#8

Aku memang materialistis!

Aku sadar akan hal itu dan selalu meneriakkannya didalam hatiku. Aku mendapatkan semuanya dari Julian, materi dan kasih sayang. Selembar kartu kredit, mobil, ponsel baru, pakaian, tas, sepatu, perhiasan, semua sudah aku dapatkan. Bahkan Julian juga menyewakan sebuah tempat di salah satu mal untukku agar aku bisa melanjutkan usaha lamaku. Julian tidak mempermasalahkan jika aku bekerja di luar rumah. Toh, aku sudah merekrut dua orang karyawati untuk kupekerjakan di butik baru milikku. Jadi, aku tidak perlu ke butik setiap hari dan bisa ke sana kapan saja aku mau. Julian tidak mau aku terlalu capek karena itulah kami mempekerjakan seorang asisten rumah tangga yang bisa dipercaya.

Tiga bulan telah berjalan dan aku benar-benar menikmati kehidupan baruku. Didalam pikiranku aku menganggap semua masalah hidupku terselesaikan selama aku memiliki uang. Materi adalah segalanya buatku!

Satu lagi. Aku juga sedikit merubah penampilanku. Kalian tahu, aku juga ingin tampil cantik seperti wanita lain. Memakai beraneka macam make up mahal dan bermerk yang selama ini tak pernah ku beli. Karena biasanya aku hanya memakai make up murahan dan itupun aku harus berhemat memakainya. Naluri semua wanita sama, ingin selalu tampil cantik. Kupikir begitu.

Aku merubah warna rambutku menjadi dark brown karena aku ingin tampil sedikit berbeda dari biasanya. Mengoles cat kuku berwarna pink, menjadi kegemaranku sekarang. Selain warna itu aku juga mengoleksi warna-warna lain. Berbagai macam warna lipstick, lipgloss, eyeshadow, blush on, mascara, eyeliner, pensil alis, bedak, sampai parfum berjajar rapi di atas meja riasku. Aku memang sudah gila. Gila belanja!

Julian sangat mengerti dan tidak pernah mempermasalahkan hobi belanjaku yang mungkin di mata orang lain sudah melampaui batas. Dan aku hanya perlu memasang muka manis di depan Julian agar ia tidak memarahiku. Aku sudah tahu kelemahannya.

Dengan langkah penuh percaya diri aku melenggang masuk ke dalam mal. Menyapa security yang ku kenal, petugas kebersihan, juga orang-orang yang kukenal di sana. Aku akui, aku selalu menebarkan senyum ke semua orang dengan maksud menebarkan pesonaku. Karena aku kaya dan cantik! Itulah diriku yang sekarang.

Dua karyawanku, Sarah dan Wanda, menyapa begitu aku masuk ke dalam butik. Aku menyerahkan bungkusan nasi Padang yang tadi kubeli di jalan kepada mereka dan menyuruh untuk segera memakannya. Karena makanan itu tak enak jika dimakan saat dingin. Bagaimanapun juga aku pernah merasakan menjadi seperti mereka. Itulah kenapa aku masih punya rasa sosial kepada orang lain meski aku sedikit angkuh.

Aku memeriksa buku penjualan kemarin dan hari ini. Lalu mengecek stok barang di dalam rak dan di pajangan. Mengganti pakaian di manekin dan merapikan bagian-bagian yang sedikit kurang rapi selama dua karyawanku makan.

Julian calling.

"Halo,"aku menyapa usai menggeser tombol hijau di layar ponselku.

"Kamu lagi di butik, Honey?"

"Ya,"sahutku cepat. "kamu sudah makan siang, Lian?"aku selalu berusaha menunjukkan perhatianku padanya. Agar ia merasakan cintanya tidak terabaikan begitu saja olehku.

"Belum, Mei. Ini masih ada kerjaan..."

"Pekerjaan bisa menunggu kan?"cetusku menyela. "aku nggak mau kamu kena maag gara-gara telat makan. Apa aku harus ke sana untuk membujukmu makan, hah?"

Kudengar Julian tertawa. Ia sedang jatuh cinta dan terhanyut dalam kebahagiaan. Karena aku pandai membuatnya jatuh ke dalam jerat cintaku!

"Nggak perlu, Mei,"sahutnya. "jarak dari mal ke kantor kan cukup jauh. Belum lagi macetnya. Bisa-bisa dua jam kamu sampai sini. Kamu sudah makan?"

"Sudah."

