10. Mencarimu

Masa laluku memang pahit, tapi sisanya akan kukejar. Karena cukup masa lalu yang pahit. Tidak dengan sisanya (masa depan).

Sandrina_

Azan kembali berkumandang siang itu. Menandakan waktu zuhur sudah menjemput. Menjemput setiap hamba yang sholeh untuk kembali bersujud. Sandrina yang berada di area kampus mempercepat langkah menuju masjid di kampusnya. Setelah meraih air wudhu, ia mengikuti jamaah sholat zuhur. Sebagian mahasiswa yang mengenalnya heran melihat kebiasaan barunya itu. Namun gadis itu sama sekali tak acuh. Kebahagiaan atau kesedihannya adalah miliknya sendiri. Jadi apapun yang ia lakukan sama sekali tak pernah mendengarkan penilaian dan ucapan orang lain.

Selepas sholat dan membuka mukena, satu niatan untuk ke rumah sakit membujuknya. Kebetulan hari itu jadwal kuliahnya cuma dua dan itu pun sudah usai.

“San, lo mo ke mana?” tanya Andin yang menemuinya di depan kampus.

“Gue ke rumah sakit. Kalo ada pengumuman, kasi tau gue ya?”

“Oke.”

“Sip!”

Sandrina kembali melangkah hendak nenyetop taksi. Namun sepertinya siang itu jalan begitu lengang. Ojek online yang Sandrina pesan pun tak kunjung datang. Gadis itu duduk di bangku depan kampus sambil mengibas-ngibaskan wajah menggunakan telapak tangannya. Suara klakson mobil berbunyi di samping Sandrina. Saat Sandrina menoleh, seorang dosen muda tengah menyapanya ramah.

“Sandrina mau ke mana? Sini saya antarkan,” ucap sang dosen bersahaja dengan menengok Sandrina melalui jendela mobil.

“Gak usah, Pak. Makasih.”

“Udah gak pa-pa. Kayak yang baru kenal aja. Yuk, masuk.”

Karena sepinya taksi atau kendaraan umum, akhirnya Sandrina menerima ajakan sang dosen. Ia masuk ke mobil. Sang dosen adalah dosen yang paling menganggapnya manusia di antara dosen lainnya. Saat berbagai tingkah aneh yang ia lakukan dengan beragam teguran dari dosen, dosen di samping Sandrina memilih tak berkomentar dan tetap menyapa Sandrina ramah. Mobil kemudian berjalan melewati jalanan dengan tenang.

“Pak Ari emangnya gak ada jam ngajar?” tanya Sandrina.

Dosen yang bernama Ari itu menggeleng pelan dengan tetap fokus menyetir. Tingkahnya yang ramah dan menyenangkan tak membuat Sandrina tak acuh. Semasa jadi mahasiswa baru dan Pak Ari memberikan materi ospek, Sandrina sering diajaknya diskusi karena menurutnya mahasiswinya itu yang paling pendiam dan dingin.

“Aku mo pulang. Besok pagi baru ke kampus lagi,” jawab Pak Ari.

“Bukannya besok minggu ya, Pak?”

“Ada jadwal les bahasa inggris buat anak mahasiswa baru.”

“Bapak buka les-lesan di kampus?”

Pak Ari tertawa pelan. “Les gratis, cuma buat mahasiswa yang nilainya bagus aja. Kalo kamu mau ikut. Ayuk! Kebetulan masih baru mulai.”

“Nilai saya gak bagus, Pak.” Seperti biasa, Sandrina akan menanggapi setiap ucapan lawan bicaranya dengan nada datar. Pak Ari menoleh sejenak dan tersenyum.

“Semua orang di kampus juga tahu, San. Selain kamu bandel, suka sadis sama temen-temen yang udah ganggu privasi kamu, kelebihan kamu juga, kamu mahasiswi cerdas,” ulas Pak Ari membuat Sandrina tersenyum sarkastis.

“Bapak seperti mengenal saya beberapa puluh tahun saja,” ejek Sandrina.

“Aku kenal kamu dari pertama masuk kampus.”

