1. Pemuda & Penjara
-
Musik:
Judul: Risedek Dina Anu (Pada Suatu Ketika)
Original Soundtrack Mantradeva
Composer: Febrian Prayoga
-
Sebuah suara datang membangunkanku.
Suara itu lembut, pelan, tapi bergema dalam kepalaku. Suaranya familier, terdengar seperti ... seperti....
Aku tidak bisa memikirkan kelanjutan kalimat itu. Kepalaku kosong. Tidak peduli berpikir seperti apa, tidak ada apa pun yang bisa aku ucapkan. Semua mengambang tanpa makna.
Tidak, suara lantang itu bergema dalam kepalaku. Tidak, tidak tidak.
Semua ini bukannya tidak bermakna. Aku hanya tidak mengingatnya. Kata, suara, kalimat, kepala, kosong, berpikir ... semua kata-kata itu punya makna. Punya arti. Semuanya. Aku mengingat mereka. Aku masih mengingat semua arti itu. Aku harus mengingatnya.
"Jangan lupa."
Suara peringatan bergema dalam kepalaku. Suara yang ... aku kenali. Suara yang tidak asing.
Suara itu ... apa pernah muncul di kepalaku sebelum ini? Tapi kapan? Kenapa aku tidak bisa mengingatnya?
Tidak, ingatlah! Cobalah ingat! Apa saja!
Beragam kata muncul dalam kepalaku, acak, berkejaran, saling sahut menyahut dalam satu suara yang tidak bisa aku kenali. Tanpa makna pada awalnya, sampai tangan-tangan memori dalam kepalaku berhasil menggenggam makna kata-kata itu kembali, seperti seseorang yang tenggelam dan berhasil menggapai pegangannya sekali lagi.
Tenggelam.
Benar, jika tidak mengingat, aku akan tenggelam.
Tidak, tunggu, itu tidak masuk akal. Tenggelam butuh air. Aku mungkin tenggelam jika tidak ada air. Sekarang tidak ada air.
Tapi jika bukan tenggelam, lantas apa?
Aku membuka mata, tepat saat sesuatu menetes jatuh ke lantai batu yang hitam kelam di bawah kakiku. Aroma yang tidak asing masuk ke penciumanku saat tetesan itu melintas, terlihat begitu lambat saat melewati pandanganku. Seketika, benakku mengenali cairan itu, mengetahui warnanya, membaui aromanya yang tajam menusuk.
Merah. Cairan itu berwarna merah. Merah artinya hidup, bagian dari sebuah nyawa. Ia bercahaya di tengah kegelapan.
Cahayaku.
Benar juga, jika tidak ada cahaya, aku akan mati. Aku akan musnah dalam selubung gelap ini.
Cahayaku.
Aku harus meraihnya. Dengan segala cara.
Tekad itu lantas menggerakkanku, membuat tubuhku kembali bergerak. Aku menjulurkan kepala, tapi rupanya itu belum cukup. Tubuhku seolah tidak menurut. Ia tidak ikut bergerak.
Usahaku jadi sia-sia. Tetesan itu jatuh sia-sia ke lantai, menggenang di sana dalam warna merah yang mencolok, jauh berbeda dari warna hitam di sekelilingnya. Cahayaku. Kehidupanku.
Milikku.
Kesal dengan kondisi ini, aku pun bergerak lagi. Kali ini lebih jauh, hingga terdengar suara-suara bergemericing di belakangku. Suara itu sangat berisik dan aneh di tengah kesunyian yang tidak terpecahkan sedari tadi. Bunyinya seolah bergema dalam kepalaku dan terperangkap di sana. Sangat mengganggu.
Aku kesal mendengarnya jadi aku berusaha menjauh dari suara itu. Aku menarik tubuh untuk bergerak ke arah berlawanan dair sumber suara itu—ke arah depan, tapi justru suara itu semakin ramai, semakin kencang terdengar.
Tubuhku masih tidak mau menurut. Masih tidak mau bergerak, jadi aku menarik tubuh lebih kuat. Kepalaku mendongak, menatap satu utas rantai yang bergelantungan dari langit-langit. Cairan merah itu mentes dari sana. Aku rupanya berusaha tepat waktu. Tetes berikutnya akan segera jatuh.
Namun aku menjerit keras-keras.
