1. Anak Panti
Aku memang anak panti, tapi jangan remehkan itu karena status sosialku, karena suatu hari nanti, sejarah kehidupan bisa saja berbanding terbalik dengan apa yang kalian bayangkan_
(Sandrina)
Sandrina menjambak rambut Ana, teman kampusnya. Ia tak menggubris rintihan sakit Ana.
“Dari awal udah gue ingetin lo! Jangan buat ulah sama gue.”
“Gampar aja tu perempuan carmuk, Na,” celetuk Rina, teman satu geng Sandrina.
“Gak. Pantangan buat gue gampar wajah orang,” sahut Sandrina dingin. Setelahnya ia berlalu.
Ana bersimpuh di lantai koridor kampus sambil menangis sesenggukan. Bahkan kedua matanya yang mulai mengabur penuh kabut air mata, menatap nyalang gadis yang sudah menghukumnya itu.
“Lo gak pa-pa?” tanya seorang pemuda sembari menjulurkan tangannya karena simpati melihat Ana.
Ana mengangguk dan menerima uluran tangan sang pemuda. Senyum samar seketika terbentuk dari bibir mungilnya.
“Lain kali jangan berurusan lagi sama mereka. Gak ada gunanya. Lagian kenapa harus laporan ke Pak Wasis sih soal mereka?”
Ana menggeleng pelan. “Gue cuma kesal lihat tingkah mereka. Tiap hari ada aja korban kekerasan mereka.”
“Semua orang bahkan dosen di sinipun sudah tahu gimana kelakuan mereka. Bahkan Pak Wasis selaku bidang kemahasiswaan juga gak bisa berbuat banyak.”
“Kenapa? Kenapa begitu? Bukannya Sandrina cuma anak panti asuhan? Dan dia bisa kuliah di kampus ini juga karena beasiswa tidak mampu? Secara, status sosial kita lebih tinggi dari dia.”
“Gue juga gak tahu alasannya kenapa. Mungkin karena prestasi dia yang lumayan di sini.”
Ana tak melanjutkan ucapannya dan memilih bungkam. Ia hanya tak suka jika ada ketidakadilan di kampusnya. Pemuda yang menolongnya tadi bernama Mario, kini sudah berlalu dari hadapannya. Sekelumit senyum ia tampilkan. Siapa yang tak kenal seorang Mario. Pemuda tampan yang baik hati dan juga termasuk kategori manusia borjuis. Selain karena orangtuanya yang kaya, ia juga mulai belajar menggeluti bisnis dari sang papa. Tapi sikap rendah hatinya membuat siapapun gadis yang mengenal Mario seolah bertekuk lutut di hadapannya. Apalagi seorang Mario masih berstatus jomblo.
«««♡»»»
Sandrina menyesap es tehnya di kantin kampus dengan tenang. Tak sengaja tatapan matanya bertemu dengan Ikhwan. Seorang pemuda biasa yang cukup menarik hati. Ia dikenal sebagai pemuda sholeh dan tak banyak tingkah. Sandrina merasa Ikhwan memperhatikannya dari tadi. Ia hanya menyunggingkan senyum tipis dan segera meraih tasnya untuk keluar kantin.
Rina dan Andin menghadangnya di pintu luar kantin.
“Guys, sekarang gue ada kuliah Miss Alfi. Kita ketemu nanti aja.”
“Lo gak mo bolos aja, San?” sergah Andin.
Sandrina menoleh dengan tatapan tajam, mengarah lurus pada Andin. Membuat temannya itu bergidik.
“Buat gue, kampus ini hidup kedua gue. Setelah keluar dari sini, lo gak akan bisa bantu gue keluar dari panti sialan itu kecuali gue sendiri.”
Rina menyenggol lengan Andin sebagai isyarat tak usah berkomentar. Andin menoleh sejenak dan mengangguk samar. Dan Sandrina, si gadis temperamental itu berlalu begitu saja.
«««♡»»»
“Lo naksir ma tu cewek preman?”
