12. Mencari
Biarkan aku berjalan tegar, sekalipun tanah bergetar. Karena aku tahu, Allah melihat usahaku.
Sandrina_
Laki-laki memakai jaket kulit hitam dengan postur tubuh tinggi besar itu membuka berkas satu persatu. Sandrina, Andin dan Rina terdiam menunggu ucapan sang informan. Detektif yang akrab dipanggil Om Ook itu terus membuka lembar demi lembar. Ia memutar lembaran lebar berisi foto seorang wanita itu menghadap Sandrina.
“Apakah wanita ini yang bernama Nyonya Amelda, Nak Sandrina? Wanita yang menolongmu di pengadilan dan membantu menyelesaikan perkaramu?” tanya Pak Ook.
“Iya, Om.”
Om Ook mengangguk pelan seraya berpikir. Ia mengelus dagunya.
“Wanita ini tinggal di Perumahan Anggrek tak jauh dari Perumahan Pelita Permai, perumahan yang pernah mengalami kebakaran beberapa belas tahun lalu. Apa kau mengingat sesuatu?”
Sandrina berpikir keras. Rina dan Andin menatap Sandrina bersamaan serata mengangguk pelan seolah mengisyaratkan sahabatnya itu untuk berusaha mengingat masa lalunya.
Perumahan Anggrek?
Perumahan Pelita Permai.
“Sepertinya aku mengingat sesuatu, Om. Perumahan itu ..., Perumahan Pelita Permai ....” Sandrina membuka mulut dengan terbelalak.
Tak lama sesudahnya, Sandrina terisak dan menangis mengingat sesuatu.
“San, kenapa orang menyebut rumah kita rumah PP?” tanya Sida, teman masa kecil Sandrina di perumahan.
Sandrina mengangkat bahu. “Kata bu guru kan, PP itu pulang pergi,” celoteh kecil Sandrina.
“PP itu Pelita Permai, nama perumahan yang kita tempati ini, San.”
“Kata mama, rumah PP itu, rumah kita buat pulang dan pergi,” jelas Sandrina pada Sida.
Sida tertawa keras. Sandrina cemberut dengan menatap tajam Sida membuat kawan Sandrina itu langsung terdiam bergidik seolah takut dengan tatapan Sandrina.
“Iya, perumahan buat pulang dan pergi, bukan Pelita Permai.”
Rina mengguncang tubuh Sandrina. “San, lo baik-baik aja, ‘kan?”
Sandrina tersadar dan menggelengkan kepala cepat. “Gu-gue baik-baik aja. Om, Andin, Rina, gue permisi dulu.”
Sandrina meraih tas selempangnya di atas meja dan segera berlalu dari tempat itu. Ia mengabaikan panggilan Rina. Rina hendak mengejar Sandrina, namun lengannya ditahan oleh Andin.
“Biarin dia sendiri, Rin. Sandrina butuh waktu. Mungkin bayangan masa lalu itu yang mengusik ketenangannya. Itu gak mudah buat dia,” seru Andin. Rina dan Om Ook mengangguk mencoba mengerti.
Di luar dugaan Andin dan Rina yang berpikir Sandrina akan pulang ke panti dan meratap sendiri, gadis itu malah menyetop angkutan umum menuju Perumahan Pelita Permai. Tanpa sepengetahuan mereka, Sandrina menghafal alamat Perumahan Pelita Permai. Setelah angkutan umum berhenti di tengah kota, Sandrina memesan ojek on line. Ia menunjuk alamat yang tadi dihafalnya. Setelah sampai di depan gapura Perumahan Pelita Permai, ia melangkah cepat menuju pos satpam.
“Mbak mau ke rumah siapa?” tanya satpam yang berjaga di depan gapura perumahan.
Sandrina gagu. Ia tak tahu sama sekali harus bertemu siapa di tempat ini. Gadis itu hanya bisa menengok ke dalam.
“Sa-saya ....”
Sandrina cepat memutar otak. Alasan dan ucapan apa yang akan diberi. Ia kebingungan. Dengan menggigit bibir bawah, ia memejamkan mata dan memohon petunjuk pada Sang Maha Pemberi Petunjuk.
Kali ini bantu hamba, Ya Allah.
“Saya mau menemui temen kuliah saya, Pak.” Alasan yang meluncur lansung dari bibir gadis itu walaupun dalam hati, ia terus memohon bantuan Sang Maha Kuasa.
“Siapa?”
“Namanya Rina.”