Sesuatu membakar tubuhku. Panasnya berasal dari tangan, kaki, dan leher, membakar kulit sampai ke tulang-tulangku tanpa ampun. Tubuhku kejang oleh sakitnya. Mataku membuka selebar-lebarnya tanpa bisa berkesip, ketika bilur-bilur merah aneh menjalar di kulitku. Warna merah itu berbeda. Tidak seperti warna di lantai. Warna merah ini terlalu terang. Rasanya menyakitkan. Menakutkan.
"Jangan lupa."
Kalimat itu bergema lagi dalam kepalaku. Lebih keras, lebih jelas, menyentakku dengan sensasi yang lebih kuat.
Aku pernah mendengar suara itu di satu tempat.
Kemudian, ketika suara itu sekali lagi terdengar, aku pun sadar, peringatan itu disuarakan dengan lantang oleh suara yang memang tidak asing: suaraku sendiri.
Suaraku yang menjerit sama seperti sekarang ini. Suara kesakitan yang pilu. Seperti suara seseorang yang kesakitan.
Sekumpulan warna menari-nari dalam pandanganku. Bukan warna kelam dari penjara ini. Bukan warna merah darah yang tadi terlihat menyilaukan. Ini warna yang lain. Warna dalam berbagai corak, beragam warna, terpisah dalam berbagai garis dan warna, lalu berpusar menjadi satu. Mereka melintas begitu cepat dalam kepalaku, membawa banyak hal bersama mereka: suara dan gambar.
Memori, aku mengoreksi. Sebuah ingatan. Sesuatu yang tidak boleh terlupa. Semuanya mengalir datang dan pergi dalam bentuk arus kuat yang cepat. Terlalu cepat sampai aku tidak bisa melihat semuanya dengan jelas.
"Jangan lupa."
Suaraku kembali bergema dalam kepala. Lebih keras.
"Jangan lupa. Jangan lupa. Jangan lupa."
Benar, ingatan tidak boleh aku lupakan. Tidak boleh sedikit pun.
Rasa sakit itu mereda, meninggalkan tubuhku dalam keadaan yang benar-benar berbeda sebelum datangnya. Tanganku terkulai lemah, kakiku tergeletak di lantai, kepalaku menjuntai lemah, sementara tubuhku melayang dengan cara ganjil yang tidak nyaman di udara.
Aku merasa ... lemah.
Pelan sekali, aku melirik bilur merah yang menjalar di seluruh tubuhku. Nyalanya telah redup, tapi bahkan dalam kegelapan seperti ini, bilur itu masih bersinar. Berpendar, seperti ... bara api.
Ini hanya sementara, aku mengingat dengan lesu. Jika aku bergerak lagi, tanda ini akan kembali menyala dan membakarku.
Aneh memang, bagaimana aku bisa mengingat hal-hal seperti ini dalam keadaan lemah, tapi informasi itu masuk dengan alami dan aku yang tidak merasa aneh mendapatkannya hanya bisa berarti, aku sebelumnya tahu hal ini. Aku mengingatnya, tapi aku telah lupa.
Karena itulah aku tidak boleh melupakannya. Aku tidak boleh melupakan apa pun.
Aku menggertakkan gigi. Amarah yang baru dan misterius mengisi setiap jengkal otot dalam tubuhku. Aku tidak mengerti asal kemarahan ini dan apa sebabnya, tapi kemarahan ini terasa benar di tubuhku, seolah memang sudah seharusnya seperti ini sejak awal. Sehingga aku pun membiarkannya membakar tubuhku dengan panas yang berbeda dari panas yang sebelumnya membuatku menjerit.
"Jangan lupa."
Ya, aku tidak boleh lupa. Aku tidak akan lupa. Terlebih siapa diriku dan tempat ini.
Tempat ini ... di mana?
Sadar ada ingatan yang hilang, aku mencoba mendongak tinggi ke atas, tapi energi yang telah terkuras hanya membuatku bisa menaikkan kepala sedikit ke atas.
Rantai-rantai yang membelenggu kedua tanganku rupanya tersambung ke langit-langit, dekat sekali dengan rantai yang meneteskan darah ke lantai. Atap terasa mengurungku. Langit-langit kelam itu terlihat sangat dekat. Aku memandang dinding di seberang. Dinding yang sepertinya bisa aku raih seandainya kaki ini bisa bergerak.