Teman sebelah Ikhwan membuyarkan lamunannya. Ikhwan hanya menggeleng dengan senyuman tipisnya. Tatapannya masih mengawasi jejak langkah Sandrina.
“Kalo gak naksir ngapain diliatin mulu?”
Sekali lagi, Ikhwan menggeleng. Ia mendesah pelan.
“Gue cuma heran. Kenapa ada cewek kek dia?”
“Lo herannya telat. Gue aja masih inget waktu jabat jadi anggota BEM, jadi panitia OSPEK. Dia cewek paling bandel. Dikasi hukuman pun dia mana peduli. Waktu kita ancam, dia malah ngancem balik,” ujar Angga—teman Ikhwan.
“Kalo gue liat, dia sebenernya cantik. Cuma gak tahu kenapa, wajahnya selalu murung,” sahut Reynand—teman sebelah Ikhwan.
“Lo kek paranormal aja.”
“Lo lupa, gue kan anak psikologi. Jadi detailnya wajah ma suasana hati itu keseringan singkron.”
Mereka tertawa terbahak-bahak. Tanpa peduli bagaimana ekor mata Ikhwan yang terus mengikuti bayangan langkah Sandrina.
Bayangan itu mengingatkannya pada sosok kecil di masa lalu. Sandrina seperti teman masa kecilnya dulu, tapi kenangan itu sendiri pun terasa buram.
Siapa dia? Sepertinya buatku dia tidak asing. Tatapan teduh itu sepertinya aku kenal.
«««♡»»»
“Sandrina, besok kamu mulai masuk taman kanak-kanak. Mama gak bisa nemenin. Gak pa-pa ya, Sayang?”
Sandrina, si gadis mungil itu merasa senang karena akan memulai pendidikan dininya. Ia tak mengerti arti bersekolah, tapi saat membayangkan akan bertemu banyak teman dan mainan, gadis mungil itu merasa bahagia.
“Sandrina akan punya banyak temen ya, Ma?”
“Tentu saja, Sayang.”
“Mama kenapa gak nganterin? Mau ke mana?”
“Mama ada urusan, Nak.”
Keesokannya ....
Sandrina diantarkan oleh pengasuh dan sopirnya menuju sekolah. Perasaan sedih dan senang seolah bercampur mengaduk hatinya. Tapi niatnya bersekolah lebih dahulu menyenangkannya. Dari kejauhan, tak sengaja tatapan manik kecil itu melihat sang mama masuk ke sebuah mobil berwarna silver. Sang mama dibukakan pintu oleh seorang pria dengan pakaian rapi dan gagah.
Mama sama siapa? Mama mau ke mana?
Hati kecil Sandrina dipenuhi pertanyaan. Gadis seusianya sudah memiliki rasa dan nalar yang baik.
Langkahnya terus berayun menjejaki jalanan kota. Tasnya, ia selempangkan ke bahu sebelah kiri. Pandangannya lurus ke depan.
Aku tak tahu apa yang terjadi. Kenapa ingatan itu selalu saja membayangiku? Aku sekarang di sini. Sendirian. Tanpa keluarga. Tanpa papa mama dan adikku yang lenyap dari kehidupanku.
Sebisa mungkin, Sandrina mencegah bulir air matanya jatuh. Ia harus kuat dan tidak boleh jatuh hanya karena kenangan yang sudah lalu.
Tak sengaja, kakinya terantuk batu akibat melamun sedari tadi. Tubuhnya terjungkal hendak menabrak tembok, namun seorang pemulung perempuan berhasil mencegahnya. Menghalangi tubuh rampingnya dari kesakitan.
“Hati-hatilah, Nak,” ucap si pemulung dengan pakaian kumal. Ia menutupi sebagian wajahnya dengan selendang yang ia pakai.
Sandrina tergagap dan mengangguk segera. Ia terkejut dengan apa yang akan terjadi jika perempuan itu tidak menolongnya.
“Ma-makasih, Buk. Aku tadi ....” Sebelum Sandrina menyelesaikan ucapannya, perempuan itu sudah berbalik dan pergi dengan wajah tertunduk.