Sandrina hanya menanggapinya dengan anggukan kepala pelan dengan mulut membentuk huruf ‘o' kecil. Selanjutnya keduanya lebih banyak terdiam. Dosen di samping Sandrina juga lebih memilih fokus menyetir dan Sandrina sendiri sibuk dengan isi otaknya yang entah sedang berpikir apa. Gadis itu hanya melamun. Lebih tepatnya ke rumah sakit tempat Nyonya Amelda dirawat.

“Kita sampai di Rumah Sakit Bina Harapan, San.”

Sandrina mengangguk dan membuka pintu mobil. Ia berterima kasih pada sang dosen yang begitu baik hati itu padanya. Setelah Sandrina melangkah masuk melewati pelataran rumah sakit, mobil yang tadi ia tumpangi keluar dari halaman rumah sakit. Sandrina menghentikan langkah dan menoleh sejenak. Ia tersenyum melihat mobil itu melaju perlahan melewati jalan raya. Entah bunga apa yang sedang berkembang di perutnya, sikap sang dosen dari awal membuat gadis itu begitu senang.

Ari Adithya Pramana—Dosen ilmu sosial lulusan University of California itu, adalah satu-satunya dosen di kampus yang Sandrina kagumi. Bagaimana tidak, dosen lain selalu menganggapnya salah. Gampang sekali men-judge dirinya sekalipun ia di posisi benar. Namun Pak Ari berbeda, ia tak pernah berkomentar apapun. Sikapnya selalu menganggap semua mahasiswa sama rata.

Ahh, gue mikir apaan? Dosen itu baik sama semua orang. Dia kasi les gratis sama mahasiswa. Mulia banget Pak Ari. Gue kagum sama manusia model begitu.

Sandrina menghela napas pelan dengan senyuman ringan dan kembali melangkah menuju ke kamar rawat Nyonya Amelda.

Sesampainya di kamar Nyonya Amelda, ia tak menemukan seorang pasien yang dirawat. Kasur tempat pasien juga sudah tertata rapi dan bersih. Sandrina celingukan mencari Nyonya Amelda, tapi kamar itu sudah sunyi. Ia segera keluar kamar. Ketika seorang perawat lewat di depan kamar, gadis itu coba bertanya.

“Pasien kamar ini sudah dijemput keluarganya tadi, Nona,” jawab sang perawat.

Wajah Sandrina murung seketika. Bayangan akan bertemu wanita berhati emas itu kandas. Wanita yang sudah menolong diri dan masa depannya.

“Tapi gimana kondisi Nyonya Amelda, Sus?”

“Sepertinya kondisinya lumayan membaik, Nona. Keluarganya bilang, mereka akan melakukan rawat jalan saja. Itu juga atas permintaan pasien tersebut,” jelas perawat itu.

“Baiklah, terima kasih, Sus.”

Perawat itu mengangguk dan melanjutkan langkahnya kembali. Sementara Sandrina hanya terpaku dan duduk lemas di bangku kayu depan kamar.

“Padahal gue pengen kenal Nyonya. Nyonya ngingetin gue sama mama.”

Sandrina bergeming cukup lama seraya menggigit bibir bawahnya. Ia kembali merasa sendiri. Bayangan sang mama ketika tersenyum dulu memanjakannya. Bayangan yang tak begitu jelas. Wajah sang mama yang ia lupa karena tersapu waktu. Tak ada satu pun foto yang ia miliki. Terlebih, ia ditinggal ketika masih kecil.

“Mama ..., di mana mama? Kapan gue bisa ketemu mama?”

Air mata langsung meluncur deras dari pelupuk sang kelopak bening. Sandrina bangkit dan segera berlari keluar rumah sakit.

«««♡»»»

Without you, there's no place to belong

Well, someday love is gonna lead you back to me

But till it does, I'll have an empty heart

So I'll just have to believe

Somewhere out there you're thinkin' of me

Till the day I let you go

Till we say our next hello, it's not goodbye

Till I see you again

I'll be right here rememberin' when
And if time is on our side

There will be no tears to cry on down the road

There is one thing I can't deny, it's not goodbye

Sandrina memejamkan mata saat mendengarkan alunan musik dari lagu Laura Pausini tersebut. Liriknya menyenandungkan kerinduannya akan sang mama. Tak hentinya air mata jatuh begitu saja yang ia biarkan mengalir. Sandrina terisak dengan mata terpejam.