Aku menunduk, belenggu dan rantai yang sama mengekang kedua kakiku rapat tersambung ke dinding. Rantai menyatukan belenggu untuk kedua kakiku. Rantai itu pendek. Rantai yang menghubungkan kakiku ke dinding pun tidak kalah pendek. Aku tidak akan bisa bangun tanpa tersandung kaki sendiri.
Ini penjara, benakku menyimpulkan. Aku dipenjara.
Kenapa aku ... dipenjara?
Penjara adalah tempat menampung para kriminal—orang-orang yang membuat pelanggaran peraturan. Jika aku ada di penjara ... apa yang sudah aku lakukan sampai aku dipenjara? Apa aku sudah melanggar peraturan? Aku sudah berbuat salah?
Sayangnya, tidak peduli sekeras apa aku bertanya, tidak pernah ada jawaban yang keluar. Sekali lagi kepalaku kosong dari jawaban apa pun.
"Mengingat sesuatu, Damien?"
Sebuah suara tiba-tiba bergema di dekatku. Suara seorang laki-laki, aku menyadari. Suara yang terdengar familier juga, sama seperti suaraku sendiri.
Ah, ya, aku pernah mendengar suara ini sebelumnya. Aku yakin itu. Tapi ... di mana?
Tiba-tiba sekujur tubuhku bergidik untuk alasan yang tidak aku mengerti. Jantungku berdentam-dentam. Tubuhku sekaku lantai batu dingin di bawah kakiku. Kemudian aroma amis yang kuat menusuk hidungku. Aroma yang mengingatkanku pada aroma harum yang aku cium di lantai.
Tapi, apa ini? Kenapa aroma ini tidak menimbulkan reaksi yang sama kepadaku? Kenapa aku tidak senang mencium aroma ini? Aroma ini justru membuatku ... ketakutan ... dan mual.
Sekelebat bayangan hitam terlihat di sudut mata dan aku pun mendongak serta merta. Belenggu di leherku kembali membara berkat gerakan tiba-tiba itu. Sekali lagi aku memekik kesakitan. Sakitnya membuatku takluk dan menundukkan kepala, kehilangan hampir semua tenaga yang tersisa dalam tubuh.
"Aku tidak menyarankannya jika jadi dirimu, Damien."
Damien, aku mengulang, mendadak menyadari. Suara itu memanggilku dengan sebuah nama. Dan aku merasa wajib menjawab panggilannya dan malu jika tidak menjawabnya.
Damien. Itu namaku.
Suara tepukan kemudian tangan terdengar.
"Ah, maaf, aku lupa seharusnya aku tidak memanggilmu begitu. Kau bukan Damien lagi. Kau tidak berhak dipanggil dengan nama itu." Terdengar embusan napas, panjang dan dalam ... tapi terdengar sangat lesu. "Aku bisa dihukum kalau ketahuan memanggilmu begitu. Beruntunglah hanya kau yang bisa mendengarku di sini, bukan begitu. Nomor Tiga-Enam?"
Nama itu memantik sesuatu dalam diriku. Ketakutan yang tadi mencengkamku sirna. Keberanian datang sebagai gantinya, bersama dengan percikan amarah baru yang seperti sebelumnya, tidak aku mengerti dari mana asalnya.
Perlahan, aku mendongak sekali lagi. Kali ini lebih berhati-hati.
Seorang pria duduk di hadapanku. Sesuatu langsung menghantam belakang benakku ketika kami bersitatap. Ada sesuatu yang aneh darinya, dan hal itu memancar dari semua hal tentang dirinya, mulai dari wajahnya, kulitnya yang gelap, rambut hitam mengilap yang terlihat berpendar dalam kegelapan ini, kumis tipis yang menghias bagian atas bibirnya, hingga matanya yang berpendar keemasan dalam gelap.
Ia mengenakan pakaian serba hitam. Mantel, celana, dan sepatunya, semua berwarna hitam, hanya baju di balik mantelnya yang tidak hitam: baju itu berwarna merah terang. Bukan merah seperti bilur yang ada di tubuhku, melainkan cairan merah yang menggenang di lantai.
Warna darah.
