2. Pemudi & Pencari
Wanita itu menekuri kertas di tangannya untuk terakhir kali. Ekspresinya muram. Awan gelap memayungi matanya tatkala kata demi kata dari laporan yang diterimanya masuk dicerna oleh otaknya yang kini dipenuhi emosi yang meraung minta dilepaskan membabi buta. Tapi wanita itu tahu lebih baik untuk tidak melepaskan emosinya ke sembarang tempat, jika tidak ingin ada ekor konsekuensi yang tidak enak mengikuti.
Untuk kali terakhir, ia mengamati foto yang dilampirkan di dalam berkas itu.
Sebuah teror. Sebuah berita besar yang menghantui malam-malam di seputar Jayakarta, bahkan di Jayagiri karena gaung yang keras terbawa angin.
DAYUH GIRAH DIE BATAVIA! BUITENZORG SELANDJOETNJA?!
Sebuah pekerjaan yang harus diselesaikan. Uang yang harus diambil tanpa ada pilihan.
Wanita itu menghela napas. Ia lantas menyodok masuk semua kertas itu ke dalam saku celananya dan duduk santai. Barang sejenak, ia hendak melupakan semua masalah yang ada dan mencoba bertaruh pada firasat. Sebuah peraduan nasib.
Tangannya lantas mengambil koin sebagai ganti semua berkas itu, lalu memutar koin sembari duduk di atap Motel tempatnya menginap. Mata birunya tak henti mengawasi perputaran uang koin di udara: kereta atau bunga melati.
"Uang, uang, sisi mana yang menang...." Wanita itu bernyanyi pelan ke langit lepas, ke arah koin yang berputar. "Berikan aku keberuntungan, karena aku fakir kekurangan."
Koin itu pun jatuh. Ia menangkapnya dan menaruh di punggung tangan.
Perlahan, ia membuka tangan yang menutupi koin. Wajahnya menatap penuh kecewa ke arah hasil yang dia dapatkan.
"Melati," Ia mendengkus kesal. "Ini tidak akan berakhir menyenangkan."
Tangannya yang ditutupi sarung tangan segera menjejalkan koin perak pecahan satu sen itu kembali ke saku celana, berjubel bersama dengan banyak kertas yang ia jejalkan pula ke sana.
Tiba-tiba angin berembus sangat kencang. Rambut hitam kelamnya tertiup tinggi. Helai-helai anakan yang lebih ramping bahkan terbang hingga menutupi wajah.
Wanita itu menoleh ke arah teluk Jayagiri yang membentang luas di balik lusinan baris rumah. Kapal-kapal Pinisi yang berlabuh di teluk Jayagiri terparkir rapih di pelabuhan. Layar-layar kapal tradisional yang kolot mempertahankan tradisi ketika udara dipenuhi Mekara itu bergoyang-goyang diterjang ombak yang meninggi secara tiba-tiba. Layar mereka berputar ke arah sebaliknya.
"Angin...." Wanita itu bergumam sambil mengernyitkan mata ke kejauhan. "Angin berubah arah tiba-tiba."
Wanita itu lalu berdiri, membiarkan angin yang berembus kencang menerpa dirinya. Anting di telinganya berdenting seiring deru angin. Laut Jawa bergolak tidak tenang. Awan gelap perlahan datang dari ufuk barat. Ia lalu menciumi udara. Tidak ada aroma hujan.
Ia menyipitkan mata, mencoba melihat lebih jelas, tapi gagal.
Kaokan kencang terdengar di langit di atasnya. Wanita itu mendongak, melihat dua ekor Bhuta dari klan Garuda terbang dan menukik ke arah kota. Ia mendengar beberapa orang memperingatkan di bawah sana bahwa ada Bhuta menukik. Derap-derap langkah terdengar dan ia tidak perlu menunduk untuk tahu orang-orang di bawah sana menjauh dari tengah jalan raya.
"Dasar makhluk tak berotak."
Tentu saja, paruh tajam makhluk-makhluk itu membentur Pelindung Kota. Kilatan cahaya berwarna merah muncul saat paruh-paruh raksasa itu berbenturan dengan energi Rakta, tapi tidak ada yang berhasil menggores Pelindung. Bhuta-Bhuta itu memekik kaget saat sambaran listrik menghajar mereka dan langsung pergi. Kemudian para Bhuta itu melihat satu kapal Mekara terbang melintasi langit, menembus Pelindung Kota.
