3. Petunjuk & Peringatan

Anjani tersenyum puas saat dua orang di hadapannya pucat pasi.

Septian menjadi pendengar yang baik. Sedari tadi ia hanya diam. Kelihatannya ia ada di sini untuk memastikan percakapan ini direkam dan tidak berujung maut. Dan Anjani terpaksa membenarkannya. Kalau tidak ada Septian, jelas maut yang akan menjadi akhir pembicaraan ini.

"Diamnya kalian aku anggap artinya, ya," Anjani memutuskan sepihak, kemudian ia melirik Septian. "Sekarang pertanyaanku adalah, apa Simmo mengetahui detail kecil ini?"

Sadar kali ini gilirannya menjawab, Septian pun mendebas. Ia menghela napas dengan berat.

"Ya," Septian menjawab dengan wajah berat hati. "Bos mengetahuinya dan sudah setuju."

Anjani menggumam. "Tumben sekali. Biasanya dia tidak terlalu senang berurusan dengan Siluman."

Mendengar kata 'Siluman', dua orang itu langsung mengerutkan kening.

"A-Anda tahu?" Irawati pucat pasi secara tiba-tiba.

"Itu kesimpulan yang mudah," Anjani mengedikkan bahu. "Jika dia Manusia, kalian tidak akan repot-repot datang ke mari. Manusia yang datang ke Madyapada sudah pasti mati. Kecuali kalian ingin membawa mayatnya pulang."

Kata-kata itu membuat Irawati bertambah ngeri. Markandra mendelik tidak senang ke arah Anjani, tapi wanita itu terang-terangan mengabaikan Markandra.

"Karena itulah, kalian pasti ingin menyelamatkan Siluman," Anjani menyimpulkan dan menarik tangan kanannya ke udara. "Dan itu juga jadi alasna yang bagus kenapa kalian tidak mengernyit jijik melihat tangan siluman ini."

Namun reaksi keduanya tidak seperti dugaan Anjani. Mereka masih menyimpan rasa jijik dan takut. Reaksi yang lucu di mata Anjani. Mereka terlihat begitu hati-hati pada Anjani, tapi ingin membebaskan seorang Siluman. Pikiran Anjani bisa menyimpulkan ke arah mana penyelamatan ini. Meski demikian, penyelamatan ini masih tidak masuk akal jika hanya untuk mengembalikan aset.

Mungkin mereka hanya ingin berhati-hati saja kepada orang asing, Anjani akhirnya menyimpulkan.

"Itu juga jadi alasan kenapa aku yang dipilih," Anjani mengedikkan bahu. "Siapa yang lebih baik untuk menyelamatkan Siluman selain sesamanya, kan?"

Setelah aku berkata demikian, Irawati seperti hendak bicara sesuatu lagi, tapi mengurungkan niatnya.

"Sekarang, kalau kalian tidak keberatan," Anjani mengulurkan tangan kanannya dengan malas, melambai-lambaikannya di udara dan meminta Markandra mendekat. "Aku mau tahu misi nekat macam apa yang sudah diberikan kepadaku."

Septian mengangguk ke arah pria itu, seakan mengkonfirmasi bahwa Anjani aman. Tangan kanannya aman.

Anjani meraih amplop itu dengan tidak sabar. Ia langsung menyobek amplop, menarik selembar peta yang dilingkari, rute dan rencana, serta sekumpulan data diri lengkap dengan foto muka dari tahanan yang akan mereka selamatkan, tersemat menjadi satu berkas. Anjani bersiul saat melihat pria di dalam foto berwarna itu.

Wajahnya bukanlah wajah pribumi. Meski kulit wajahnya coklat seperti orang Jawa, wajahnya dilukis dalam nuansa Eropa. Alis matanya tajam menukik hingga walaupun ekspresinya santai, ia terlihat cemberut di dalam foto. BIbirnya ranum dan penuh, cocok untuk dicium sepanjang malam. Rahangnya tajam dan membingkai wajah sang pria dalam bentul oval sempurna. Rambutnya pirang, nyaris putih dan perpaduan kontras antara kulit coklat dan rambut pirangnya yang berbeda memberikan tampilan aneh yang tidak Dan matanya, jangan lupakan sepasang mata coklat-kemerahan yang serupa darah kering itu.