Pria itu aneh. Seharusnya aku tidak bisa melihat dirinya dan pakaian gelapnya itu. Tidak ada cahaya di dalam ruangan ini lebih terang dibanding genangan merah di lantai, tapi entah bagaimana pria itu dan seluruh aspek dirinya terlihat jelas di mataku. Hampir seolah ia berpendar, walau pada kenyataannya ia tidak memancarkan cahaya sedikit pun.
Kemudian, pertanyaan yang lebih besar menghantamku.
Sejak kapan pria ini ada di hadapanku? Aku tidak mendengar suaranya datang.
Kebingungan itu membuatku mengamatinya lebih lanjut dan kemudian menyadari sesuatu.
Pria itu duduk di tengah ruangan, tapi aku tidak melihat apa pun di belakang tubuhnya. Tidak ada benda yang digunakannya sebagai alas duduk. Hanya ada asap hitam yang menjulur seperti lidah api, menyelimuti seluruh tubuhnya. Menopangnya dan memberinya kursi di dalam ketiadaan di ruang sempit ini.
Aku menatap wajah pria itu selama satu detik lebih lama dan sensasi yang aneh menjalar di belakang leherku. Sensasi yang sama saat aku mendengar suara sendiri di dalam kepalaku.
Wajahnya familier.
Sayangnya, saat aku mencoba mengingat di mana pernah bertemu dengannya, aku gagal. Tidak ada yang muncul dalam benakku.
Pria itu tiba-tiba menyeringai lebar.
"Kau sedang berusaha mengingat sesuatu, eh?" Aku tersentak kaget, rupanya pria itu menyadari. "Apa kau ingat kondisi tubuhmu sendiri saat ini, Nomor Tiga-Enam?"
Pandangan pria itu jatuh ke tubuhku, sedikit ke bawah dari dadaku dan aku pun mengikuti arah pandangannya, yang khirnya membuatku sadar, tubuhku nyaris tidak berpakaian.
Mataku membeliak pada selembar kain yang menutup kemaluan adalah satu-satunya pakaianku saat ini. Sementara sekujur tubuhku penuh dengan bilur, memar, bekas luka, dan cairan merah yang sama seperti warna lantai di bawah sana.
Kemudian sesuatu mengalihkan perhatianku dari pemandangan memalukan itu.
Cahaya biru lembut tiba-tiba muncul di sekitarku. Sulur-sulur itu banyak jumlahnya. Mereka bergerak dan menari-nari di udara, mengelilingiku dari berbagai sisi. Di sisi sulur biru itu, sulur merah ikut menari-nari, berputar dan melambai-lambai di udara, saling berpadu dalam tarian misterius. Seperti hidup.
Namun di lantai, asap hitam merayap mendekatiku. Sulur-sulur biru itu, anehnya, menari di sekeliling asap hitam itu. Mereka bergerak bersama dalam gerakan dinamis yang sama.
Kemudian aku menyadari sesuatu. Asap hitam dan sulur biru itu datang dari arah yang sama. Dari arah pria itu. Keduanya bergerak dalam perpaduan absolut yang tidak terpisahkan. Sulur-sulur biru itu lalu berubah semakin terang. pendarnya merenggut sulur-sulur merah di sekitarnya, membuat cahaya merah itu meredup perlahan-lahan. Gerakan sulur merah itu melambat dan sinarnya semakin redup.
"Jangan lupa."
Aku ingat sekarang. Sulur-sulur biru ini akan membuatku lupa. Perlahan-lahan mereka akan mencuri apa pun dariku: memori, kehidupan, dan nyawa. Satu demi satu, sedikit demi sedikit, hingga tidak ada yang tersisa.
Karena itulah aku tidak boleh lupa.
Suara tawa memecah perhatianku. Menoleh, aku menyaksikan pria itu tertawa terpingkal-pingkal. Asap hitam pekat yang menyelubunginya turut bergetar, seperti terbatuk.
"Ini benar-benar menghibur," Pria itu menghapus air di sudut matanya. Aku bergidik saat menyadari seluruh kuku tangannya hitam pekat, kontras dengan kulitnya yang pucat pasi. "Melihatmu mencoba mengingat segalanya lagi, sedari awal, hanya untuk melupakannya satu jam kemudian ... aku tidak pernah bosan melihat tahanan seperti ini!"