"Ya sudah, kalau begitu aku pergi makan siang dulu. Kamu hati-hati ya pulangnya,"pamit Julian akhirnya.

"Iya, love you,"balasku mesra.

"Love you too."

Aku menarik nafas dalam-dalam dan mengucapkan kata maaf dalam hati. Selalu begitu. Setiap mengucap kata cinta untuk Julian aku selalu merasa bersalah. Karena kata-kata itu palsu dan penuh kebohongan.

"Aku ke toilet dulu,"pamitku pada Sarah dan Wanda setelah memasukkan kembali ponselku ke dalam tas. Aku bergegas keluar butik dan melangkah menuju ke toilet terdekat.

Separuh hatiku bahagia dan separuhnya lagi tersiksa!

"Hei!"

Aku memutar tubuhku saat seseorang menepuk pundakku dari belakang. Ia berhasil mengejutkanku.

Seseorang mengembangkan senyum saat aku berhasil membalikkan tubuhku dan menatap ke arahnya. Aku tersentak melihat siapa gerangan yang ada di hadapanku sekarang. Viko? Mantan pacarku yang pernah mencampakkanku dulu!

"Apa kabar Mei?"sapanya manis. Seperti tak pernah terjadi apa-apa di antara kami. Oh, mungkin ia sudah melupakan pengkhianatannya padaku. Tapi aku tidak pernah lupa!

"Jauh lebih baik,"aku tersenyum dan mengembangkan kedua tanganku selebar bahu. Sekedar ingin menunjukkan padanya bahwa aku telah berubah dan hidupku sejahtera.

"Ya, aku bisa melihatnya,"tandasnya enteng. "aku baru tahu jika kamu sudah sesukses ini,"ia menyanjungku dengan mulut berbisanya.

Ya, ya, batinku sambil manggut-manggut. Setahunya, aku hanya seorang penjual baju di sebuah toko kecil di pinggir jalan yang nasib keuangannya kembang kempis.

"Ya, Tuhan selalu tahu mana yang berjuang dengan sangat keras,"aku sengaja tertawa. Menunjukkan keangkuhan di depan seorang mantan pacar yang brengsek. "aku bersyukur dengan apa yang kumiliki sekarang? Kamu sendiri?"aku sengaja melempar pertanyaan itu karena aku bisa melihat jika Viko masih sama seperti dulu.

"Aku masih sama seperti dulu,"ucapnya. "aku juga masih mencintaimu, Mei. Sama seperti dulu."

Wow! Aku hanya mengangakan mulutku. Aku tak percaya ia bisa berkata seperti itu di depanku sekarang. Setelah ia pernah mencampakkanku demi gadis lain dan sekarang ia bilang masih mencintaiku setelah aku sudah berubah jadi orang kaya.

"Begitukah?"aku tersenyum sinis. "tapi sayangnya aku nggak,"aku menekan nada suaraku sedikit ketus. Dan ia pantas mendapatkannya. Sebuah balas dendam yang manis.

"Mei,"sepasang matanya tampak dibuat sesendu mungkin. Oh, ia sedang berakting sekarang. "aku ingin minta maaf atas kesalahanku dulu. Aku percaya kamu masih mencintaiku, Mei. Aku bisa melihatnya di matamu."

Bohong!

"Memangnya apa yang kamu lihat di mataku?"aku melebarkan mataku padanya seraya tersenyum. "cinta? Jangan bercanda Vik. Aku sudah membunuh hati dan perasaanku dengan tanganku sendiri sejak waktu itu." Aku tergelak dengan  segala keangkuhanku.

"Aku ingin kamu kembali padaku, Mei. Kita bisa memulainya dari awal lagi,"Viko ngotot dan dengan gerakan cepat ia mencekal lenganku kuat-kuat. Ah, sial. Lorong itu sepi dan tak ada seorangpun yang lewat di sana.

"Jangan mimpi, Vik!"aku geram. Namun aku tak bisa berteriak lebih keras lagi. "lepaskan atau aku panggil security,"ancamku kemudian.

Viko mendekatkan wajahnya dengan tatapan buas. Seperti harimau yang ingin menerkam seekor kelinci kecil. Ia hendak menciumku!

Oh. Seseorang muncul di lorong itu. Seorang petugas kebersihan. Aku selamat, batinku. Viko melepaskan cekalan tangannya dan secepat mungkin aku kabur dari tempat itu dan melupakan tujuanku semula. Aku bergegas mencari lift dan meluncur ke lantai basement. Aku memutuskan untuk pulang saat itu juga.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top