5. Selubung & Sembunyi

Irawati tidak pernah merasa sangat membenci seseorang sebelumnya.

Tentu dia pernah membenci kaum Londo, tapi dari kaumnya sendiri, padahal orang itu sama sekali bukan pengkhianat? Baru kali ini.

Mungkin membenci bukan kata yang tepat. Itu kata yang hanya ditujukan kepada musuh-musuhmu, tapi jengkel pun tidak cukup untuk menggambarkan apa yang ia rasakan saat ini.

Di perjalanan kembali ke markas, Irawati tidak berhenti mengetuk-ngetukkan jari ke atas paha dengan jengkel. Di dalam delman yang mereka sewa, suara ketukan jari Irawati menjadi suara kedua yang paling keras setelah suara tapak kuda di depan kusir. Jika tidak dihitung dengan semua suara kebisingan di sekitaran delman yang terbuka.

Tidak pernah seumur hidup Irawati bertemu perempuan semenjengkelkan Anjani. Memang sifat menjengkelkan wanita itu tidak melanggar batas-batas manusiawi mana pun, tapi berbicara bersamanya, menyaksikan setiap tingkah tidak masuk akalnya, sambil harus berada di satu ruangan yang sama dengannya ternyata membutuhkan kesabaran ekstra, sesuatu yang tidak diperingatkan oleh Simmo saat mereka bertransaksi kemarin.

Rasanya seperti berurusan dengan anggota keluarga paling menjengkelkan yang tidak ada seorang pun lagi di keluarga yang ingin merawatnya kecuali Irawati.

Rasanya kesabaran Irawati hanya tinggal satu teguk.

"Aku tidak butuh bantuan kalian," Irawati mengingat kata-kata Anjani sebelum mereka pergi dari Motel kelas tiga yang ditempati wanita itu. "Manusia seperti kalian hanya akan jadi beban. Jadi daripada merepotkanku, urusi saja perjuangan yang kalian bangga-banggakan tapi tidak pernah berhasil itu."

Irawati bahkan masih bisa mengingat aroma apak dari keringat dan entah aroma aneh apa lagi yang tersisa dari kejadian-kejadian yang pernah dialami kamar itu sementara pemiliknya mengusir dirinya dan Markandra dengan lagak sok terhormat.

Aroma, kebersihan, dan penampilan Anjani sama sekali tidak menujukkan sisi anggun seorang wanita sama sekali, Irawati menyadari. Setiap kali Irawati mengingat betapa berantakannya kamar wanita itu, terlepas dari betapa rapih celana panjang biru, kemeja putih, dan jas biru panjang yang menempel di tubuh Anjani.

Penampilan seperti lelaki dan kamar berantakan, Irawati berpikir. Apa mungkin Anjani mencoba menjadi laki-laki?

Wanita itu lalu menunduk melihat celana yang menempel di kakinya dan kemeja putih yang ia kenakan, ia sadar bahwa dari segi penampilan, dirinya tidak jauh berbeda dari Anjani.

Ah, tidak. Tidak benar. Irawati menggelengkan kepalanya kuat-kuat. Aku dan dia berbeda. Aku memakai pakaian ini untuk melindungi diri, bukan dia yang memakainya karena tidak bisa mengurus diri sendiri!

Demi Gusti Pangeran, jika tidak ada Markandra yang berulang kali menenangkan, Irawati sudah akan menyambar Anjani dan menjambak rambut hitam wanita itu.

"Neng masih memikirkannya?" Di sebelah Irawati, Markandra menegur. Senyum menyinari wajah pemuda Sunda itu. Senyuman itu melelehkan sedikit bara yang menggerogoti Irawati.

"Tentu saja, Kang," Irawati menjawab dengan bahasa Sunda yang sama. "Apa Akang tidak merasa kesal? Dia jelas sekali sedang mempermainkan kita, Akang, dan dia sudah menang!"

Markandra mengeluarkan ekspresi bingung. "Akang akui, dia ... memang perempuan yang ... sulit." Pria itu mengakui, tapi jeda sejenak di kalimatnya membuat Irawati melirik curiga ke arahnya.

"Kenapa? Akang tertarik padanya?" Irawati menyipitkan mata. "Pada wanita seperti itu?"