Cahaya dan kilatan berwarna merah mengepung tubuh kapal itu saat menembus Pelindung. Namun tidak seperti Bhuta yang bisa diusir, kappal itu tetap maju. Sambaran kilat itu pun anehnya tidak menggores atau menghanguskan badan kapal sedikit pun. Kapal itu terus melaju dengan cepat hingga akhirnya sampai ke luar Pelindung.
Dua Bhuta Garuda itu mengejar Mekara. Paruh mereka terbuka leba,r mengira akan mendapat mangsa.
Tapi meriam Tesla yang terpasang di Mekara langsung berputar ke arah mereka.
Sinar listrik merah menyambar tubuh mereka sekali lagi. Sinar menyilaukan menyala di langit selama sekejap sebelum redup kembali. Wanita itu menyipitkan mata saat cahaya menyilaukan terbang membelah langit di atas kepalanya.
Bhuta yang selamat berkaok marah dan pergi dari atas langit.
Sorak sorai terdengar di bawah Motel. Suara orang-orang, penuh sukacita dan kelegaan karena satu hari lagi kota mereka selamat.
Tapi wanita itu tidak ikut tersenyum. Matanya menyipit ke arah kapal Mekara yang menjauh itu. Guratan wajahnya sarat akan kebencian.
Tiba-tiba suara ketukan pintu terdengar di kamar di bawahnya-kamar yang ia sewa sejak semalam.
"Anjani!" Suara ketukan itu semakin kencang dan cepat. "Anjani, aku tahu kamu ada di dalam!"
Dengan jengkel, Anjani meluncur turun dari atap dan mendarat di balkon tanpa menimbulkan suara. Dengan santai ia melangkah ke dalam kamar, dan menutup jendela di belakangnya. Namun kaki-kakinya mendadak berhenti saat dinginnnya lantai tiba-tiba berubah hangat.
Ia menunduk, melihat seprai kumal yang bernoda tanah tergeletak di bawah kakinya. Terinjak.
"Ah ya...." Anjani bergumam. "Seprai minggu lalu. Aku lupa memanggil Pelayanan Kamar kemarin."
Anjani lantas mengamati seluruh ruangan, mulai dari selimut yang tersampir di tepian kasur tanpa terlipat sedikit pun, bantal yang tercampakkan di lantai, dan guling yang setengah berdiri di kepala tempat tidur dan setengah telanjang karena sarungnya melorot.
"Meh...." Wanita itu mengibaskan tangan dengan remeh.
Sambil lalu, ia dengan mudah mengabaikan berbagai kain yang terserak di kamar dan mengintip lewat kaca tamu di depan pintu kamar.
Satu wajah yang ia kenali berdiri di depan pintu. Wajah seorang pemuda berusia dua puluhan yang kelihatan jengkel seola sebelah sepatunya dicolong maling dan tidak kembali. Hari ini pemuda itu datang bersama dua wajah yang tidak ia kenali. Sepasang laki-laki dan perempuan. Sama seperti pemuda itu, keduanya tampak tidak lebih tua dari usia dua puluhan. Tapi tidak seperti sang pemuda yang beruntung lahir dengan kulit sedikit cerah, kulit mereka berdua lebih gelap.
Anjani mengernyit. Sulur-sulur merah memancar dari sepasang muda-mudi itu.
Atma merah. Sekala.
Mereka Manusia.
Di belakang pintu, Anjani terdiam sejenak. Sekali lagi mengamati sepasang Manusia itu. Kulit mereka seperti orang Jawa, tapi tampak bersih-tidak ireng seperti rakyat biasa-mata mereka juga gelap. Cir-ciri mereka mengatakan kalau mereka Pribumi, tapi kulit mereka terlalu terawat untuk Pribumi. Sang pria pun mengenakan kemeja dan celana alih-alih batik dan jarik. Artinya mereka mungkin Sinyo dan Noni. Namun pakaian sang wanita yang terdiri dari celana dan kemeja khas Londo, alih-alih baju kurung dan kaij jarik-yang sama sekali tidak selaras dengan wajah Jawa sang wanita, membuat kesimpulan lain muncul di benak Anjani.
