1. Kemutar Telu
Gema peperangan bagai tiupan sangkala memanggil kematian. Bukit-bukit menjulang agung di Nusa Tenggara Barat telah dibumihanguskan, terutama daerah Sumbawa kini menjadi belahan terakhir untuk dijajah.
Rakyat pribumi berlindung di Kemutar Telu, yaitu tiga benteng bernama Taliwang, Seran dan Jereweh. Sementara orang dari luar pulau dan berdarah campuran tak mendapat perlindungan dari Bala Cucu yang diberitakan sebagai Pahlawan Kemutar Telu. Perkara lain jika mampu membayar upeti.
Dalam upaya menyelamatkan diri, mereka hidup di dalam lembah. Tak ayal jika rintihan kesakitan di medan perang terdengar jelas. "Mama ...," ucapannya terdengar parau, "bisakah hentikan suara mengerikan itu dengan senandungmu?"
Margareth tersenyum lembut menghadapi pertanyaan polos tersebut. Seseorang yang merasa terusik pun menyela, "Na peno akal! Kau menumpang ning tanah kami." Belanda memang telah memadamkan apinya, tetapi pengorbanan negeri pertiwi sangat besar untuk perdamaian.
"Huh, aku tidak mengusik Ina dan Bapak. Aku hanya ingin Mama bersenandung," elaknya. Sementara Margareth hanya terdiam, sadar bahwa dirinya sekadar menumpang.
"Kelakuan anak haram jada." Tanpa diduga, kalimat itu terlontar dari anak laki-laki sepantaran dengannya. Ia sering mempertanyakan eksistensi keluarga Sahara, karena gadis itu tidak punya papa.
"Cukup!" hardik Margareth. Hanya kalimat itu yang sukar diterima. Tanpa peduli sesaknya situasi di luar, dia meraih tangan Sahara untuk beranjak. Melewati tangga tanah yang setiap kali dilangkahi akan runtuh.
Pemandangan porak-poranda menyambutnya. Beberapa mayat tertimpa bangkai rumah panggung. Ada tubuh tentara Jepang yang terpisah dengan kepalanya, menancap pada lembing. Ia sempat memiliki kesadaran beberapa detik menatap Sahara seolah mengawasi, sebelum benar-benar meninggal.
Kaki Sahara sempat dicegat oleh Bala Cucu yang tengah sekarat. Ia takhenti memuntahkan darah, karena perutnya terkoyak hingga ususnya habis keluar. Kali ini, Sahara tak memekik. Tubuhnya bergeming sambil menatap kosong ke arah sosok tersebut.
Oh, Sahara ....
Ketika melihat pilu
Kau hanya perlu menutup mata
Tenggelam dalam kelabu
Meski dunia mencadaimu
Kapiten akan bertandang
Kapiten akan bertandang
Margareth bersenandung sambil memiting Sahara mengendap-endap untuk bersembunyi di antara puing bangunan. Barulah kemudian gadis belia itu menumpahkan isi hatinya kepada sang mama.
Malang, sungguh malang
Jika topeng dapat menyamarkan
'Kan kupakai 'tuk hapuskan jati diri
Kapiten yang merupa sosok papa
'Tak pernah hadir dalam hidupku
Selama ini aku mencari ....
Mencari sosoknya di negeri pertiwi
Margareth menggeleng. Raut kecewa terpatri di wajahnya ketika mendengar senandung Sahara.
Tidakkah merasa percuma?
Semakin engkau menggapai bayangnya
Semakin jauh ia berada
Hanya nihil yang kautemu
Sahara beringsut dari ayaman rotan sederhana yang dijadikan sampar untuk duduk. Berpaling menatap cakrawala nun jauh, seolah melihat sosok sang papa pada satu bintang penuh gemerlap itu.