Markandra hanya tersenyum kikuk. Mata lelaki itu berpindah ke arah kerumunan di jalanan Jayagiri, lari dari pandangan Irawati. "Dia jelas sekali berpengalaman."

Irawati semakin jengkel saja. Dia bersumpah dalam hati tidak akan mampir ke kamar terkutuk itu lagi atau menjumpai perempuan itu di mana pun. Jika saja mereka bertemu, ia akan menghindarinya. Mengambil jalan memutar kalau perlu.

"Ya. Tentu saja." Irawati mendengkus jengkel. "Akang belum pikun kan? Di profilnya jelas tercantum kalau wanita itu pekerjaan utamanya jadi penghibur."

Irawati meradang jika ingat profil Anjani yang dirinya dan Markandra minta dari Von Simmo saat menyampaikan permintaan ini. Salah mereka juga membawa-bawa hutang budi, tapi Damien adalah Siluman. Tidak ada Manusia di Mandala yang bersedia membahayakan nyawa mereka untuk Siluman. Dan hampir tidak ada Siluman yang mau ke Madyapada, sekalipun itu untuk menyelamatkan sesama Siluman.

"Katakan saja padanya teman kalian ini terkait dengan Batavia, Anjani pasti akan membantu," Irawati mengingat kata-kata Von Simmo saat dia meragukan profil Anjani yang lebih berisi pengalamannya berbagi ranjang daripada pengalaman misi dan prestasinya. "Jangan khawatir. Profilnya sengaja dirusak oleh Anjani sendiri. Aslinya, dia cukup bisa diandalkan. Aku merekomendasikan dia ke kalian bukan tanpa alasan."

Tapi untuk berjaga-jaga, Simmo mengutus seorang pemuda Septian bersama mereka yang bertugas sebagai Penghubung. Irawati tidak tahu maksudnya Penghubung itu artinya mengancam masalah gaji kepada Anjani. Sebagai jaminan agar Anjani tidak menolak, jika bujukan Batavia juga tidak mempan pada wanita itu. Terbukti, dugaan mereka tepat dan usaha pecegahan mereka terbukti efektif.

Irawati hanya tidak menyangka Anjani jauh lebih buruk dari profil yang ia baca.

"Dia wanita murahan yang sangat agresif," Irawati menggerutu, lalu memelototi Markandra. "Neng tidak suka dia dekat-dekat dengan Akang."

Markandra tertawa kikuk lagi.

"Jangan cuma ketawa, Kang," Irawati memprotes. "Neng serius. Lain kali dia begitu, lawan. Atau Akang mau istri lagi ya? Sudah siap cari istri baru, enya? Tapi, Akang ulah cari perempuan macam itu, Kang! Cari wanita lain yang sejalan sama kita kan banyak!"

"Ya, ya, maaf, Akang kaget sekali tadi, makanya tidak sempat melawan. Lain kali Akang akan menjauh," Markandra meminta maaf. "Tapi ... apa Neng tidak merasa aneh?"

"Aneh kenapa?" Irawati mulai kesal karena suaminya terus membahas Anjani.

"Anjani memakai pakaian laki-laki," Markandra menatap Irawati dengan tatapan bingung. "Padahal pekerjaannya menghibur laki-laki. Bukankah lebih ... wajar jika ia memakai baju yang menggoda?"

Irawati tambah jengkel saja. "Oh, jadi menurut Akang, gayanya kurang menggoda dan bajunya seharusnya juga sama menggodanya?'

"Bukan itu, Neng." Markandra berusaha menenangkan Irawati. Ia mencoba menyentuh wajah istrinya, tapi Irawati mengelak. Ia tidak mau disentuh dulu. "Dia hanya terlihat aneh saja."

"Dia memang perempuan aneh!" Irawati membalas dengan berapi-api. "Mas baru sadar sekarang?"

Markandra diam kali ini. Tidak menjawab apa pun selain manggut-manggut saja. Takut istrinya marah-marah lagi.

"Dia mungkin berpakaian laki-laki supaya Mas tidak begitu curiga." Irawati menambahkan prasangkanya sendiri dengan semangat. "Lihat saja kamarnya! Mungkin dia tidak berpakaian seperti wanita karena tahu pakaiannya hidupnya tidak mencerminkan sikap wanita terhormat sama sekali!"