Ia sama sekali tidak menyukai kemungkinan ini.
Anjani mendengkus jengkel. Dirinya sudah menolak pekerjaan yang ini, tapi rupanya butuh lebih dari sekadar penolakan sopan untuk sebuah pekerjaan langsung dari bos. Padahal pekerjaan ini ilegal dan melawan prinsip dasar Serikat.
Bos sialan.
Maka, saat membuka pintu, Anjani tidak repot-repot memasang senyum ramah, meski kali ini klien-nya sendiri telah datang ke depan pintunya alih-alih sebaliknya.
"Pagi, Anjani." Pemuda yang familier itu menyapanya lebih dulu, mengambil inisiatif sebagai jembatan di antara kedua belah pihak walau Anjani tidak merasa perlu penghubung sedikit pun.
Karena ketika kedua belah pihak jelas-jelas sudah mengobarkan permusuhan bahkan sebelum saling bertukar kata untuk pertama kalinya, satu saja ucapan yang terlontar dapat menjadi bom yang menghancurkan.
"Pagi, Septian," Anjani menatap sinis pemuda itu. "Senang kamu datang sepagi ini dengan tamu ke kamarku."
Septian memilih tidak menanggapi wajah masam Anjani dan langsung berdeham. Ia memberikan isyarat kepada dua orang yang ia bawa. "Mereka ini yang aku ceritakan padamu tempo hari."
Anjani merasakan dua pasang mata melotot ke arahnya, tapi ia mengabaikannya. Dari sudut mata saja, Anjani sudah tahu sorot macam apa yang saat ini sedang diberikan kedua orang itu kepadanya.
Wanita ini yang akan jadi pemburunya? Anjani seolah bisa mendengar pertanyaan itu bergema di udara, bahkan hingga saat ini. Wanita berpakaian aneh dan tidak tahu malu ini adalah yang terbaik dari kalian?
"Aku sudah menolak pekerjaan ini, Septian," ujarnya sinis dalam bahasa Melayu. "Carilah Pemburu yang lain."
"Kami punya uang!" Sang wanita tiba-tiba memekik.
Anjani langsung melontarkan pelototan tak bersahabat. Dalam sekejap, wanita itu bergidik. Sorot kebingungan yang sebelumnya menggerayangi Anjani, lenyap seketika berganti kengerian. Wanitai itu nyaris mundur hanya dengan sebuah tatapan galak, tapi seolah sadar dirinya akan mempermalukan diri sendiri karena mundur oleh sebuah sikap bersahabat, wanita itu pun dengan cepat mengendalikan diri dan kembali berdiri tegak menghadapi Anjani. Walau kontak mata masih belum ada lagi.
Sang pria kemudian menghadang sang wanita. Anjani mengerjap saat wanita itu pun terkesiap terkejut oleh tindakan protektif itu.
Dan untuk pertama kalinya, Anjani bersitatap dengan sang pria.
Pria itu menatap Anjani dengan tatapan yang sama tidak bersahabat, seolah curiga berat kalau Anjani akan berlaku sesuatu yang buruk kepada mereka. Ia merintangi jalan sang wanita, bukan terlihat menghalangi, tapi lebih seperti melindungi, dan Anjani cukup tahu perbedaan dua hal itu.
"Kami dengar Anda Pemburu terbaik di Serikat Van Simmo, Nona." Pria itu berujar dalam bahasa Melayu yang meski dilontarkan dengan nada sopan, tetap terdengar tegas dan bahkan mengandung ancaman tersirat. "Kecuali semua rumor bagus soal dirimu memang tidak benar, Nona, kami akan segera pergi."
Anjani mengangkat sebelah alis. Sebelum ini dirinya tidak sempat memerhatikan penampilan sang pria begitu detail karena sangat kesal, tapi rupanya dari dekat, pria itu tidak begitu buruk.
Dia pria jawa yang manis.
Mata Anjani menjelajah tubuh pria pribumi itu dari atas ke bawah, sengaja menunjukkan tatapan lapar terbaiknya sambil menelusuri setiap fitur wajahnya mulai dari rambut lurusnya yang dipotong cepak, kulit yang seperti gula merah, hidung mancung, mata yang tajam dan bibir penuh. Di atas semua penampilan sederhana memikat itu, pria ini dibungkus oleh pakaian ala Londo, alih-alih Priyayi. Dia tidak akan mempermalukan wanita jika pergi ke Societeit.