Eksotis: tampan dan memesona, pikir Anjani, sembari membayangkan pria itu dengan kemeja dan mantel lengkap, tapi ia lucuti satu per satu.

Organ siluman tidak ada di wajahnya, kecuali seguras garis merah di bawah mata yang ia yakin bukan sapuan riasan.

Tidak ada di wajah, artinya ada di bagian tubuh lain. Anjani menyeringai. Mendadak saja ia haus.

Berani taruhan kencan satu malam, ia pasti sangat seksi.

Ah, Anjani tanpa sadar menjilat bibir. Bahkan namanya saja sangat enak diucapkan di lidah.

Damien.

"Kalian punya anggota yang unggul," Anjani melirik ke arah Markandra. "Jika kau tahu maksudku."

Pria itu bergerak tak nyaman dan beringsut mundur, mendekat ke arah Irawati. Kecewa, Anjani kembali fokus pada laporan di tangan.

Sesuai dugaan Anjani, pria itu memang seorang Sinyo. Ibunya dari Andalusia sementara ayahnya seorang pria Jawa.

Tetapi sedetik kemudian, Anjani mengernyit saat melihat catatan di bawah data diri. Pria itu rupanya sudah pernah tertangkap di pernjara Marcapada atas tuduhan pemberontakan terhadap pemerintah, lebih dari satu kali. Ia menentang perintah geledah petugas lebih dari dua kali. Ada juga tuduhan atas pencurina lumbung Pemerintah satu kali. Semua penangkapan pria itu memang dilakukan oleh polisi tapi statusnya di Batavia sendiri dalam buronan Marsose.

"Kalian bilang dia bukan pemberontak," Anjani berniat mengoreksi beberapa hal.

"Memang bukan." Irawati bersikukuh.

"Tapi dia dalam incaran Marsose."

"Dia terlalu banyak berulah," Markandra menimpali. "Dia...." Ada keraguan dalam nada bicaranya. Anjani melirik pria itu, melihat dirinya seakan bimbang akan memberitahukan informasi di dalam lisannya ini ataukah tetap menjaganya. "Dia Simpatisan."

"Satu lagi info yang berguna," Anjani mencebik. "Kalian yakin punya bayaran yang cukup untuk ini?"

"Kami punya." Dan kali ini Markandra tidak ragu.

Anjani hanya bisa berharap bayaran itu tidak datang dari kas-kas perkebunan tebu. Itu akan sangat merepotkan.

Anjani kembali meneliti berkas itu, melihat uraian dalam bahasa Londo dan Melayu. Pembelaan dari semua yang telah dituduhkan kepadanya. Dilengkapi foto dan bukti disertai pembuktian forensik yang menekankan bahwa pria dalam foto tidak melakukan kejahatan yang dituduhkan kepadanya di lembar sebelumnya. Sayangnya, laporan forensic itu ditulis oleh Dokter Jawa. Tidak akan begitu berarti di hadapan para Londo.

Kontradiktif.

Tapi Anjani tidak banyak memikirkannya. Kontradiksi penyelidikan Marsose bukanlah urusannya. Yang penting, berkas untuk membelanya di persidangan Marcapada sudah lengkap. Jadi Anjani punya pembelaan jika semua ini jadi merepotkan pada akhirnya, sekaligus alasan pelengkap yang membuat Anjani tidak bisa melawan perintah.

Anjani sudah siap untuk menutup berkas laporan yang membosankan itu, ketika jemarinya membalik lembar berikutnya dan langsung membelalak.

Lembar berikutnya bukanlah lembar penahanan seperti sebelumnya. Ia lebih seperti sebelumnya. Lembar terakhir dari berkas itu adalah sebuah artikel. Potongan koran yang tadi ia baca.

DAYUH GIRAH DIE BATAVIA! BUITENZORG SELANDJOETNJA?!

