#1

"Will you marry me?"

Wow! Aku terperangah dan dadaku nyaris meledak mendengar ucapan pria yang kini berdiri kaku di hadapanku. Bahkan aku harus mendongak saat ingin menatap ke dalam matanya karena tubuhku terlalu mungil saat berdiri di hadapannya.

Julian.

Apa ia serius dan sadar saat mengucapkan 'mantra' itu padaku?batinku sekali lagi. Aku tahu aku tidak tuli. Hanya saja aku tidak terlalu mempercayai pendengaranku sendiri. Sekali lagi hatiku bertanya, aku tidak salah dengar bukan?

Bahkan sepasang mata milik Julian nyaris tak berkedip saat aku menelusuri kedalaman telaga bening itu tanpa permisi. Bahkan khayalanku bisa berenang di sana dengan bebas dan lepas. Mengacaukan ketenangan yang ditawarkan telaga bening itu.

"Kamu nggak sedang merayuku kan?"aku tersenyum tipis dan mengalihkan pandanganku sekilas ke jalan kecil di depan butik yang sibuk dengan aktifitasnya.

Julian menggeleng. Ia tampak serius dan yakin dengan apa yang baru saja diucapkannya. Mungkin.

Tapi aku malah melebarkan senyumku. Aku hanya akan menganggap ucapannya sebagai rayuan gombal, modus, atau apa saja. Aku tidak menganggapnya sebagai sesuatu yang serius untuk ditanggapi.

"Aku serius Mei,"Julian memberi penegasan pada kalimatnya. Berusaha membuatku yakin, padahal itu tidak mudah.

"Benarkah?"aku menghela nafas panjang dan menikmati aliran udara dari sekitar yang perlahan sedang kuhirup. Paru-paruku perlu oksigen baru karena Julian telah mengkontaminasi oksigen di dalam sana dengan virus yang ia tebarkan lewat kalimatnya.

"Mei..."

Aku menyingkirkan tanganku sebelum ia berhasil menyentuhnya. Julian sedikit kecewa dengan apa yang baru saja aku lakukan padanya.

"Kenapa harus aku?"aku mencoba melemparkan pertanyaan yang cukup sulit itu padanya sambil menatap Julian dengan tajam dan menyudutkan.

"Karena kamu layak untuk diperjuangkan,"tandasnya dengan mantap.

Hah?! Bahkan aku bergidik mendengar ucapan konyolnya. Tunggu! Dimana ia mendapat kalimat seindah itu? Yang menurutku tidak sesuai diucapkan Julian terhadap orang sepertiku.

"Ini bukan drama Julian,"aku membalasnya dengan kalimat yang tegas. "kalau kamu bilang aku layak untuk diperjuangkan, apa yang membuatku layak untuk diperjuangkan? Apa yang kupunya sehingga aku tampak setinggi itu dimatamu? Apa yang membuatmu begitu ingin memiliki orang sepertiku? Aku bukan siapa-siapa, Julian! Aku hanya orang miskin yang hidup dibawah garis standar kehidupanmu! Apa kamu sadar itu, hah?!"aku setengah berteriak. Bahkan aku bisa mendengar suaraku bergema di dalam butik kecil milikku. Dan untungnya tidak ada seorangpun customer yang berkunjung ke sana. Sehingga aku leluasa mengeluarkan suaraku dengan lantang.

"I know,"Julian menyahut. "aku tahu siapa kamu dan aku nggak peduli. Aku menyukaimu dengan caraku. Terus terang aku nggak bisa menjelaskan kenapa aku bisa menyukaimu. Semua terjadi begitu saja..."

Aku menyunggingkan senyum sinis mendengar pernyataan tololnya. Sekali lagi aku menatap mata Julian.

"Apa kamu bodoh?"hardikku kasar. "kamu lihat,"aku menunjuk ke arah luar butik dimana orang-orang sedang hilir mudik di jalan kecil depan butik. Beberapa tukang becak bahkan sedang duduk-duduk santai di atas becaknya, persis di seberang butik. "orang-orang itu akan menertawakanku, mengejekku, menghinaku, dan entah apa lagi yang akan mereka katakan tentangku. Mereka akan menyebutku si Pendaki Sosial, kamu tahu kan?"aku memberi sedikit gambaran tentang masa depan jika aku dan Julian benar-benar jadi menikah. Dua orang yang berbeda kelas sosial, satunya miskin dan satunya kaya raya, andai dipersatukan oleh sebuah ikatan akan terjadi sebuah ketimpangan latar belakang bukan?

"Tapi aku nggak peduli, Mei,"Julian mendebat ucapanku tanpa memikirkan resiko-resiko yang mungkin akan mengganggu di masa depan. "apapun yang akan mereka katakan tentangmu aku nggak peduli. Aku menyukaimu dan ingin hidup berdua denganmu. Punya keturunan dari kamu... Aku hanya ingin hidup bahagia denganmu. Itu saja, Mei."

Aku diam dan tidak mendebatnya kali ini. Andai ia tahu hidup tidak sesederhana pemikirannya itu. Pria itu benar-benar keras kepala dan bodoh. Ia tidak tahu apa yang sedang ia bicarakan.

"Mei..."

"Aku nggak bisa memberi jawaban, Lian,"aku menurunkan nada suaraku karena enggan melanjutkan perdebatan dengan orang yang keras kepala seperti dia. Aku mengambil tempat duduk di kursi plastik yang biasanya digunakan oleh customerku. Aku seperti kehilangan keseimbangan. Gamang.

"Aku bisa menunggu,"tandas Julian belum menyerah. Ia masih belum berhenti mengejarku. "aku akan memberimu waktu untuk berpikir."

Aku hanya bisa menertawakannya dalam hati. Ia baru saja melakukan pemaksaan secara terselubung terhadapku. Mengulur waktu agar pikiranku berubah menjadi sebuah persetujuan seperti keinginannya. Kamu licik, Julian.

"Pergilah,"usirku sejurus kemudian. Memakai bahasa dan intonasi sehalus mungkin agar ia meninggalkan aku sendirian. "aku akan memikirkan penawaranmu."

Julian mengangguk senang. Ia mengulum senyum puas di bibirnya.

"Baiklah,"ucapnya. "aku akan pulang. Jaga dirimu baik-baik, Mei."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top