengangkat bahu masing-masing.

Sandrina mengabaikan ekspresi kedua sahabatnya dan melanjutkan langkah menuju kelas.

"Woyy ..., keknya sang ibl*s sekarang udah jadi malaikat yaa," sindir seorang mahasiswi di depan kelas yang ia lewati.

Sandrina berbalik dan menghampiri mahasiswi itu. "Trus urusannya sama lo apa? Lo keberatan?" kilah Sandrina.

"Well, guys. Kita kedatangan mahasiswa sok alim yang sok jadi malaikat sekarang. Padahal aslinya kita tahu ...."

Plasss ....

Sandrina menampar mahasiswa itu dengan keras.

"Lo!" Mahasiswa itu memegang pipinya meringis sambil mengacungkan telunjuk.

"Gue udah lama gak mukul orang. Dan inget! Jangan kira gue bakal lemah karena hijab ini. Ngerti lo!" tukas Sandrina sembari melangkah pergi. Sebagian mahasiswa yang melihat kejadian itu berbisik-bisik dan sebagian lagi menatap Sandrina tak suka.

Sandrina memilih duduk di taman sendirian. Ucapan dan sikap teman-temannya membuat emosinya naik lagi. Ia begitu sulit mengontrol diri saat itu.

"San, gue juga bilang apa. Lo ...."

Sandrina mengangkat tangan menyuruh Rina yang menghampirinya bersama Andin untuk menghentikan ucapannya.

"Tinggalin gue sendirian," ucap Sandrina sekejap.

Andin menepuk bahu Sandrina dengan niat menguatkan. Kemudian ia menyeret Rina pergi.

"Tu anak emang gak bisa dibilangi ya?" ucap Rina.

"Mending lo diem aja. Lo kan ngerti gimana Sandrina. Harusnya lo diem tadi dan cukup kita ada di samping dia supaya dia gak ngerasa sendirian, itu udah cukup," kilah Andin.

"Ya deh maafin gue," ucap Rina.

Mereka berbalik dan hanya bisa menatap simpati sang sahabat dari kejauhan.

Sandrina sendiri melangkah berlalu menuju taman. Di sepanjang jalan kampus ia merenung. Baru pertama memakai hijab, sudah ada insiden tak menyenangkan. Bagaimana bila ia mengenakan seterusnya. Tentu sulit dibayangkan.

Sandrina hendak menarik ujung hijab itu dan akan membuangnya jika seorang dosen tak menegurnya duluan.

"Sandrina?" sapa Pak Ari.

Sandrina mengurungkan niat membuka hijab dan memilih membalas senyum teduh dosen yang menyapanya itu.

"Kamu pakai hijab?" Pak Ari bertanya, tapi penuh rasa kagum. "Wow ..., You look so beautiful, Sandrina. Lanjutkan make hijab itu. Bukannya itu terasa sejuk dan menenangkan?"

Sandrina mengangguk dan tersenyum kecut. "Tapi mahasiswa lain malah nganggep ini aneh, Pak."

"Jangan dengerin ucapan orang. Apalagi itu sesuai aturan agama kita. Wanita itu bukan sunah memakai hijab, tapi wajib, Sandrina."

Sandrina mengangguk. Dosen di depannya selalu saja memberi motivasi pada setiap mahasiswa membuat gadis itu semakin kagum. Tapi ia sadar, ia tak perlu merasa percaya diri karena sang dosen muda memberikan motivasi bukan pada dirinya saja.

Catat itu, San! Hati kecil Sandrina mengingatkan.

"Pak. Saya boleh nanya sesuatu nggak?"

Pak Ari mengerutkan kening. "Silakan!"

"Apa ada istilah anak haram di dunia ini?" tanya Sandrina hati-hati.

Pak Ari menggelengkan kepalanya pelan. "Gak ada. Itu sabda Nabi Muhammad. Kullu mauludin yuladu 'alal fitrah. Setiap anak yang dilahirkan dalam keadaan suci. Gak ada dalam agama kita istilah anak haram. Yang dosa ya tetap orangtuanya. Hanya saja orangtuanya harus bertaubat jika mereka memang berbuat dosa. Karena dosa itu adalah hutang dan yang membayarnya nanti adalah anak keturunannya. Makanya kita diminta selalu ber-istighfar demi pengampunan setiap saat supaya dosa kita tidak sampai anak keturunan kita yang membayarnya," terang Pak Ari.

Sandrina merasa sedikit lega. Namun ia kembali berpikir, hal itu hanya menurut kacamata agama, sementara kacamata manusia, anak haram tetap ada. Dan jika orang lain tahu bahwa dia hanyalah anak haram, mungkin orang lain akan memandangnya sebelah mata. Mungkin bahkan akan mengolok-olok dirinya.

Orangtuaku yang berbuat dosa, kenapa aku yang menanggung malu?

"Makasih penjelasannya, Pak," ucap Sandrina dengan senyum tipis.

Sandrina pamit pergi setelah itu. Penjelasan sang dosen muda memang membuatnya sedikit lega. Namun tetap saja statusnya tak bisa dibohongi bahwa dia adalah anak haram.

-※★♡★※-

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top