"Kami tidak begitu mengerti," Markandra bercerita tanpa diminta. Sepertinya perubahan ekspresi Anjani begitu terlihat. "Mereka ... makhluk-makhluk itu meringkusnya di suatu malam tanpa bilang apa-apa. Kecuali satu orang."

"Bahasanya aneh," Irawati menimpali dan Anjani bisa mendengar getar ketakutan dalam suaranya. "Dia berbahasa Jawa tapi ada sesuatu yang ... aku tidak tahu—

"Apa yang ia katakan?"

Suara Anjani terdengar berbeda saat menanyakannya. Seakan hanya jawaban yang penting. Tidak ada lagi yang penting selain info yang dibutuhkannya.

"Me-mereka...." Markandra tergagap lagi. "Mereka bilang, Damien terlibat dalam penghancuran Batavia. Mereka bilang, Damien adalah kaki tangan penjahat ... bernama ... Dayuh....."

Tidak ada kata-kata lagi. Tidak perlu. Anjani sudah mendapatkan jawabannya. Di sebelah potongan artikel itu, tertempel foto Batavia yang diambil dari sudut pandang lain. Jelas bukan foto yang seenaknya diguntung dari surat kabar. Itu foto asli.

"Kami diminta Simmo mengumpulkan bukti sebanyak mungkin kalau Damien tidak bersalah, jadi kami mengumpulkannya," Irawati menambahkan. "Termasuk mengumpulkan besi aneh dengan pemuda ini menemani kami."

Anjani menyeringai. "Dan beruntunglah kalian meminta bantuan Septian," ia menimpali. "Kalian tidak akan bisa menemukan ini seorang diri."

Di depan foto itu, terbungkus rapih sebuah kepingan besi. Anjani menyentuhnya. Atma merah dan biru berpadu di sepotong lempeng besi itu. Bukan batu Rakta, bukan pula sekadar besi.

Ini potongan Atma Niskala yang memadat. Hanya ada dua kelas Bhuta yang bisa memadatkan Atma-nya menjadi lempengan solid seperti ini.

Danawa atau...., Anjani membatin kemungkinan buruk. Detya.

***

Dua detik berlalu dengan kesunyian setelah Anjani membuka foto Batavia itu. Anjani menekan segala emosinya jauh ke dalam agar tidak ada yang melihat.

"Bos sialan," Anjani menyumpah serapah. Kemudian, menyadari ada dua pasang mata bingung memandangnya, Anjani pun langsung tersenyum. "Kalian beruntung. Jika ini misi biasa, dia sudah pasti tidak akan mau." Anjani melipat berkas itu dan memasukkannya kembali ke amplop. "Dia tidak suka Siluman."

"Tapi Anda siluman," Irawati menyatakan dengan cepat, seolah fakta itu belum cukup jelas.

Suasana diam kemudian. Anjani bisa mendengar Septian berdeham pelan untuk menyamarkan batuk yang sudah pasti akan ia keluarkan jika tidak ada klien. Dua pasang mata beralih ke Irawati. Markandra bahkan mendelik ke arahnya. Irawati sepertinya langsung sadar dan menundukkan kepala. Tapi tidak ada kata maaf. Tidak akan pernah ada.

"Anda benar," Anjani mengiyakan. "Tapi hubungan majikan dan bawahan itu berbeda dari kepercayaan kan?"

Irawati tidak menjawab sementara Markandra memberi Anjani wajah yang sedikit menyesal. Anjani tersenyum pada pria itu.

"Aku hanya satu dari banyak aset di Serikat ini," Anjani menjawab tak acuh. "Dan karena aku bisa membuktikan diri, Simmo tidak punya alasna untuk membuangku." Kemudian Anjani mengetuk dagunya sendiri. "Tapi permintaan kalian benar-benar berisiko. Kalian bukan berurusan dengan sembarang Bhuta. Penjara di Marcapada dijaga oleh Bhuta-Bhuta kelas atas dan apa yang kalian bawa di dalam berkas ini menjadi buktinya."

Mendengar penjelasan itu, ruangan seketika dibekap sunyi selama beberapa lama hingga suara angin dan lalu lintas Jayagiri di luar terdengar jelas. Tidak ada yang bicara, bahkan mungkin hanya Anjani yang bernapas saat itu.

