11. Om Detektif
Perjuangan memang tak selamanya akan membuahkan hasil, tapi dengan perjuangan, aku bisa merasakan getirnya pengorbanan. Dan kuyakin, Tuhan takkan mengabaikan itu.
Sandrina_
Atas bantuan Andin dan Rina, Sandrina kini bekerja paruh waktu di sebuah kafe sebagai pelayan. Sebenarnya Sandrina kurang suka bekerja sebagai pelayan, alasannya ia tak suka dengan keramaian. Andaikan bisa memilih, Sandrina lebih memilih bekerja di pabrik sebagai karyawan yang tak membutuhkan wajah manis untuk menyapa pelanggan. Karyawan hanya akan fokus bekerja dan bahkan dilarang bercakap-cakap dengan karyawan lain. Namun sayang, pekerjaan itu tidak akan cukup waktu untuk Sandrina yang masih harus kuliah dan mengejar impian.
Sandrina terima saja sebagai pelayan. Walaupun terkadang ia ditegur atasan karena wajah datarnya.
"Tampilkan senyum dan sapaan seramah mungkin pada pembeli, Sandrina. Dan itu juga wajahmu. Tolonglah dioles sedikit."
"Maaf, Pak. Saya jual tenaga di sini, bukan jual tampang," jawab Sandrina dingin.
Sang atasan hanya menelan ludah dan tak memperpanjang urusan dengan pegawainya satu itu. Ia tak berani memecat pelayan barunya itu hanya karena ucapan. Terlebih yang merekomendasikan Sandrina untuk bekerja di tempatnya adalah anak dari rekan bisnisnya, Andin.
Salah satu kebiasaan Sandrina setelah meletakkan makanan pesanan pembeli di meja mereka adalah gadis itu akan berlalu begitu saja tanpa embel-embel ucapan yang dimaksud sang atasan tadi. Dengan raut wajah ramah dan manis.
Senyum palsu, ucap Sandrina dalam hati.
"Datar dan dingin sekali pelayanmu yang satu itu, Pak Bos. Wajahnya lumayan menarik sih, sayangnya begitu. Apa Bapak gak bisa suruh dia manis sedikit sama pelanggan?" seloroh salah seorang pemuda pelanggan tetap kafe itu.
"Udah, gak usah mikiri dia. Dia anak kuliahan, cuma sementara kerja di sini. Mungkin otaknya capek dibuat mikir tugas-tugas dari dosennya kali. Kalo kamu pengen cari gebetan, pelayan lain yang lebih cantik dari dia di sini masih banyak."
"Owh, owh, justru gue sukanya cewek jutek kek gitu, Pak bos. Lebih misterius."
"Misterius, dikira hantu apa," ucap sang bos menggelengkan kepala sembari berlalu. Dan pemuda itu menanggapinya dengan tawa lebar.
«««♡»»»
Sebulan kemudian ....
Sandrina menghitung hasil jerih payah dan keringat lelahnya selama bekerja yang ia letakkan di atas tempat tidurnya.
"Andin sama Rina bilang, aku harus bayar tiga juta untuk di muka. Dan ini masih dua juta."
Sandrina memikirkan cara lain untuk mendapatkan kekurangannya. Ia mengingat sesuatu dan bergegas menuju lemari. Gadis itu mengeluarkan kotak beludru berwarna merah berisi kalung dan cincin. Perhiasan itu, ia beli saat mendapatkan beasiswa prestasi dari kampus. Beberapa uang yang diperoleh dari beasiswa sudah ia gunakan, sisanya ia beli beberapa logam mulia itu. Karena Sandrina pikir, jika ia menabung dalam bentuk uang, akan mudah ia habiskan.
Saat hari masih belum gelap, Sandrina segera menuju ke toko emas terdekat dari panti. Setelah ia terburu masuk ke kamar dan mencoba merincinya lagi.