Anjani mengukur tinggi sang pria dan rupanya pas. Puncak kepala Anjani akan ada di dada pria itu saat dipeluk. Anjani sudah bisa membayangkan sensasi yang akan ia dapatkan dada bidang, pundak yang lebar berbungkus kemeja putih yang rapih, mantel yang walaupun murah, jelas dirawat dengan baik itu memeluknya, merengkuhnya ke dalam dekapan erat....
Mata Anjani langsung turun ke arah arloji familier melingkar di tangan pria itu. Hanya sekejap saja, sebelum mereka kembali saling bertatapan dan Anjani terang-terangan menjilat bibir di depan sang pria Melayu.
"Oh, mulutmu manis sekali, Tampan," Anjani mengedip nakal kepada sang pria. "Aku sulit menolak pujian seperti itu, apalagi datangnya dari seorang laki-laki manis seperti dirimu, Tuan."
Tiba-tiba, Anjani melemparkan tubuh ke pelukan pria itu, mewujudkan fantasinya sendiri. Dan ia puas. Dugaannya tidak meleset. Kepalanya tepat mendarat di dada pria itu dan telinganya langsung mendengarkan degup jantung cepat sang pria.
Seseorang di dekatnya langsung memekik sementara satu yang lain mengalihkan pandang.
Anjani tersenyum diam-diam. Ia langsung memanfaatkan kesempatan itu untuk bergerak semakin jauh.
"Coba puji aku lagi, hm...." Kedua lengan wanita itu langsung melingkar ke leher sang pria polos. Tanpa ragu, Anjani merapatkan tubuh mereka berdua, mengundang sepasang mata yang sebelumnya kaget, serta merta berubah marah. Suara erangan halus keluar dari bibir Anjani, seperti kucing yang mendengkur puas dalam belaian majikannya. "Kalau kamu memujiku lagi, mungkin aku akan mempertimbangkan...."
"Ap-apa-apaan Anda, Nona?" Wanita itu memekik dengan aksen Jawa yang kental. "Apa Anda tidak punya malu?!"
Anjani mengabaikannya.
"Boleh aku tahu dengan siapa aku bicara, Tuan yang Tampan?" Anjani menggeram manja kepada sang pria yang kin tampak canggung itu. "Asal denganmu, mungkin aku bisa membuka sedikit peluang."
"N-Nona ... i-ini sedikit berlebihan...." Pria itu tergagap. Ia mencari perlindungan kepada Septian. Dan tentu saja, Septian tidak bisa membantu.
Oh, manis sekali, Anjani berpikir senang. Ia tidak tahu apa-apa.
Anjani menyeringai. "Kalau kalian pernah dengan rumor soal diriku yang jadi Pemburu terhebat...." Jari jemari lentiknya menjelajahi tubuh pria itu dari pipi, pelan-pelan turun. Jakun pria itu bergerak naik turun dengan gelisah, jelas menahan gelora yang membludak. "Kalian pasti tahu ... kalau pekerjaanku meuntutku untuk tidak tahu malu, kan?"
Dengan sengaja, Anjani melirik ke arah sang perempuan yang sekarang mengernyit jijik. Tidak ada hinaan. Tidak ada kata-kata. Anjani menyeringai semakin lebar. Muda-mudi ini begitu putus asa dan tidak punya pilihan banyak selain menurutinya.
Ini menarik.
Septian tiba-tiba berdeham. Anjani berhenti tersenyum. Ia lantas melirik Septian dengan kesal.
Septian mendengkus, mengabaikan tatapan protes Anjani dengan sengaja. "Tolong perlakukan dengan mereka, Anjani. Mereka ini klien yang Bos ingin berikan kepadamu," Septian berujar, lalu memperkenalkan mereka. "Perkenalkan, Tuan Markandra dan istrinya, Nyonya Irawati."
"Oh," Anjani menengok ke arah pria yang masih menempel padanya. "Pria berkomitmen rupanya? Sayang sekali."
Anjani melepaskan diri, berlagak berat hati.