Sesaat ia terpingkal. Aku terdiam menyaksikannya, tapi kemudian tiba-tiba saja pria itu sudah ada di depan mataku.
Aku nyaris terjungkal, tapi rantai-rantai di atas sana menghalangiku dari terjatuh dan memicu satu lagi ledakan energi. Pikiranku berkejaran tak tentu arah sementara ketakutan mencengkam benak dan tubuhku kuat-kuat.
Bagaimana bisa? Pertanyaan itu bergema berulang kali dalam kepalaku, kuat dan lantang penuh kengerian. Tadi ia ada di ujung ruangan dan sekarang duduk di hadapanku? Padahal aku tidak melihat dia bergerak sama sekali.
"Hei, Nomor Tiga-Enam...." Suara pria itu berubah. Bergema dalam bunyi ganda yang memikat. "Kita akan mulai sesi tanya jawab kita hari ini."
Asap hitam yang menyelimuti tubuh pria itu bergerak naik dan berubah. Di tengah ruangan yang dipenuhi kegelapan sekalipun, asap hitam itu tampak lebih gelap. Seakan dirnya adalah sang kegelapan itu sendiri.
Asap itu menebal dan meninggi, lalu memperbanyak jumlahnya sendiri. Itu rupanya bukan sekadar perasaan, asap itu benar-benar hidup. Kemudian asap itu mewujud menjadi seperti sekumpulan taring panjang makhluk buas yang siap menelannya bulat-bulat.
Ruangan tiba-tiba berubah panas membara. Belenggu-belenggu besi di tubuhku juga ikut membara, meski aku tidak membuat mereka berbunyi seperti sebelumnya.
Ada yang salah, pikiranku memberitahu. Sesuatu yang benar-benar salah.
"Para Pengawas sudah sangat bosan padamu," Salah satu taring hitam itu menyambar tubuhku. Tangan dan kaki yang terbelenggu membuatku tidak bisa berbuat banyak. Kemudian asap hitam itu bergerak secepat cambuk dan mengikat tubuhku. "Dan harus aku akui, selain reaksimu tadi, kau lumayan membosankan."
Aku berhenti bersikap tenang. Tubuhku meronta sekuat tenaga. Tangan dan kakiku yang terbelenggu mencoba bergerak ke sana ke mari untuk mengendurkan jeratan cambuk-cambuk hitam itu. Percikan-percikan panas itu kembali membakar tubuhku, tapi ancaman dan ketakutan yang lebih kuat dari cambuk-cambuk hitam itu membuat segala indera di tubuhku lumpuh. Segalanya kecuali benakku yang masih sangat ketakutan.
Aku berusaha melepaskan diri sebelum tertelan kegelapan, namun semakin aku melawan, semakin kuat pula semua ikatan itu mengekang.
Jeritan kembali keluar dari mulutku saat salah satu cambuk itu memuntir pergelangan tanganku kuat-kuat. Begitu kuat sampai aku mendengar bunyi berderak dan merasakan kesakitan yang teramat sangat dari kedua pergelangan tanganku.
"Kembali bisa menjerit. Perkembangan yang bagus." Pria itu kembali bersuara. Suaranya sangat tenang, tidak terpengaruh sama sekali oleh panas ruangan dan tentunya tidak terganggu sama sekali oleh suara patahan tulang tadi. "Sebelum ini kau bahkan sudah bosan menjerit." Kemudian ia kembali tertawa; jenis tawa yang membuatku semakin ketakutan. "Aku akan sangat menikmati ini."
Separuh tubuhku ditarik dengan sangat cepat menghadap pria itu sementara tubuh bawahku tertahan kuat-kuat oleh rantai di dinding. Pergelangan kakiku terbakar, sementara cambuk-cambuk hitam itu membelit semakin kencang, menghancurkanku dari luar. Kerasnya tenaga mereka mengiris sebagian kulitku.
Sekali lagi, aku menjerit, tetapi tiba-tiba salah satu cambuk itu mengikat dan membekap mulutku erat-erat, menghancurkan rahangku.
Mataku seketika membuka lebar-lebar akibat sakit. Saat membuka mata, wajah pria itu menjulang di atas wajahku yang mendongak tegak ke arah langit-langit. Ia membungkuk di atas kepalaku. Dengan seringai membelah wajah, pria itu menaruh telunjuk di bibirnya yang berubah semerah darah. Taring-taringnya mencuat panjang melewati bibirnya yang menyeringai. Taring-taring itu berubah menghitam.