"Kami mohon, Nona," Pada akhirnya, hanya permohonanlah yang bisa keluar. Markandra memandangi Anjani tanpa kesan jiijk. Bahkan pria itu meminta penuh kesopanan, tidak seperti Irawati istrinya. "Dia sudah seperti keluarga bagi kami."

Anjani hampir mendengkus. Jika ini pembicaraan pribadi, Markandra akan langsung mati di tempat karena sudah memberikan omong kosong seperti itu kepada Anjani. Membual seharusnya diberikan undang-undangnya sendiri.

"Tidak aku sangka akan mendengar kata-kata semanis itu," ujar Anjani, lalu menatap Markandra. "Dari Manusia."

Anjani merasa dirinya sedang ada di atas angin, jadi seharusnya tidak masalah jika menyombong sedikit. Wanita itu bersedekap dan mengetuk-ngetuk jarinya ke lipatan lengan, membuat hitungan stabil dalam satu menit.

"Kalian sudah mencari ke banyak tempat, aku kira?" tanya Anjani lagi. "Untuk orang yang mau menolong kalian?"

Markandra dan istrinya saling tatap sejenak, lalu Markandra mengangguk, mengambil alih peran juru bicara.

"Ya, sudah sangat banyak," ungkapnya. "Kami mencari ke sepenjuru Kademangan Serang dan tidak mendapat hasil."

Ketukan di Jari Anjani berhenti.

Serang, mereka jelas mencari jarum di tumpukan jerami. Serang dan kebijakan mereka soal Siluman itu merepotkan. Jika pun ada yang membantu mereka, tidak ada jaminan mereka akan lolos dengan selamat. Serang mungkin bukan daerah tempat Siluman dimutilasi dan diambil organ-organnya, tapi perdagangan Siluman bebas di Serang.

Beruntung Batavia sudah musnah dan tidak akan ada di peta sampai setidaknya lima dasawarsa ke depan. Daerah yang memenjarakan hak-hak Siluman berkurang satu.

"Kenapa Serang?" tanya Anjani lagi. "Kalian tahu Sri Paduka membebaskan perbudakan Siluman. Jelas jika ada tahanan, mereka akan dengan senang hati memberlakukan mereka sebagai buruk di Seram."

"Kami tahu itu!" Irawati menyahut. "Anda pikir kami tidak tahu?" Wanita itu tampak berapi-api. Markandra berusaha mencegahnya, tapi Irawati keburu dibakar eosi. "Tapi kami tidak punya banyak pilihan! Seumur hidup kami hanya mengenal Banten dan sekarang kami harus mencari ke daerah luar! Kami tidak punya cara lain selian memanfaatkan semua daya yang ada."

Anjani diam saja menerima semua ocehan itu. Dari matamya, Irawati tidak lebih dari seorang perempuan yang berusaha lepas dari kenaifan hidup terkekang oleh aturan dan adat dan berusaha berjuang. Bukan tipe gadis yang akan dibenci Anjani, tapi jelas iba bukan pula emosi yang bisa ia tunjukkan sekarang.

"Benar," Anjani mengakui dan memosisikan duduknya dengan benar. "Sebaiknya memang manfaatkan segala yang kalian punya dengan segala cara jika ingin hidup di masa sulit ini."

Anjani melirik Septian. Pemuda itu tampak tak tergugah ataupun terombang-ambing oleh percakapan ini. Wanita itu mendebas. Jika sang mediator saja tidak bisa berubah pendirian, dirinya tidak akan bisa berbuat banyak.

"Kalian yakin teman kalian ini bukan pelakunya?" Anjani akhirnya menetapkan keputusan. Menetapkan pertanyaan terakhir.

"Ya!" Markandra dan Irawati menjawab dengan semangat dan dalam waktu yang sama.

Mereka berpandangan dengan canggung, seperti pasangan yang tidak berencana untuk kompak. Markandra lantas memohon untuk bicara lebih dulu, tapi dengan kecanggungan yang tidak hilang.

"Apa...." Ia memberanikan diri bertanya lagi. "Apa bukti yang kami kumpulkan itu benar-benar bisa membebaskan dia?"