Setelah Sandrina hitung-hitung lagi, ternyata uang yang bisa ia kumpulkan sudah lebih dari tiga juta. Ia meraih ponsel dan menghubungi Andin.
"Gue udah punya uang mukanya. Tapi lo harus pastiin, tu detektif bisa kerja cepet dan bagus. Sisanya gue bayar bulan depan," tukas Sandrina.
"Oke, nanti gue bilang ke papa. Lo tenang aja. Gue yang tanggung jawab. Yang penting lo siapin semua data-data orang yang pengen lo selidikin dan kalo bisa dalam bentuk soft copy aja. Trus kirim ke email gue aja."
"Oke, sip. Thanks ya, Din."
"You're welcome."
«««♡»»»
"Kemaren gue liat lo jalan sama Pak Ari. Lo ada maen sama dia? Inget San, Pak Ari udah punya tunangan."
Sandrina tak menoleh dan masih menatap lapangan basket di depannya. Ia tak mau menggubris ucapan tak penting. Kali ini ia fokus pada rencana mencari sang mama. Kerinduannya pada sang mama mengalahkan semua hal yang lain. Sandrina rela bekerja pontang-panting demi menemukan jejak sang mama.
"Karena gue yang ngomong lo gini ya, San. Coba dosen itu yang ngomong, lo pasti langsung respon."
Sandrina berbalik menghadap pemuda yang sedari tadi tak ia respon. Gadis itu melipat kedua tangan di dadanya.
"Seseorang akan dihargai, saat ia menghargai orang lain. Bukan karena rasa suka, tapi demi kemanusiaan," lugas Sandrina.
"Apa maksud lo?"
Sandrina tersenyum sarkastis. "Gak usah ngajari gue buat tahu siapa lo."
"Gue makin gak ngerti sama lo, San. Gue cuma pengen bilang kalo tu dosen udah punya tunangan. Jangan sampe lo kena fitnah. Lo bisa menderita lagi di kampus ini."
"Gue gak ada urusan sama tu dosen."
Sandrina berlalu. Ia tak mau adu mulut dengan Mario lagi. Pikirannya harus fokus. Kesal juga melihat tingkah Mario yang mulai aneh padanya setelah ia mulai mengubah kebiasaan buruknya mengintimidasi dan menganiaya mahasiswa lain seperti dulu. Setelah kejadian di pengadilan, Sandrina mulai membuka mata untuk mengubah perilaku buruknya. Ia tak mau terkena masalah lagi. Demi masa depan dan demi bertemu keluarganya.
"San," sapa Rina.
Sandrina menoleh.
"Andin mana?" tanya Sandrina.
"Masih ada perlu sama dosen. Dia ambil program mata kuliah semester atas. SKS dia lebih," jelas Rina.
Sandrina terpaku. Seharusnya ia juga bisa mempercepat waktu kuliahnya. Supaya setelah semester atas, ia punya jadwal kuliah sedikit. Sehingga ia bisa mencari kerja. Namun karena masalah di pengadilan kemaren dan ia di penjara beberapa hari. Dosen memberinya nilai kurang. Sehingga sistem kredit semesternya pun tidak bisa bertambah. Ia bersyukur tidak kurang. Jadi tak ada kuliah yang ia tinggal semester ini.
"Malah bengong," tukas Rina.
Sandrina tersenyum tipis. "Sori, gue lagi mikir sesuatu."
"Kita udah terima data-data yang lo kirim semalem ke email Andin. Dan sekarang tu detektif udah proses. Dana yang lo transfer juga udah diterima sama tu detektif," terang Rina.
Sandrina mengernyitkan kening menatap Rina. "Lo bantuin Andin nyari detektif?"
"Detektif itu om gue, San. Kebetulan juga dia temen papa Andin. Gak sengaja juga. Om gue itu emang bakat soal mecahin kasus. Dia itu polisi. Tepatnya intel. Tapi yaa demi permintaan gue sama Andin, dia mau bantuin lo di tengah kesibukan kerjanya."