Tanpamu, tidak ada tempat untuk ditinggali
Without you, there's no place to belong

Yah, suatu saat cinta akan membawamu kembali padaku
Well, someday love is gonna lead you back to me

Tapi sampai itu terjadi, aku akan memiliki hati yang kosong
But till it does, I'll have an empty heart

Jadi aku harus percaya saja
So I'll just have to believe

Di suatu tempat di luar sana, kau memikirkanku
Somewhere out there you're thinkin' of me

Sandrina terbangun saat azan isya' berkumandang. Ia melepas earphone dan segera berlari meraih air wudhu. Ia membasuh wajahnya dengan masih menangis. Air mata mengalir bersama aliran air bekas wudhunya. Lepas itu, ia meraih sajadah panjang dan mukenanya. Gadis itu berdiri melaksanakan sholat isya.

“Ya Allah, Ya Tuhanku. Aku kini kembali sejengkal demi sejengkal pada-Mu. Sedikit demi sedikit mengenal-Mu. Aku mohon pertemukan aku dengan keluargaku. Aku merindukan mereka. Kerinduan ini tak tertahankan dan terasa berat, Tuhanku.”

Dalam tengadahan tangan berharap Sang Maha Raja segera menemukannya dengan keluarga, Sandrina menangis kembali menutupi wajahnya dengan mukena. Kemudian tanpa disadari, ide melintas dalam benaknya.

“Jika aku hanya berdoa dan menangis saja, semua akan sia-sia. Ya Allah, terima kasih atas petunjuk-Mu.”

Sandrina segera melepas mukena dan berlari ke kamarnya. Ia meraih ponsel dan menghubungi Andin.

“Ada apa, San?” ujar suara Andin dari seberang.

“Gue butuh bantuan lo.”

“Buat?”

“Cariin gue detektif. Detektif yang ahli.”

Suara Andin menghilang. Cuma ada suara angin.

“Andin, lo masih denger gue ‘kan?” Sandrina tak sabar.

“Gue lagi mikir, San. Besok dah gue kabarin. Emang buat apaan sih?”

“Gue kasi tau di kampus besok.”

“Oke deh. Lo ada-ada aja. Detektif adanya di kartun. Detektif Conan,” kilah Andin.

“Gue serius.”

“Iya, yang serius. Gue nanya sama papa dulu. Relasi ebes banyak. Kali ada yang bisa jadi detektif.” Andin tertawa lebar.

“Gue serius!”

“Iya. Gue kabari besok. Lo tunggu aja kabar dari gue.”

“Oke, thanks.”

You're welcome.”

«««♡»»»

“Lo serius, San?” tanya Rina.

Sandrina mengangguk mantap. “Gue pengen tahu di mana mama.”

“Tapi gak perlu nyewa detektif juga, San. Lo tahu, nyewa orang buat nyelidikin sesuatu itu gak gampang. Butuh duit banyak juga,” tukas Rina.

“Gue gak peduli. Gue mo kerja paruh waktu sambil lalu bisnis freelance ato apalah yang bisa ngasilin duit. Yang penting gue gak jual diri,” kilah Sandrina.

Rina menggeleng-gelengkan kepalanya karena tak habis pikir.

“Bokap gue masih usahain nyari, San. Kita tunggu aja. Masalah biaya, kita bisa patungan,” sahut Andin.

“Gak usah. Gue bisa usaha sendiri.”

“Serah lo aja. Yang jelas kalo lo butuh kita, kita siap bantuin lo,” ujar Andin.

“Iya, San. Kita akan bantuin lo. Semoga aja kali ini harapan lo ketemu sama keluarga lo tercapai,” sahut Rina akhirnya.

“Aamiin .... Makasih. Kalian sobat terbaik gue,” ucap Sandrina.

Andin dan Rina saling bertukar pandang dengan tertawa kecil.

“Lo sodara kita, San.”

Thanks.”

—※★♡★※—

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top