Tidak ada jawaban dari mulut Anjani. Wanita itu sibuk berpikir, menimbang risiko, rute, dan konsekuensi yang harus ia tanggung. Misi ini bukan sekadar misi pembebasan biasa. Kesulitannya terlalu tinggi. Tapi bukan berarti dia tidak akan mendapat keuntungan dari semua ini juga.

Anjani melirik Septian. "Bayarannya?"

Seperti kerja sama mereka sebelumnya, Septian menyerahkan sebuah kantung kulit. Anjani menerima kantung kulit itu dan memeriksa isinya. Sepuluh batang emas.

"Itu baru komisi," Septian menerangkan. "Bayarannya akan menyusul setelah misi ini selesai."

Bahkan dengan semua kemilau dan berat emas di tangan, senyum tidak pernah lagi muncul di bibir Anjani. "Kalau aku tidak bisa mendapatkan lima ratus botol Whisky untuk misi ini, aku akan mendatangi langsung Simmo."

"A-anu...." Anjani mendongak dari emas-emasnya. Di hadapannya Markandra sudah angkat bicara lagi walau pria itu tampak ragu. "Kau mau mengeluarkan teman kami dari Penjara kan?"

Anjani memberi senyum jengkel kepada pria itu. Haruskah ia menerangkan dengan sejelas-jelasnya, baru mereka mengerti? Tapi kemudian Anjani sadar, mungkin Septian sedang merekam semua pembicaraan ini sebagai bukti.

"Ya." Anjani mengakui tanpa gurauan, lalu memasukkan kantung itu ke balik kemejanya.

"Dia bisa keluar?" Sekarang Irawati bertanya penuh harap. "Bukti dari kami cukup?"

Anjani bertopang dagu. "Aku mungkin perlu ke bekas Batavia untuk mencari bukti tambahan, sekadar berjaga-jaga." Dan berjaga-jaga dalam kamus Anjani tidak pernah seremeh kedengarannya.

"Akan kami bantu!" Markandra menyahut dengan semangat. Anjani mengangkat sebelah alis. Bukankah dia tadi bilang mereka belum pernah keluar Serang seumur hidup? "Walaupun kami tidak tahu banyak soal Batavia, kami akan mencoba membantu sebaik mungkin."

Anjani tidak menanggapi janji yang kedengaran terlau manis itu. Wanita itu dalam diam memandangi sepasang Manusia di hadapannya dan melihat kemilau harapan di mata mereka ketika saling bertukar pandang. Kemilau pandangan yang menjijikkan. Ia lantas bertopang dagu. Menjelaskan kepada wanita tidak pernah mudah. Wanita ini mungkin lebih berpendidikan daripada saudari-saudarinya yang lain di negeri ini, tapi jelas ia tidak begitu pintar.

"Maaf mengganggu kesenangan kalian...." Anjani mengakhiri euphoria sepasang suami istri itu untuk menghajar mereka kembali ke kenyataan yang pahit. "Tapi aku harus memberikan peringatan."

Dua orang itu terdiam. Mereka bertukar pandang dalam bingung sebelum kembali menatap ke arah Anjani.

"Peringatan soal apa?" Markandra bertanya.

Ya, Anjani membatin, merasa pertanyaannya akan awan mendung sebelumnya telah terjawab. Berlawanan dengan batinnya yang muram, wanita itu tersenyum. Ini tidak akan berakhir menyenangkan.

"Jika rekan kalian ini benar-benar difitnah...." Anjani mengangkat berkas itu. "Siapa pun yang sanggup memfitnah seseorang, pastinya ia punya ambisi yang besar untuk menjatuhkan korbannya."

Peringatan itu memberikan beban ekstra ke atmosfer di sekeliling mereka.

"Jadi jika pun teman kalian bisa bebas," Anjani melanjutkan. "Kalian bisa jadi hanya akan jadi target berikutnya."

***


A/N:

Saya suka bagaimana misteri terus menerus saya lempar sepanjang tiga bab awal cerita ini berjalan. Bagaimana?Apa ada yang mulai mumet? 



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top