"Tapi kalau sewaktu-waktu kamu bosan dengan...." Anjani memberi lirikan penuh arti ke arah Irawati, sebelum kembali melempar senyum kepada Markandra. Anjani berkedip nakal. "Kamu tahu di mana harus menemuiku. Akan kuberikan harga khusus untukmu yang repot-repot datang-
"Kami datang untuk memberimu pekerjaan!" Irawati menghardik kali ini. "Tolong bersikaplah sedikit lebih sopan, Nona!"
Kali ini Anjani memberikan senyum terbaiknya kepada Irawati.
"Apa kamu pura-pura tuli atau kau memang tolol, Nyonya?" Jari lentik Anjani menunjuk Septian. "Aku sudah bilang pada temanku yang menjengkelkan di sini kalau aku tidak mau menerima pekerjaan kalian. Dan tingkah laku kalian ini membuat negosiasi gagal."
Anjani kemudian mengayunkan tangan dalam isyarat mengusir.
"Sekarang kalau kalian tidak keberatan, aku mau kembali tidur-
"Kami punya bayaran!" Markandra gantian memotong, mengulangi kata-kata istrinya. "Bayaran yang pantas."
Anjani baru akan menjawab kalau bayaran bukan masalah sebenarnya di sini, tapi Septian sudah lebih dulu angkat bicara.
"Bos menyuruhmu untuk menerima misi ini. Dan hanya dirimu, Anjani," Septian menekankan kata penting sembari mengerling ke arahnya. "Atau tiga bulan berikutnya, gajimu dipotong."
Nada yang digunakan di akhir peringatan itu membuat Anjani mengernyit tidak suka. Ada nada khusus yang biasa digunakan sebagai peringatan di antara mereka berdua dan nada tadi adalah salah satunya.
Artinya jelas. Bulan depan, bukan hanya konsekuensi potong gaji yang harus ditanggung Anjani. Dia akan dibuat menderita selama tiga bulan ke depan dan tidak perlu dikatakan lagi, ia sudah melihat apa yang mampu bosnya lakukan jika perintah langsungnya ditolak.
Pertaannya sekarang adalah, kenapa di antara semua laki-laki dalam Serikat, dirinya yang perempuan ini yang justru direkrut untuk misi yang bisa dikatakan penting ini?
Wanita itu menyipitkan mata, dalam hati menyatukan setiap kepingan teka-teki. Hanya ada satu jawaban untuk semua ini.
"Benarkah?" Anjani melirik dengan sengaja ke Irawati. "Tapi sepertinya dua orang ini tidak tahu dengan siapa mereka berurusan. Kamu yakin Simmo langsung menunjukku?"
"Aku minta maaf soal itu." Septian menundukkan kepala sedikit. Dengan sangat enggan. "Pertukaran informasi sudah dilakukan atas persetujuan Bos. Kami datang mengantongi izin Beliau."
Anjani menyipit ke arah sang wanita. "Berkas-berkasnya lengkap, kalau begitu?"
"Ya."
Anjani menggumam. Itu sesuatu yang langka untuk dilakukan oleh orang-orang seperti Irawati dan Markandra.
Jika berkas sudah lengkap entah bagaimana, artinya Simmo sudah tahu siapa orang-orang ini dan kemungkinan-kemungkinan buruk yang menyertainya. Mendadak saja Anjani semakin kesal.
Jika informasi soal dirinya sampai ke tangan pemuda-pemudi ini dan Simmo merekomendasikannya secara langsung, artinya pekerjaan ini lebih penting dari nama baik Serikat.
"Sekalipun pekerjaan ini melanggar kode etik Serikat?" Anjani bertanya lagi kepada Septian, memastikan.
Septian mengangguk dengan enggan. "Perintah."
***
"Aku dengar ini permintaan balas budi," Anjani memulai percakapan. "Salah satu dari kelompok kalian membuat Simmo berhutang nyawa dan sekarang kalian ingin menagih janji itu."
Di dalam kamar, Anjani duduk di ambang jendela, sementara ketiga tamunya mengambil tempat paling pantas untuk duduk. Irawati agaknya kesulitan. Anjani cukup terhibur melihat wanita itu kebingungan mencari tempat duduk di tengah latar kacau penuh kain. Dia juga menangkap basah sorot jijik keluar dari wajah Markandra saat melihat kamarnya yang berantakan.