Daku ingin diyakinkan oleh Papa
Sebab kuletih mendengar cacian dan makian
'Tak ingin dirundung mereka
Atas perbedaan yang kentara
Atas jiwa yang terluka
Kali ini, Sahara merebahkan tubuhnya di hamparan ilalang ketika melihat serdadu perang masih bertarung dengan bengis. Sebab rambut londonya cukup menyita perhatian di antara bingkai malam.
Jangan risau, Sahara
Papamu 'tlah berjuang
'Tuk memerdekakan kami
Jika ingin menjumpainya
Cukup ingat pintaku ....
Ia berada di hatimu
Jiwanya mengalir di darahmu
Karakternya laik dirimu
Bahkan jika engkau tersenyum
Itulah senyumnya
Margareth beralih menatap dalam Sahara untuk mencoba menyakinkan. Dia hendak membalas senandung itu, tetapi Margareth lebih dulu membungkam mulutnya dengan jari telunjuk, seolah menahan untuk bersenandung lagi.
Maka tersenyumlah
Selalu tersenyum ....
Itulah harapan kami
Senyum Sahara merekah ketika ketakutan dalam dirinya berubah menjadi kehangatan. Setiap ritme senandung itu membentuk nada-nada dalam serangkaian melodi indah. Menyelusup gendang telinga, membangkitkan kesadaran dalam jiwa yang mati.
Sahara terkesiap ketika melihat tentara Jepang bangkit dari pembaringan terakhir. Berbagai pertanyaan mengusik benaknya. Mulai dari keberpihakan Margareth kepada musuh, serta ... rahasia di balik senandung yang memiliki keajaiban.
Sejak kejadian itu, Sahara tidak pernah mendengar Margareth bersenandung. Hari-hari berlalu, bersama kematian silih berganti. Terlebih Benteng Jereweh telah direnggut oleh Jepang. Invasi militer yang menjadikan Seran lahan utama pertempuran mengejar hingga kemari.
Sementara Bala Cucu berlindung di balik Benteng Taliwang. Beberapa di antaranya kalah tempur karena fasilitas yang tidak memadai. Alhasil, mudah untuk diratakan oleh tentara Jepang hanya dengan tembakan.
Melihat kematian saudaranya di medan perang, Bala Cucu takterima. Mereka menunjukkan kebolehan bertarung mengepung tentara musuh, dengan hanya mengandalkan bambu runcing dan lembing. Dalam sekejap mata, medan perang sudah berlumur darah.
Setelah bertarung dalam kurun waktu panjang, kedua belah pihak melakukan gencatan senjata. Barulah rakyat pribumi berani keluar dari persembunyian. Sahara ikut bersama yang lain untuk merasakan embusan udara segar dengan menanjaki perbukitan.
Tehampar indah negeri pertiwi nan hijau. Dari atas sana tampak sosok siluet kian mendekat. Ia menarik tali kekang kuda makin kuat. Tangannya yang lain membunyikan kelontong. Meski tidak begitu keras, tetapi cukup membuat rakyat berkumpul.
Mekal Tana yang bertugas untuk menjaga desa tetap aman itu pun berkata dengan napas terengah, "Para handai taulan ... mulai ano sak kita akan meninggalkan Benteng Taliwang!"
"Ka beka harus tu bilen benteng?"
"Ada apa gerangan, wahai Mekal Tana?"
Itulah pertanyaan yang mebajiri, membuat Mekal Tana mempertegas pemaparan, "Kemutar Telu sudah ditaklukkan oleh Belanda. Percikan itu terjadi karena daya tempur Jepang melemah, saat kepala militernya membelot ke Nusantara."
Para rakyat kalut bukan main. Tidak ada yang menduga akan berada di situasi ini, setelah Belanda tidak bersekutu lagi dengan Jepang dan memadamkan apinya. Mereka menjadi skeptis kepada Margareth yang notabene seorang londo.
Akan tetapi, marabahaya yang datang tak membuat mereka mendebat. Dari balik ufuk barat, seorang Mekal Tana lain tiba bersama kuda-kuda perang dan cidomo, bertujuan untuk mengajak rakyat mengungsi.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top