"Tidak boleh berisik, Nomor Tiga-Enam," Pria itu berujar. "Kau akan mengganggu tidur tahanan yang lain."
Salah satu cambuk hitam itu mengikat leherku. Mencengkam belenggu di leherku kuat-kuat hingga aku tidak bisa bernapas. Kemudian ujung benda itu bergerak memanjang. Benda itu membelit dan terus naik hingga sampai ke wajahku.
Cambuk hitan itu berdiri tegak di depan mataku. Ujungnya yang seperti taring hewan buas lantas terpecah menjadi tiga cambuk yang lebih kecil. Ketiganya terlihat tajam. Aku meronta semakin keras saat tiga cambuk itu mendekat ke wajahku.
"Sudah aku bilang pada mereka untuk menggunakan metode ini dari awal. Karena kau tidak akan diampuni. Dosamu terlalu besar. Percuma juga menjaga ingatan dan indentitasmu kan?" Pria itu menghela napas dengan sikap santai. "Tapi pada akhirnya mereka sadar aku benar. Dan mereka mengizinkan aku mencoba ini kepadamu."
Senyum yang berseri-seri di wajahnya membuat amarah yang baru menyala di dalam diriku: kemurkaan.
Tanganku yang terbelenggu mengepal kuat-kuat. Rasa sakit kembali naik semakin parah, tapi kali ini aku tidak begitu saja ketakutan dan menjerit seperti sebelumnya. Aku menelan semua itu dengan kemurkaan yang menggelegak tertuju kepada pria itu, mengutuk sikap tenangnya.
Anehnya, pria itu justru tersenyum semakin riang. Aku memelototinya dengan segenap emosi yang paling gelap yang aku miliki, tapi ia sama sekali tidak tergerak. Senyumnya masih merekah setia di wajahnya, tanpa sedikit pun penyesalan. Tanpa keraguan.
"Jangan mendendam ya. Pengawas memintaku melakukan metode ini. Mereka ingin segera mendapat jawaban agar kau bisa langsung dihukum mati."
Tanpa peringatan, tiga cambuk itu menghunjam ke dalam dua mata dan telingaku sekaligus, secara bersamaan.
Rasa sakitnya tidak bisa aku gambarkan. Kesakitannya melebihi apa pun yang aku pernah rasakan sejak terbangun, jauh lebih parah dari saat belenggu-belenggu di atas sana membakar tubuhku.
Cambuk dan taring hitam itu mematahkan segala yang masih utuh dalam tubuh ini, dari luar dan dalam.
"Oh, tidak perlu mendramatisir. Kau tidak akan mati hanya karena ini. Lagipula kau akan lupa semua ini besok pagi...." Anehnya, kini suara pria itu bergema di dalam kepalaku, jauh lebih jelas dari sebelumnya. Yah, jika kau masih punya hari esok..."
Rasa sakit lain mencengkam dadaku yang terperangkap. Jeritan yang terperangkap di sana memberontak tak terkendali. Rasa sakitnya meledakkan tubuhku dari dalam.
"Sekarang, perlihatkan kepadaku apa yang kau lihat dan dengar hari itu," Suara pria itu berubah menjadi bisikan. "Hari ketika kau menghancurkan Jayakarta sampai rata dengan tanah."
***
A/N:
Soundtrack di atas adalah soundtrack dari webtoon Mantradeva. Jika kalian pernah membacanya, kita sehati.
Kalian akan banyak melihat soundtrack remix musik-musik tradisional di cerita ini, termasuk musik gubahan yang digunakan pada webtoon Mantradeva, karena musik-musik itu menjadi salah satu inspirasi saya dalam membuat kisah ini.
Karya ini bisa dibilang terinspirasi dari sana, karena saya ingin juga memiliki karya yang membahas soal Nusantara secara tradisional, dicampur kolonialisme dan penceritaan kembali sebuah legenda.
Ah ya, saya lupa cerita. Kisah ini bisa dibilang adalah re-telling dari sebuah legenda yang cukup terkenal di Indonesia. Legenda yang berasal dari Pulau Dewata, Bali. Ada yang sudah bisa menebak ini re-telling dari kisah apa?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top