Irawati membenarkan jawabannya sendiri dalam hati. Pasti karena Anjani bukan wanita terhormat, dia merasa tidak perlu merapihkan kamarnya sendiri.

Wanita yang benar-benar tidak boleh didekati.

"Kalau begitu, pemuda bernama Septian itu hebat juga ya?" Irawati menggeram jengkel. Tapi kelihatannya geraman itu tidak cukup keras sehingga suaminya malah meneruskan. "Maksud Akang, dia kok bisa tahan dengan perempuan seperti Anja—

"Mas, tolonglah," Irawati menukas, meremas baju suaminya. "Tolong berhenti bahas dia. Saya tidak mau dengar bahasan apa pun soal perempuan itu sekarang."

Sadar sudah kelewat batas, Markandra pun mengunci mulutnya. Irawati mendengkus melihat suaminya akhirnya menurut. Markandra membujuknya dengan merangkul pundaknya. Kali ini Irawati tidak menolak sentuhan itu. Wanita itu menenangkan diri dengan bersandar di dada suaminya.

"Damien pasti akan bebas...." Markandra memberanikan diri untuk bicara lagi, membisikkan kata-kata penyemangat. "Dan dia akan kembali dengan selamat. Semua ini tidak akan sia-sia."

Irawati mengangguk, berharap kata-kata penghibur dari suaminya tidak akan berakhir menjadi sekadar kata tanpa makna.

Delman yang mereka tumpangi berhenti di depan pintu air Sungai Bhagasasi sebelah utara. Markandra dan Irawati turun dan melanjutkan perjalanan dengan jalan kaki.

Seluruh bangunan berkilau dalam cahaya jingga. Pantulan sinar matahari yang yang jatuh di atas permukaan sungai Bhagasasi memantul ke atas tembok-tembok rumah berdinding batu bata solid yang berjejer di tepian sungai. Tidak seperti di Serang, rumah-rumah di Jayagiri sudah dibandung dengan batu dan bukan lagi kayu bambu.

Markandra membuka jam saku dan Irawati melirik. Sudah setengah enam sore. Matahari sebentar lagi akan terbenam. Tapi tepian Sungai Bhagasasi masih penuh oleh para wanita yang mencuci baju-baju mereka dan anak-anak yang bermain di tepi sungai dalam pengawasan para orang tua.

Berdua, Markandra dan Irawati meniti jalan batu di bawah kaki mereka. Kali pertama menginjakkan kaki ke Jayagiri mereka merasakan keanehan saat menginjak tanah yang tertutup batu. Tidak selunak tanah. Untuk kali pertama seumur hidup, mereka tidak merasa menyatu dengan tanah dan rasanya sedikit janggal. Tapi sekarang mereka sudah terbiasa.

Suami istri itu berbelok memasuki gang yang terbentuk di antara dua rumah yang tidak menyatu. Orang-orang yang mereka jumpai memberikan senyum kepada mereka, sementara yang lain menundukkan kepala sambil sesekali melirik penuh curiga. Irawati membalas senyum mereka yang menyapanya satu per satu, sambil berusaha bersikap sewajarnya, seolah mereka berdua adalah bagian dari warga setempat. Seolah mereka benar-benar tinggal di sana.

Sambil menjaga agar mereka tidak berjalan terlalu cepat, pasangan suami istri itu berbelok ke sebelah kiri, menuju gang yang lebih sempit dan sepi. Cahaya matahari tidak bisa menembus ke dalam gang ini, menjadikan bangunan-bangunan yang sebelumnya bermandikan cahaya jingga, mengeluarkan warna mereka yang sebenarnya: kelam, kelabu, dan muram.

Tidak ada kesan bahagia yang menguar dari semua bangunan yang tampak sama itu. Pusat kota mungkin berwarna dan beraneka ragam dengan bangunan yang berbeda untuk setiap pemilik, tapi di bagian Jayagiri yang ini, semua bangunan disama ratakan, tinggi, besar, maupun warnanya. Seolah semua orang yang tinggal di dalam sini memiliki jumlah keuarga yang sama dan berasal dari rumpun yang sama.