Sayangnya, tidak ada yang protes. Tidak ada yang menghina terang-terangan. Sayang sekali.
"Ya." Markandra berbaik hati mengambilkan satu-satunya kursi di ruangan-bangku meja rias-untuk dipakai istrinya atas izin Anjani, sementara ia berdiri dan Septian duduk di tepian kasur Anjani. "Kurang lebih seperti itu. Dan kami dengan sangat menyesal harus mengatakan, misi ini berbahaya sekali."
Terutama bagi perempuan, Anjani merasa kata-kata itu tergantung di belakang lidah Markandra, enggan diucapkan. Dan Anjani semakin kesal dibuatnya.
Kenangan saat ia membaca berkas misi dari Simmo kemarin pagi kembali terbersit dalam ingatan Anjani. "Yah, kapan lagi kita akan pergi untuk-
Markandra mengangkat tangan, menghentikan Anjani seketika. Pria itu menunjuk jendela. "Kau tidak mau menutup jendelanya, Nona?"
Sambil pura-pura baru ingat, Anjani pun bangkit. "Ah, ya, maaf, aku lupa." Ia lantas menuutp rapat jendela dan menarik tirai. Septian bergerak dengan inisiatif untuk menyalakan lampu di kamar. Anjani berputar dan berbalik menghadapi suami istri itu. "Karena aku tidak terbiasa menerima tamu dari kalangan pemberontak di kamarku."
Kata-kata itu mendadak membuat kamar Anjani sunyi senyap. Cahaya lampu terasa dingin dan tajam menusuk di tengah kesunyian sampai Anjani memecahkan kebekuan itu.
"Permintaan kalian melawan peraturan paling dasar dari Serikat: kenetralan. Kami tidak membantu Pemerintah: Londo maupun Pribumi, apalagi Pemberontak," Anjani langsung berterus terang. "Membebaskan tahanan dengan cara ilegal sangat berlawanan dengan tujuan kami untuk menangkap buronan dan mengembalikannya ke Pemerintahan."
"Bukan seperti itu!" Markandra mendesis marah. "Dia bukan Pemberontak! Dia tidak bersalah! Kami berani bersumpah ia tidak bersalah dan hanya difitnah! Seseorang ingin ia dipenjara!"
"Kau punya bukti tertulis untuk itu, Sayang?" Anjani langsung mendapat pelototan dari Irawati, tapi Anjani bahkan tidak berkedip. "Kalau kau punya bukti bahwa tahanan yang ingin kau bebaskan itu bukan Pemberontak, bukankah lebih cepat jika kau langsung saja ke pihak berwenang dan menyerahkan semua bukti itu? Kalian tidak perlu ke mari."
Suami-istri itu langsung terdiam seribu bahasa, sementara Septian memalingkan pandang ke sembarang arah, melarikan diri terang-terangan dari Anjani. Menghindari topik ini dan tidak mau disangkut pautkan dengan topik satu ini.
"Bukankah kebijakan Serikat adalah tidak banyak bertanya?" Kali ini Irawati yang bicara. "Kenapa Anda jadi banyak bertanya, Nona? Kami memiliki informasi dan bayaran, seharusnya itu sudah cukup kan?"
Anjani bersiul. Tidak biasanya ia melihat wanita begitu berani.
"Seharusnya, ya," Anjani menuding Markandra. "Tapi Arloji Clever di tangan suamimu mengatakan hal yang lain."
Markandra buru-buru menutupi pergelangan tangannya dengan memanjang-manjangkan lengan kemejanya. "Jam ini tidak ada hubungannya dengan Batavia."
Anjani mengiyakan dalam hati. Memang terlalu banyak kemungkinan yang masih bisa terjadi. Tapi keberadaan mereka di sini tidak sama dengan jam itu. Dan hal itu membuat alasan mereka meminta bantuannya mengerucut menjadi sangat sempit.
"Oh ya, tentu." Anjani manggut-manggut. "Tapi kenyataan kalau jam itu dijual secara terbatas hanya di satu toko di Batavia, di hari yang sama ketika Batavia mendadak musnah, pasti akan menarik minat Marsose, bukan begitu?"