Kali ini Sandrina murni mengarang nama itu yang ia catut dari Rina, sahabatnya. Ia hanya berharap keajaiban datang menghampirinya.
“Sepertinya di sini tidak ada yang namanya anak kuliahan namanya Rina. Kalo anak SD, ada, Mbak.”
“Dia di kampus dipanggil Rina, Pak.”
“Ooo mungkin yang kamu maksud itu Sarina. Silakan masuk, Mbak. Sepertinya dia baru pulang dari kampus.”
Sandrina menghela napas dalam samar. “Makasih banyak, Pak.”
Sandrina setengah berlari masuk ke dalam perumahan yang lumayan luas dan elit itu. Sebenarnya ia merasa bersalah karena telah berbohong, tapi semuanya ia lakukan karena terdesak dan terpaksa.
Semoga Engkau mengampuniku, Tuhan.
Sandrina mencoba mengingat-ingat tempat yang mungkin ada dalam benaknya. Ia mengingat sesuatu. Tempatnya bermain dulu. Di sebuah taman yang terletak paling samping dari jejeran perumahan. Sandrina segera berlari menuju ke sana. Dan benar saja tempat itu ada. Hanya aneka permainannya yang bertambah dengan bentuk taman bermain yang masih sama. Sandrina menutup mulut dengan rasa tak percaya. Kelopak beningnya berkaca-kaca. Ia menoleh pada jalan ke arah kanan. Gadis itu kembali menajamkan ingatannya.
Rumah. Rumah yang pernah ditempatinya bersama keluarga dulu. Sandrina merasa bahagia. Sedikit demi sedikit ia mulai bisa menguak masa lalunya yang terkubur.
Sandrina berhenti pada sebuah rumah mewah lantai dua berwarna krem muda.
“Rumah ini dulu berwarna hijau pupus. Namun kebakaran itu menghancurkannya dan sekarang, bangunan ini berdiri kokoh lagi. Yah aku mengingat semuanya. Ini rumahku dulu.”
Sandrina memencet bel di tembok dekat pagar. Ia memencetnya berkali-kali dengan keburu.
“Mama! Buka pintu! Ini Sandrina, Ma! Sandrina pulang! Mamaaa!”
Sandrina sudah tak sabar. Ia memanjat pagar besi itu. Seseorang meneriakinya. Sandrina segera turun.
“Kamu ngapain?!” tanya laki-laki paruh baya yang berkumis tebal itu.
“Saya Sandrina, Pak! Saya pemilik rumah ini.”
“Ngawur kamu! Pemilik rumah ini tidak punya anak bernama Sandrina. Dan sekarang, pemilik rumah ini sedang pulang ke rumah orangtuanya di Jogja.”
Sandrina terdiam sejenak. “Siapa nama pemilik rumah ini?” tanyanya kemudian.
“Pak Haryanto. Sekarang orangnya gak di rumah. Kamu malah ngaku-ngaku yang punya rumah ini. Sing percoyo isun,” ucap bapak berkumis itu dengan dialeg jawa osingnya.
Sandrina bisa menilai bahwa bapak berkumis di depannya cukup baik. Ia ingin bertanya sesuatu.
“Apa Bapak orang sini?”
“Tentu saja, Neng. Saya hidup di sini mulai jaman penjajahan belanda. Emak saya maksudnya. Gak kayak situ. Dateng-dateng langsung nyebut ini rumah kamu,” sindir si bapak.
“Maaf, Pak. Saya mo nanya sesuatu,” ucap Sandrina. Pandangannya mengarah pada rumah berpagar besi di depannya. “Apa rumah ini dulu pernah kebakaran?”
Si bapak berpikir sejenak. Lalu mengangguk-anggukkan kepalanya. “Iya, Neng. Koq Neng tahu?”
“Saya anak dari pemilik rumah yang terbakar itu, Pak. Saya mencari mereka, keluarga saya,” jujur Sandrina.
Yang awalnya si bapak berkumis menatap Sandrina dengan tatapan sangar dan curiga, malah beralih manatap Sandrina dengan simpati.
“Apa Bapak tahu sekarang mereka di mana?”
Bapak itu berpikir lagi. “Kalo dari ceritanya, sejak kebakaran itu, anggota keluarga itu berpencar. Kedua anak mereka hilang. Dan suami istri pemilik rumah ini dulu, juga tidak ada kabar. Entah mereka jadi korban kebakaran atau lari, saya kurang paham ya, Neng.”
“Lalu gimana bisa rumah ini jadi milik orang lain, Pak?”