Irawati dan Markandra berbelok ke kanan lagi, memasuki gang yang sedikit lebih sempit lagi. Dari balik salah satu celah antara bangunan rumah, Irawati melihat tembok kecil dibangun di antara celah rumah. Membatasi dan mengkotak-kotakkan semua masyarakat. Sekarang mereka ada di kampung Jawa. Semua orang tersenyum pada Irawati karena melihat wajahnya yang benar-benar Jawa. Jika dia berwajah Indo, pastilah sambutannya tidak akan seramah itu. Lewat penampilan yang tidak biasa ini saja, orang-orang sudah menghadiahinya tatapan tak menyenangkan.

Di satu tembok kelabu, mereka berhenti. Markandra mengetuk tembok batu itu tiga kali. Dan barisan batu dari tembok di hadapan mereka membuka dalam bunyi yang halus.

Kegelapan yang cukup pekat menanti mereka di balik tembok, tapi suami istri itu tetap masuk tanpa ragu. Bunyi tuas didorong terdengar di belakang mereka dan pintu tembok pun kembali tertutup.

Lampu menyala di atas kepala.

***

Lusinan wajah yang tidak ramah menyambut suami istri itu dalam keremangan lampu minyak kuno. Mereka bersikukuh tidak menggunakan listrik bertenaga Rakta yang disinyalir selalu membuat para automaton mampu mendeteksi markas ini. Akibatnya, ruangan itu pengap karena sempitnya saluran udara, gas pembuangan dari lampu-lampu minyak, dan banyaknya orang yang berkumpul dalam keadaan yang kurang bersih.

Wajah-wajah yang menyapu penampilan Irawati dan Markandra jauh dari kesan ramah. Garis-garis keras penuh parut dan bekas luka dalam berbagai ukuran dan bentuk mewarnai wajah-wajah dan lusinan mata penuh luka yang seolah sudah lelah dengan hidup ini. Pria dengan bekas luka sobek di wajah menatap Irawati dengan jengkel, sementara wanita dengan luka bakar di leher yang berdiri di sebelahnya menyikut pria berparut itu. Memelototinya.

Beruntung saat memasuki ruangan, Irawati sudah melepaskan pegangan dari Markandra. Ia akan jadi bahan olok-olok jika menunjukkan kasih sayang dengan suaminy. Itu adalah kelemahan dan kelemahan itu bisa dimanfaatkan.

"Urusan kalian sudah selesai?"

Pria paling depan yang berbadan paling besar menegur mereka. Sebelah wajah pria itu meleleh tanpa pernah pulih kembali sementara di lehernya ada bekas luka cambuk yang tampak seperti ular telah bersarang di balik gumpalan daging yang tumbuh tidak wajar itu. Meski Rakta bisa mengembalikan sedikit jaringan kulitnya yang mengerikan, pria itu menolaknya mentah-mentah.

"Sudah," Markandra menjawab dalam bahasa Melayu. "Serikat Jayagiri berjanji dalam waktu maksimal satu minggu, Damien akan bebas dari Madyapada."

"Oh, mereka bisa, rupanya? Luar biasa." Pria dengan luka parut itu bicara kepada mereka. "Siapa yang berani menyelamatkan Siluman itu dari dunia para Bhuta? Ah, biar kutebak, sesama Siluman juga? Siluman apa dia? Kera? Harimau?"

Markandra menyipitkan mata. "Kamu terdengar seperti para Londo yang hobi mengkotak-kotakkan orang."

Pria itu mengangkat bahu dengan tak acuh. "Bukan cuma Londo yang hobi mengkotak-kotakkan orang. Benar, kan?"

Markandra mengernyit dan Irawati bisa merasakan kemarahan suaminya naik.

"Ah, dan apa kamu sudah melihat demonstrasi mereka, Markandra?" Pria itu memprovokasi lagi. "Kamu melihat mereka membawa sesuatu dari Madyapada dan kembali dengan selamat?"

"Aku percaya mereka." Markandra menegaskan.

"Percaya ... dengan Lintah Darat...." Pria itu tertawa sinis. Tangannya turun ke gagang parang yang ada di pinggang. "Aku harap uang hasil darah dan keringat kami tidak terbuang sia-sia, Markandra, atau...."

