#6
Julian menepati janji manisnya. Hari ini ia membawaku ke rumahnya dan mengenalkanku pada keluarganya. Julian tidak bohong tentang ucapannya kemarin. Ayah dan ibu Julian sangat ramah dan menyambutku dengan hangat. Seolah aku benar-benar orang yang special yang sangat dicintai putranya. Dan kenyataannya memang seperti itu kan?
Julian memiliki seorang kakak laki-laki, Adrian, dan seorang adik perempuan bernama Jessica. Adrian tinggal bersama kedua orang tuanya dan telah memiliki dua orang anak, sementara Jessica tinggal di Singapura bersama suaminya. Di keluarga itu tinggal Julian yang belum menikah.
"Akhirnya Julian menemukan tambatan hatinya,"ucap ibu Julian sembari tersenyum menatapku. "Julian itu orangnya susah. Ibu sendiri kadang nggak tahu apa maunya. Dia itu keras kepala dan sedikit ribet orangnya. Tapi kalau sudah menyukai sesuatu, dia akan memperjuangkan dan mempertahankannya. Sampai mati sekalipun,"ibu Julian tergelak. Tapi aku melihat rona kebahagiaan terpancar jelas dari sepasang mata wanita itu.
Ayah Julian ikut tersenyum mendengar ucapan istrinya. Ia tampak mengiyakan juga.
"Julian belum pernah membawa seorang gadispun ke rumah, cuma kamu,"ungkap ayah Julian menambahi. "selama ini Julian selalu menghindar jika disuruh menikah, kami sebagai orang tuanya jadi sedikit khawatir."
"Khawatir kenapa Yah?"sela Julian menengahi.
"Khawatir kamu nggak laku,"ayah Julian menderaikan tawa sesudahnya, disambung ibu dan Adrian.
Pipi Julian merona merah. Ia pasti malu dengan olok-olok ayahnya terlebih di depanku.
"Bukan nggak laku, Yah,"Julian menyahut lagi. "tapi memilih yang tepat. Buktinya sekarang aku sudah mendapatkan orang yang tepat untuk menjadi pasangannku,"tandas Julian bangga.
Aku orang yang tepat untuk menjadi pasangannya?batinku gelisah. Ah, jika Julian bisa membaca pikiranku pasti ia akan kecewa dan sangat membenciku. Karena sesungguhnya aku bukanlah orang yang tepat untuknya, aku hanya menginginkan uangnya saja. Aku ulangi sekali lagi, uang!
"Jadi, kapan kalian akan menikah?"suara ayah Julian terdengar memecah lamunanku menjadi berkeping-keping.
"Secepatnya, Yah."
Julian bodoh. Juga egois. Ia menjawabnya tanpa bertanya padaku sebelumnya. Memang aku sudah menyatakan persetujuanku untuk menikah dengannya tapi tidak secepat ini. Aku butuh waktu untuk mempersiapkan hati dan mentalku.
"Kalian tentukan saja tanggal pernikahannya sendiri, kami hanya bisa merestui kalian,"ucap ayah Julian kemudian.
"Iya, Yah,"sahut Julian senang. Ia mengajakku berkeliling rumahnya setelah itu.
Rumah Julian besar dan bagus. Berlantai dua dan dipenuhi dengan perabotan mahal. Di teras belakang ada sebuah kolam renang yang cukup luas dan indah. Kursi-kursi kayu diletakkan menghadap kolam, tempat bersantai dan menikmati pemandangan kolam. Kami duduk di sana dan ngobrol pribadi berdua.
"Ternyata aku salah menduga tentang keluargamu,"ucapku sambil tersenyum. Aku menatap kolam renang yang tenang dan tampak berkilauan ditimpa sinar matahari.
"Kamu pikir keluargaku arogan seperti di sinetron?"Julian tergelak. Dugaannya tepat.
"They're humble guys,"tandasku.
"Yup. Just like you,"sambungnya. "kamu tahu, nggak semua orang yang punya uang selalu bersikap arogan dan sombong. Karena kami juga pernah merasakan menjadi orang yang nggak punya. Jadi, kami bersikap apa adanya sama seperti saat kami nggak punya apa-apa. Ayah mengajari kami untuk selalu bersikap rendah hati dan memperlakukan orang lain sama seperti kami memperlakukan diri sendiri,"papar Julian mengulangi nasihat yang pernah ayahnya berikan.
Aku terdiam. Apa yang dikatakan Julian memang benar. Mereka telah bersusah payah untuk mencapai posisi sekarang ini dan aku datang hanya ingin menikmati sebagian uang hasil kerja keras mereka. Aku yang tampak jahat sekarang. Tidak adil bukan, jika aku memanfaatkan cinta Julian?
"Ya, sebagian orang mungkin seperti kalian dan sebagian lagi seperti di sinetron,"aku melempar candaan ringan. Dan berhasil membuat Julian tertawa.
"Jadi, itu sebabnya kamu nggak langsung menerima lamaranku?"sepasang mata bening yang mirip dengan telaga itu menatapku. Meminta alasan.
Aku tak langsung menjawab. Aku butuh waktu untuk menghela nafas sembari mencari jawaban yang tepat untuk pertanyaannya.
"Orang miskin sepertiku nggak semudah itu diterima di dunia kalian, kamu tahu kan?"aku sengaja menunduk untuk menatap lantai dan mengakui status sosialku yang sama dengan lantai itu. Di bawah. "status sosial selalu jadi sorotan di masyarakat, Lian. Meski mereka nggak mengatakannya secara langsung, tetap saja hal seperti itu akan jadi bahan gunjingan,"tandasku.
"Dan kamu masih peduli hal itu?"ia mengembangkan senyum terbaiknya. "aku nggak sama sekali."
"Karena kamu berada di posisi atas, sedang aku di bawah. Seorang pendaki sosial sejati,"aku menambahkan.
"Hei,"ia memotong cepat. "don't say like that. Ever."
"Apa kamu benar-benar nggak mempermasalahkan hal itu?"ulangku tidak yakin. Kurasa aku harus memastikannya sekali lagi. "apa kamu nggak akan menyesalinya suatu saat nanti?"
"Nggak, Mei. Sekali lagi nggak,"tandasnya mantap. Telaga bening itu mengerjap sekali. "aku sudah memilihmu. Berarti aku sudah siap dengan segala resiko yang mungkin akan menghadang kelak. I love you whatever you are."
Jujur aku tersanjung dengan ucapannya. Ia mampu menerbangkanku sejajar dengan awan, tapi sayangnya aku takut ketinggian. Aku hanya tersenyum kecil. Setidaknya masih ada orang yang mencintaiku tulus dan apa adanya. Dan aku harus menghargainya.
"Aku baru tahu kalau kamu pandai merayu,"aku tergelak sejurus kemudian. "tapi aku nggak suka dirayu. Kamu harus tahu itu, Lian."
"Ok, ok,"sahutnya. "masuk yuk, kita makan bareng. Aku sudah lapar nih,"ajaknya sembari meraih tanganku.
"Baiklah."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top