“Katanya sih rumah ini dilelang sama yang benerin. Kalo gak salah, itu yang benerin dinas sosial sama keluarganya. Entahlah, Neng. Saya tidak begitu paham.”
Membayangkan kedua orang tua dan adiknya menjadi korban kebakaran dan hanya dirinya yang selamat membuat Sandrina menangis. Bapak berkumis yang melihatnya ikut bersedih dan merasa kasihan.
“Sabar ya, Neng.”
Sandrina mengangguk. “Bapak. Saya minta tolong.” Sandrina merogoh saku dalam tasnya. “Ini kartu nama saya. Saya tinggal di Panti Asuhan Cahaya Bunda. Saya percaya sama Bapak. Tolong, Pak. Tolong hubungi saya bila mendengar kabar tentang pemilik rumah ini yang dulu.”
“Insya Allah, Neng.”
“Makasih, Pak.”
Sandrina berlalu dengan wajah muram. Sesekali ia menoleh ke belakang. Rumah mewah itu. Rumah yang menjadi saksi kehidupannya selama hampir enam tahun menempatinya.
Mama, papa, adik, kalian semua di mana?
Sandrina mengingat sesuatu.
“Nyonya Amelda dan Perumahan Anggrek.”
Gadis itu mempercepat langkah menuju pos satpam.
“Sudah ketemu sama temennya, Mbak?”
“Orangnya keluar keknya, Pak.”
“Oohh.”
“Pak, Perumahan Anggrek itu di mana ya?”
“Gak jauh dari sini, Mbak.”
“Di mana?”
“Mbak lewat jalan ini. Terus saja ke arah sana. Nanti ada gapura yang ada tulisan Perumahan Anggrek, tulisannya besar kok, Mbak.”
“Oh ya. Makasih banyak, Pak.”
“Sama-sama, Mbak.”
Sandrina kembali melangkah dengan cepat di jalan yang ditunjukkan pak satpam tadi. Sesekali ia menoleh ke kanan dan kiri jalan. Ketika hampir di ujung jalan, tulisan yang dimaksud sudah bisa ia lihat. Sandrina tersenyum senang dan segera melangkah menuju pos satpam Perumahan Anggrek.
“Permisi, Pak. Apa di komplek perumahan ini ada yang namanya Nyonya Amelda?”
“Nyonya Amelda?”
Si satpam bertanya pada kawan sesama satpam di sampingnya. Sepertinya satpam tersebut masih baru.
“Nyonya Amelda? Ada, Non. Di blok G15.”
“Bisa saya masuk, ‘kan, Pak?”
“Boleh, Non. Silakan. Tapi tiap tamu harus diperiksa dulu ya, Non.”
Sandrina mengangguk. Sepertinya Perumahan Anggrek mempunyai peraturan yang lebih ketat dari perumahan lain. Maklum, Perumahan Anggrek terlihat lebih elit dibandingkan Perumahan Pelita Permai. Tidak sembarang orang bisa keluar dan masuk sembarangan. Terlebih orang asing yang baru bertamu seperti Sandrina.
Gadia panti itu masih berjalan kaki. Sebenarnya ia sangat lelah. Apalagi luas Perumahan Anggrek yang tidak bisa berkompromi bagi pejalan kaki. Namun karena niat untuk mencari tahu keberadaan keluarganya, semua lelah ia abaikan. Ia ingin bertemu keluarganya. Setidaknya ia tahu informasi tentang mereka.
Sesampainya di blok G15, Sandrina tak bertemu Nyonya Amelda. Perempuan itu sedang ada urusan keluar kota. Dan hanya pembantunya yang menemui Sandrina.
“Pulangnya kapan ya, Bik?”
“Gak tahu ya, Non. Nona hubungi Nyonya aja.”
“Saya gak punya nomernya, Bik. Apa Bibik punya?”
“Saya malah gak pegang hape, Non.”
“Baiklah, saya permisi dulu, Bik. Makasih.”
“Iya, Non. Sama-sama.”
Sandrina kembali melangkah pulang dengan langkah gontai. Selain lelah raga, ia juga lelah hayati.
Ya Allah, sulit sekali mencari informasi soal keluargaku.
Sebenarnya bisa saja Sandrina menyuruh sang informan, Om Ook untuk mencari tahu. Tapi tugas Om Ook pasti akan bertambah. Ia hanya tak mau banyak menyusahkan orang lain sekalipun Sandrina bisa membayar lebih. Ia berencana untuk balik lagi minggu depan ke Perumahan Pelita Permai dan Perumahan Anggrek.
—※★♡★※—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top