Anjani tidak mengerti batas ketololan seorang pria yang kadang bisa melampaui ekspektasi paling liar sekalipun. Di saat interogasi gila-gilaan dilakukan di sepenjuru negeri untuk mencari pelaku dan penyebab Batavia lenyap dalam satu hari, di sini ada seseorang yang mengenakan jam yang jelas akan mengundang perhatian para polisi kepadanya.
Jika saja mereka tidak dalam agenda pembebasan pemberontak, Anjani tidak akan peduli. Tapi mereka punya agenda yang sangat problematic di sini dan menambahkan satu bumbu kecurigaan di atas masalah bukanlah ide bagus. Semua orang tahu itu.
Namun agaknya, Irawati tidak begitu setuju dengan sikap Anjani.
"Anda tidak bisa sembarangan menuduh klienmu, Nona!" Irawati menghardik. "Apa pemburu terbaik di Jayagiri selalu menuduh dan bermain dengan orang lain secara semena-mena seperti ini?"
Anjani menyeringai. "Aku tersanjung karena kalian berkali-kali bilang aku terbaik," Ia melirik Irawati. "Tapi kalian yang membutuhkanku di sini, jadi sebaiknya kalian yang mulai menjaga mulut jika ingin aku membantu."
Irawati tersentak kaget. Wajahnya seperti maling tertangkap basah, tapi seperti sebelumnya, wanita itu menunjukkan pengendalian diri yang tidak biasa. "Anda jangan sombong! Kami bisa saja-
"Tidak," Anjani menukas, tahu ke mana pembelaan itu akan bermuara. "Kalian tidak akan menemukan pemburu lain kecuali jika kalian pergi ke luar Jayagiri. Tapi mengingat kalian tidak mengambil opsi itu ... sepertinya kalian kekurangan dana dan waktu ya?"
Tidak ada jawaban. Markandra dan istrinya hanya bisa saling tatap, pastinya tidak mengira serangan semacam ini akan menimpa mereka. Sementara mereka kalah, Anjani menyeringai. Tangannya berhenti mengetuk jendela.
"Mari kita jujur saja di sini, Tuan dan Nyonya." Anjani mengatupkan tangan keras-keras. "Ada pemburu yang lebih baik dariku di Jayagiri, tapi aku yang dipilih. Kalian bukan memilihku karena prestasi...."
Perlahan, Anjani membuka sarung tangan kanannya, memperlihatkan tangan yang selama ini bersembunyi di balik sarung tangan panjang nan gelap.
Itu bukan tangan.
Tidak ada jari jemari di sana. Hanya ada cakar. Kukunya tidak putih, tapi hitam pekat. Jari jemarinya tidak lentik, tapi kuat, berotot, dan bisa mencungkil mata seseorang dalam sekali percobaan jika ada yang berani menantang.
"Karena kalian butuh Siluman untuk membebaskan teman kalian," Anjani mengepalkan cakarnya kuat-kuat. "Dan kenapa kalian butuh siluman untuk membebaskan tawanan dari penjara? Jawabannya cukup mudah.'
Aliran Atma berubah di dalam kamar Anjani. Atma yang semula berwarna merah murni dari mereka semua, kini bercampur dengan Atma biru milik Anjani.
Kebohongan terbongkar dan Markandra serta istrinya tidak punya pembelaan untuk semua ini karena itu benar adanya. Rincian betapa berbahayanya misi ini, penampilan mereka yang bukan seperti Pribumi maupun Londo, dan kenyataan mereka sempat meragukan dirinya adalah penguat yang tepat.
"Itu karena ... tahanan yang ingin kalian bebaskan..." Anjani tersenyum miring. "Dia tidak ditahan di Marcapada, kan?"
***
A/N:
Well, jeng jeng.
Saya akan sediakan Glosarium sendiri untuk berbagai istilah yang saya berikan di sini, daripada repot-repot buka kamus kan?
Saya juga berikan penjabaran sedikit lebih lengkap soal dunia di sini, sebuah hal yang saya gagal lakukan di versi draft yang pertama karena ngebet banget pengen ke konflik. Sooo ... semoga kalian enjoy. Tenang saja, Anjani tetap agresif seperti biasa.
Akhir kata, see you next chapter! Jangan lupa vote dan komentarnya!
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top