#7
Semua berjalan dengan baik. Kedua orang tuaku menyambut Julian dengan antusias dan gembira. Akhirnya aku menemukan pendamping hidup juga dan mereka tidak perlu lagi mendesakku untuk segera menyusul kedua adikku. Mereka sangat mendukung pernikahanku dengan Julian terlebih saat mereka tahu jika Julian adalah orang kaya. Sekarang aku tahu dari mana sifat materialistisku berasal. Dari orang tuaku!
Pernikahanku dengan Julian berlangsung dengan sederhana. Aku sengaja tidak mau mengadakan pesta resepsi sekalipun Julian bersedia menanggung semua biayanya. Tidak. Jika itu terjadi maka semua orang akan tahu betapa berbedanya derajat kami. Toh, pesta resepsi tidaklah begitu penting dan lagipula akan menghabiskan biaya yang tidak sedikit. Lebih baik uangnya ditabung atau digunakan untuk keperluan lain bukan?
Aku pindah ke rumah Julian sehari setelah kami menikah. Julian membantuku mengosongkan kamar kosku dan mengangkut barang-barangku yang tidak banyak menuju ke rumahnya. Sebenarnya tak ada barang berharga milikku, hanya pakaian dan barang-barang tak berarti lainnya.
"Sudah Mei?"Julian mengangkut kardus terakhir ke dalam mobilnya.
"Ya,"balasku. Aku telah memastikan kamar itu telah kosong dan tidak ada satupun barang yang tertinggal di sana. Aku menyusul langkah Julian setelah mengunci kamar itu dan menyerahkannya pada ibu kos. Berpamitan dengan wanita itu dan mengucapkan terima kasih. Setidaknya ia telah menerimaku kos di sana untuk beberapa waktu lamanya.
"Kamu yakin nggak ada yang ketinggalan?"sekali lagi Julian bertanya sebelum ia menyalakan mesin mobil.
"Sudah, Lian,"sahutku meyakinkannya.
"Ok,"ia mengangguk dan menyalakan mesin mobilnya. Kami akan meluncur ke rumah Julian dimana kami akan tinggal bersama di sana sebagai pengantin baru. Yeah, ini seperti mimpi. Bisa menikah dengan seorang Julian, tanpa cinta!
"Akhirnya..."
Aku menoleh bukan tanpa sebab. Julian baru saja menggumamkan sesuatu yang tak begitu jelas di telingaku. Julian sedang tersenyum?
"Kamu bilang apa?"aku bertanya sekedarnya lalu menghadap ke depan kembali. Aku sangat suka menatap ke arah jalan dan memperhatikan apa saja di depan mataku seolah sedang menatap layar proyektor film bioskop.
Julian mengembangkan senyumnya terlebih dulu sebelum menjawab pertanyaanku. "Akhirnya aku bisa menikah denganmu,"gelaknya kemudian. "ini seperti mimpi dan aku nggak sedang tidur."
Oh. Aku ikut tersenyum sebagai formalitas. Demi Julian. Agar ia tak merasa menikmati kebahagiaan ini sendirian.
"Tapi kamu nggak sedang bermimpi, Lian. You're my husband now,"aku menyentuh pundaknya dengan lembut.
"You're right."
Kami sampai di rumah Julian setengah jam kemudian. Rumah Julian tak begitu luas, bergaya minimalis, dan berlantai dua. Dinding luarnya dilapisi cat berwarna krim sedang bagian dalamnya diberi warna pastel. Sofa ruang tamu berwarna cokelat senada dengan gorden dan di lantainya terbentang sebuah karpet berwarna hijau lumut. Di lantai atas terdapat dua kamar tidur dan sebuah kamar mandi. Sedang di bawah hanya ada sebuah kamar, ruang tengah, ruang makan, dapur, dan sebuah kamar mandi.
Rumah itu cukup nyaman. Di samping rumah ada sebuah teras mungil yang menghadap sebidang tanah kosong yang sempit. Kata Julian, aku bisa menanaminya dengan bunga atau tanaman hias lain yang kusuka. Nantinya akan mempercantik rumah itu dan memberi kesan asri. Sempurna.
"Rumahku nggak sebesar rumah orang tuaku,"ucap Julian setelah kami berkeliling sebentar. "aku berharap kamu menyukainya."
"Tentu saja aku suka,"aku mengembangkan senyum. Sebenarnya ini lebih dari cukup buatku. Karena rumah Julian seribu kali lebih bagus ketimbang kamar kosku yang sempit, sedikit pengap, dan warna cat yang sudah mengelupas di sana sini. Itupun harga sewanya lumayan mahal. Bayangkan jika aku tidak menikah dengan Julian, aku pasti masih menghuni kamar jelek itu. Rumah Julian memang nyaman!
"Nanti kita tidur di kamarku di lantai bawah,"ucap Julian sambil menurunkan barang-barangku dari mobil. Aku turut serta membantunya. "nanti anak-anak kita akan tidur di lantai dua. Kamu setuju kan? Kamu ingin punya anak berapa, Mei?"
Hah?!
Aku tertegun. Tanganku berhenti menurunkan tas pakaianku untuk sementara waktu. Pertanyaan Julian sama sekali tak pernah melintas di kepalaku. Anak? Aku tidak pernah berpikir akan punya anak dari Julian.
Aku menggeleng cepat dan melakukan aktifitasku kembali. Lalu menyusul langkah Julian memindahkan barang-barangku ke kamarnya. Kamar kami maksudnya. Aku membongkar tas berisi pakaian milikku dan memasukkannya ke dalam lemari bersama pakaian-pakaian Julian. Oh Tuhan! Betapa berbedanya pakaian-pakaian kami. Pakaian-pakaian Julian yang mahal harus berada dalam satu lemari dengan pakaian murahan milikku. Kasihan.
"Habis ini aku akan memasak sesuatu buatmu. Untuk pertama kalinya,"ucap Julian yang sedang sibuk membantuku memasukkan pakaianku ke dalam lemari miliknya.
"That's good idea,"sahutku. Aku telah selesai mengerjakan pekerjaanku dan duduk di atas tempat tidur untuk beristirahat sekaligus menunggu Julian menyelesaikan bagiannya. Aku menatap ke sekeliling untuk berkenalan dengan segala sesuatu yang menghuni kamar itu. Secepatnya aku akan beradaptasi dengan lingkungan baruku.
"Sudah,"ucapnya seperti bicara pada diri sendiri. Ia berdiri dan melihatku duduk di atas tempat tidur. Julian melangkah mendekat dan duduk tepat di sampingku. Sungguh aku merasa menjadi orang asing saat berada sedekat ini dengan Julian.
Julian mengalihkan wajahnya ke arahku sejurus kemudian. Tanpa kata-kata. Namun ia menatap semua relief yang terukir di wajahku dengan sepasang mata yang biasa kusebut dengan 'telaga bening' itu. Tapi tatapannya berbeda. Aku tidak bodoh mengartikan tatapan mata itu. Ada sesuatu yang bergejolak di sana. Di dalam telaga bening itu. Aku tak bisa lagi berenang di sana apalagi untuk bersampan. Telaga itu beriak sekarang dan menyeretku ke kedalamannya. Anehnya aku hanya diam dan tak berusaha mengayunkan tanganku untuk melawan riak itu. Aku membiarkan diriku terseret dalam pusaran air di dalam telaga bening itu. Aku tenggelam di kedalaman telaga bening milik Julian!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top