#5

21.04.

Aku menyambar tas dan ponselku dari atas meja setelah menengok jam dinding. Sudah saatnya pulang, batinku seraya menjangkau tombol lampu. Setelah berhasil mematikan lampu butik aku bergegas keluar dan menarik rolling door. Sudah sepi. Toko-toko di sekitar area itu sebagian besar sudah tutup, hanya beberapa yang masih buka.

Ah, aku urung melangkah setelah mengunci butik. Tiba-tiba hujan turun disaat aku selesai memastikan butik telah terkunci rapat. Kenapa mesti sekarang?batinku kesal. Pasalnya aku tidak memiliki payung dan hujannya bertambah deras. Hujan seperti ini pasti akan memakan waktu yang lama. Satu jam mungkin.

Aku merapatkan tubuhku pada rolling door butik. Menghindari percikan air hujan yang tertiup angin dan ingin menyentuh tubuhku dengan tidak sabar.

Sialnya aku tak membawa jaket hari ini. Karena hawa dingin sedikit menusuk tulang dan sendiku. Hujan lebat disertai angin kencang, benar-benar perpaduan yang sempurna. Mereka telah berhasil menjebakku di sini. Tega!

Sampai kapan aku harus menunggu? Apa aku harus masuk ke dalam butikku kembali? Tapi aku tidak suka menginap di sini. Terlalu sempit buatku.

Tin. Tin.

Sebuah mobil berwarna putih berhenti tepat di depan butik. Julian?batinku takjub. Pria itu mengisyaratkan padaku untuk masuk ke dalam mobilnya. Tentu saja aku tidak menolak tawarannya. Aku bergegas masuk ke dalam mobilnya setelah berlari kecil menghindari hujan. Tapi tetap saja kepala dan pundakku sedikit basah.

"Makasih, Lian,"aku langsung mengucapkan terima kasih. Untung saja dia datang dan menyelamatkanku dari jebakan hujan. Jika tidak, aku tidak tahu berapa lama aku harus berdiri di sana menunggu hujan reda. Mungkin sampai kakiku kesemutan.

"Kenapa nggak menelepon? Aku bisa mengantarmu pulang..."

Bukan karena aku tidak mau mendapat tumpangan gratis, batinku. Tapi saat bersamamu aku sama sekali tidak mendapatkan rasa nyaman dalam hatiku.

"Aku takut merepotkanmu,"dustaku. Aku mendehem dan menoleh ke arah samping jendela. Menyembunyikan seraut wajah yang baru saja melontarkan sebilah dusta.

"Kita makan dulu, Mei,"ucapnya. Sebelum mendapat persetujuanku ia membelokkan mobilnya ke sebuah restoran kecil di pinggir jalan yang menawarkan banyak pilihan makanan laut. Berbagai macam jenis ikan, udang, dan kepiting.

Aku tergagap dan tak sempat mengucapkan penolakan. Aku menyusul langkahnya masuk ke dalam restoran seafood itu dan mengambil tempat duduk di depannya.

"Mau makan apa, Mei?"tawarnya seraya menatapku. Seulas senyum ia tularkan padaku. Ramah seperti biasa.

"Oh,"aku berpikir sebentar. Ada banyak pilihan yang ditawarkan dan aku kebingungan memilihnya. "aku pilih udang goreng saja,"putusku akhirnya.

"Baiklah,"Julian memanggil pelayan dan menyebutkan pesanan kami. "udang goreng satu, cumi-cumi satu, minumnya teh hangat dua. Nggak pakai lama, ya Mas,"pesan Julian pada pelayan itu yang disambut dengan anggukan.

"Kamu baru pulang dari kantor?"basa basiku pada Julian seraya menunggu pesanan kami dimasak.

"Iya,"sahutnya cepat. "dan aku sengaja lewat depan butikmu berharap bisa bertemu denganmu. Aku merindukanmu, Mei,"ungkap Julian tampak tulus.

Dan aku sama sekali tidak merindukanmu.

"Oh ya?"aku mencoba tersenyum senatural mungkin. Aku sedikit salah tingkah karena sepasang telaga bening milik Julian terus mengawasiku. Layaknya seorang yang sedang jatuh cinta. Julian memang sedang jatuh cinta padaku bukan?

"Bagaimana penjualan butikmu hari ini?"

Syukurlah ia segera mengganti topik pembicaraan, batinku lega. Aku benci perbincangan romantis soal asmara.

"Nggak begitu bagus,"jawabku pelan. "kamu tahu kan sekarang akhir bulan. Mungkin juga dua bulan lagi aku akan menutup butik itu,"tandasku membuka permasalahanku.

"Loh kenapa?"Julian mengerutkan dahinya seperti orang bodoh.

"Kontraknya sudah habis."

"Kenapa nggak diperpanjang?"desaknya tampak antusias.

Aku tersenyum kecil. Menertawakan kebodohannya. Harusnya ia tahu kalau aku hampir bangkrut karena sebelumnya aku mengatakan bahwa penjualan butik tidak bagus.

"Aku nggak sanggup membayar biaya sewanya,"aku masih tersenyum saat mengatakannya. "kupikir aku akan mencari pekerjaan di tempat lain. Seperti dulu."

"Mei,"ia meraih genggaman tanganku yang kuletakkan di atas meja. "kita menikah saja. Dan aku akan menanggung semua biaya hidup kamu. Jadi, kamu tinggal di rumah dan aku yang bekerja. Bagaimana?"

Aku tertegun. Kali ini aku bersampan di telaga bening itu. Menelusuri arusnya yang tenang dan sunyi. Mencari sebuah kepercayaan yang bisa ku pegang di sana.

Aku hanya membayangkan jika tidak ada Julian hari ini. Pasti aku masih berdiri di depan butik tanpa kepastian nasib. Tapi dengan kehadiran Julian masalah kecil itu terselesaikan dengan baik. Lalu bagaimana jika Julian tidak pernah ada dalam hidupku?

Aku sedang berpikir keras. Jika aku menikah dengan Julian semua masalah keuanganku akan terpecahkan dengan sendirinya. Aku juga pasti akan mendapat fasilitas hidup yang memadai dan jatah uang bulanan yang tentu jumlahnya tidak sedikit. Mengingat Julian adalah orang yang kaya. Aku tidak perlu bekerja keras dan hanya tinggal duduk manis menikmati uang Julian. Tapi...

"Bagaimana dengan keluargamu?"tanyaku akhirnya. "apa mereka akan setuju kamu menikahi orang sepertiku?"

Julian menggeleng.

"Nggak akan ada yang mempedulikan hal itu, Mei,"tandasnya yakin. "kamu tahu aku sudah hidup terpisah dengan orang tuaku. Aku punya rumah sendiri dan nggak akan ada yang mengusik kehidupan kita,"paparnya meyakinkanku.

Oh.

"Bagaimana?"ia bertanya kembali. "will you marry me?"tanyanya seperti saat itu.

"Yes, I do."

Aku sudah memutuskan setelah menimbang keuntungan-keuntungan yang akan aku dapatkan jika aku menikah dengan Julian. Jadi, aku mengiyakan lamaran keduanya kali ini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top