"Jamal, hentikan itu," Pria di depan Markandra menegur. "Kita tidak seperti para Londo, ingat?"

Jamal hanya mencibir. Jelas tidak setuju, tapi tidak berani mengangkat masalah itu sekali lagi.

"Tapi itu tidak berarti satu masalah selesai," Seseorang di belakang Markandra mengimbuhi. "Dia masih punya beberapa masalah di sini, ingat?"

"Serikat Jayagiri akan mencoba membantu untuk membuktikan Damien tidak bersalah," Markandra membela.

"Serikat Pemburu hadiah membantu untuk kehilangan satu hadiah mereka?" Seseorang dari sebelah kanan berbicara. Seorang wanita. Ia maju ke dalam lingkup cahaya. Kain jarik penutup kakinya sedikit tersibak ketika ia berjalan agak cepat. "Apa kalian yakin tidak sedang ditipu?"

"Kami menagih hutang budi Von Simmo."

"Simmo...." Nama itu keluar bagai bisa ular dari bibir sang wanita paruh baya. "Seolah dia tidak bisa berbohong saja."

"Kita akan siap jika dia berbohong." Pria di depan Markandra menyanggah.

"Kamu selalu saja berpikir terlalu lurus, Janata," Wanita itu menegur dan sang pria pun menunduk diam. "Jadi apa kita bisa anggap masalah keluarga kalian ini sudah selesai?"

Irawati dan Markandra bertukar pandang. Menyusun kesepakatan tanpa suara. Mereka berdua mengangguk pelan, meski keraguan menggelayuti mata mereka masing-masing.

"Untuk saat ini," Markandra menambahkan, tidak mau harapan teman-temannya melambung lebih jauh.

Kata-kata penuh kemungkinan darinya bergema dalam nada mencibir yang tajam di sekeliling Markandra dan Irawati. Suami istri itu menerima semuanya dengan berbesar hati. Mereka sudah siap menerima risiko ini sejak awal meminta Damien diselamatkan.

"Baiklah, kalau begitu untuk saat ini, kita bisa fokus ke misi yang lebih utama," Wanita tua itu berkata lagi, menekankan kata meragukan yang sama yang dijanjikan Markandra. "Kalian setuju kan?"

Markandra dan Irawati mengangguk.

"Setuju."

Markandra mengangguk tanpa keraguan, tapi Irawati masih menyimpan sedikit kegamangan dalam dada. Mulai saat ini dan beberapa lama, mereka harus melupakan masalah Damien yang terperangkap di Madyapada. Mereka harus seolah lupa anggota keluarga mereka terjebak di dunia tempatnya kemungkinan kecil sekali akan selamat.

Irawati memerhatikan ketika wanita paruh baya di depan mereka mengangguk puas. Sepertinya keraguan Irawati tidak tercium.

Wanita itu lantas melirik Janata. "Berikan mereka informasi terbaru."

Gelontoran informasi mengalir ke hadapan mereka. Pemberontakan yang berjalan, Bandung, Sukabumi, gudang senjata yang harus dibumi hanguskan, gudang pembuatan Rakta yang harus dibakar, dan para tahanan yang harus dibebaskan. Begitu banyak misi dan agenda, tapi begitu sedikit yang masuk ke kepala Irawati.

Wanita itu sibuk memikirkan kenangan yang telah lalu, trauma lain yang meninggalkan jejak gelap dalam hatinya yang tidak kalah kelam dari jejak yang telah ditinggalkan para Penjajah dalam darah dan tubuhnya.

Ketika untuk pertama kalinya, ia sadar, Manusia adalah makhluk tidak berdaya yang terkurung dalam sangkar damai bernama Marcapada.

***

-

A/N:

Saya harap kalian sudah bisa menebak di manakah kiranya Jayagiri terletak. Sungai Bhagasasi adalah nama lain dari kota yang menjadi tetangga Jakarta sampai sekarang lho. Hahaha. Saya jadikan kota itu sebagai latar kali ini. 
Dan apakah ibukota setelah batavia hancur? Nanti akan saya terangkat lebih lanjut. 

Silakan vote dan komen. Jangan lupa share cerita ini jika kamu menganggap cerita ini layak lebih dikenal. 

Sampai jumpa di chapter berikutnya!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top