Sandrina mengangguk tanpa mengerti. "Gue makasih banget sama lo, sama Andin juga. Kalo om lo bisa bantuin gue, gue makasih banget sama dia. Tapi sori, gue cuma bisa bayar uang muka."
"Peraturannya emang gitu, San. Kalo om gue udah bisa mecahin kasus lo. Bisa nemuin nyokap sama bokap lo, baru lo kasi sisanya."
Sandrina mengangguk dan memukul pelan pundak Rina.
"Gue ke kelas dulu."
Sandrina bergegas menuju kelasnya. Rina yang menatap kawannya itu dari belakang hanya bisa menghela napas pelan. Ia ikut simpati dengan masalah sahabatnya itu.
"Lo cewek hebat, San. Selama gue temenan sama lo, gue gak pernah denger lo ngeluh ato ngeliat lo nangis. Ternyata semua masalah yang lo hadepin gak buat lo lemah dan cengeng. Justru buat lo jadi manusia kuat dan gak cemen," ucap Rina pelan.
"Iyalah, gak kek lo. Baru ditinggal pacar aja udah banjir air mata," seru Andin seraya menyentil telinga Rina dari belakang. Rina mengaduh kesakitan.
"Kek lo gak gitu aja," sindir Rina.
"Mantan, Guys. Mantan. Masa lalu yang gak perlu ada di ingatan."
"Sotoy lo!"
Andin tertawa melihat ekspresi wajah cemberut Rina.
"Enak Sandrina gak punya gebetan, pacar, mantan dan sebangsanya. So, dia gak pusing soal cowok," ujar Rina.
"Lo kuat gak hidup sendiri kek dia?" tanya Andin.
"Lo sendiri, Din?"
"Masih proses."
"Alahh, proses dari dulu. Boro-boro. Ditinggal bentar dah maen dateng aja yang baru."
"Pacar, Girl, pacar! Pasangan yang diincar." Andin kembali tertawa terbahak-bahak. "Diincar buat diseret ke pelaminan jadi pasangan sehidup semati."
Kali ini Rina ikut tersenyum lebar. "Lama-lama syaraf di otak lo mulai konslet ya?" ucapnya sambil menunjuk Andin.
Andin merangkul pundak Rina dan menariknya menuju kelas.
«««♡»»»
"Ma, semoga usaha gue kali ini berhasil. Gue kangen sama mama. Papa, walopun selama ini papa selalu anggep Sandrina antara ada dan tiada, tapi gue juga kangen sama papa. Gue kangen kalian," gumam Sandrina sembari menatap langit.
"Ekhm."
Mendengar suara dehaman dari belakang tubuhnya, Sandrina menoleh dan tersenyum melihat dosen muda itu.
"Liatin apa, San?"
"Lagi liat burung, Pak. Dari tadi kok gak ada ya?" Sandrina berkilah.
Pak Ari tertawa lebar mendengar selorohan Sandrina. "Burungnya lagi malu diliatin kamu. Makanya mereka pergi."
Sandrina hanya tersenyum kecil. Bukan suka, Sandrina hanya kagum pada dosen muda itu. Berbeda pandangan dengan yang dikatakan Mario, ia yang menyukai dosen itu. Pak Ari sangat baik dan ramah. Dari awal, dosen itu tak banyak komentar soal keseharian mahasiswanya. Dan selalu santai menyapa mahasiswa setiap hari.
"Ya sudah, saya ngajar dulu, San."
"Iya, Pak."
Selanjutnya Sandrina kembali sendirian. Ia menoleh dan menatap lama langkah Pak Ari dari belakang.
Seandainya semua orang seramah dosen itu, mungkin kehidupan ini juga terasa lebih baik. Namun rasanya sulit sekali orang untuk tersenyum. Begitu pun diriku. Dengan alasan perasaan dan jiwanya sedang tak baik.
-※★♡★※-
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top