Sandrina berpikir, ada sesuatu yang ganjil bagi perempuan itu. Tapi gadis itu hempaskan pemikirannya. Tak berguna juga ia berpikir macam-macam.
Ya sudahlah. Itu privacy dia. Mungkin dia begitu karena nasibnya mungkin.
Sandrina diam sejenak.
Mungkin nasib gue akan sama dengan dia kalo gue gak masuk ke panti. Jadi gembel dan hidup serampangan. Ternyata, Tuhan masih sayang sama gue.
Gadis itu tergelak sendirian saat memikirkan nasib. Ia mencibir dirinya sendiri yang mempunyai hidup tak seberuntung orang lain. Hidup di bawah rasa kasihan orang. Namun bukan Sandrina namanya jika ia tak mengabaikan itu semua.
«««♡»»»
“Tapi kampus itu kampus negeri, Pi. Mana ada sistem kasta? Lagian yang jadi kasta atas itu cuma seorang anak panti asuhan. Bener-bener gak masuk akal,” geram seorang gadis yang tak lain teman kampus Sandrina——katakanlah salah satu heaters Sandrina.
“Wanda! Orang yang menanggung biaya kampus itu adalah donator terbesar di kampus! Dan asal kamu tahu, subsidi, beasiswa dan sebagainya adalah jasa dari orang yang juga menolong anak itu. Kampus itu memang negeri, tapi sebagian sahamnya milik swasta, Anakku.”
“Orang itu mungkin buta menolong anak yatim tak tahu diri seperti Sandrina.”
“Kami pihak kampus juga tak mengerti soal itu, Nda. Yang penting jauhi anak yang bernama Sandrina. Kalo ada apa-apa sama kamu, papi juga gak akan biarin dia. Itu janji papi. Tapi papi mohon, sebisa mungkin jangan berurusan sama dia.”
Papi Wanda adalah salah satu dosen yang memiliki jabatan cukup penting di kampus. Jadi tak heran, Wanda cukup disegani oleh sebagian mahasiswa, terkecuali bagi Sandrina. Seorang Sandrina tak akan pernah peduli dengan jabatan atau apapun. Bagi dia, siapapun orang yang merendahkan atau mencelanya, wajib ia tegur. Walaupun menegur dengan cara yang tak biasa. Yaitu dengan jalan kekerasan.
“Oke, Pi. Tapi Wanda juga gak bakal diem kalo dia buat ulah sama temen-temen Wanda.”
Hendri, papi Wanda mendekati putrinya dan mengusap pelan puncak kepala gadis yang disayangnya itu.
“Berlakulah bijak, Nak. Buat papimu ini bangga sama kamu. Kamu boleh mencela Sandrina atas semua sikap premannya itu. Tapi kamu juga bisa mencontoh prestasi dia. Dia anak yang berbakat dan cerdas di bidang akademis ataupun non-akademis. Mungkin itu juga pertimbangan para stakehoulder kampus. Lagipula sikapnya masih bisa ditolerir.”
“Ditolerir kata Papi? Dia bahkan sudah kelewat batas, Pi!”
“Kampus tak pernah mendengar korban dia sampai lecet, luka-luka apalagi meninggal. Jadi itu hanya dianggap kenakalan biasa.”
Tak ingin memperpanjang percakapannya dengan sang anak yang terus membantah ucapannya, Hendri bergegas pergi. Wanda hanya mematung dengan emosi yang membungkam jiwanya.
Kenapa semua orang seolah melindungi anak yatim tak tahu diri itu. Kalo dia tetap keterlaluan, aku akan turun tangan sendiri memberi pelajaran berharga buat dia.
Seringai tak biasa terpapar di wajah Wanda. Buat dia, Sandrina memang harus diberi pelajaran. Ia benar-benar muak dengan sikap tamparamental Sandrina. Terlebih, sang papi tadi memuji kecerdasan gadis preman itu. Tentu saja hal itu tambah menyulut emosi dan kedengkiannya.
—※★♡★※—
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top