Bab 23 -Sisakan satu kebahagiaan-

Bolehkah aku, memelukmu? Kekasih.


Bian menoleh dengan cepat, ditatapnya Nastiti menggandeng putra sulungnya di ambang pintu.


"Mampir, Mas. Ini, Doni juga sudah bangun, cari ayahnya," tutur Nastiti yang sudah berkeringat dingin.

"Doni! Cepat masuk! Sudah malam!" titah Arisetya yang salah tingkah.

Bian sedikit tersenyum. "Sudah malam, Doni, itu Pakde bawakan kue, dimakan ya?" pinta Bian.

"Iya Pakde, di dalam ada Fat-" Nastiti dengan cepat membekap mulut putranya.

"Terima kasih, Mas Bian! Aku sama Doni ke dalam dulu, dingin!" selorohnya lalu masuk ke dalam rumah.

Baru kali ini Bian merasa iri dengan kehidupan orang lain. Arisetya dan Nastiti sudah dikaruniai dua orang anak. Mereka terlihat sangat bahagia.


Sedangkan nasibnya dengan Marissa berbanding terbalik. Ikatan kuat yang dulu ia kira sanggup menggoyahkan semua rintangan, ternyata tidak lebih kuat dari sehelai rambut.

Sekarang ... bukankah seharusnya ia tidak memikirkannya lagi? Marissa bukan istrinya lagi. Hanya sebuah kenangan, pahit bila terus diingat.


Hatinya sudah digenggam kawat berduri yang mengencang bila mengingat senyum Marissa. Ia kembali berandai-andai. Bila saja ego sebagai seorang pria tidak pernah muncul. Mungkin, saat ini mereka masih berpegangan tangan. Saling melempar tawa juga bahagia yang membuncah. Napasnya merindukan Marissa.

***

"Tya, kamu sudah siapkan presentasi yang kemarin kita bicarakan?" tanya Bian.

"Sudah, Pak," jawab Tya dengan tetap menyelaraskan langkah Bian.

"Saya periksa terlebih dahulu, pastikan semuanya sesuai dengan rencana, sebab klien kita yang satu ini sangat potensial," seru Bian.

"Baik, Pak," jawabnya bersemangat.

"Oia, kapan jadwal pertemuannya dilakukan? Saya harus catat," Bian meraih buku agendanya dari tas kemudiam membuka satu per satu lembaran kertas dan matanya terhenti pada sebuah amplop yang terselip di sana.

"Ada apa, Pak?" tanya Tya pelan.

"Ini amplop apa, ya?" Bian menunjukkan amplop itu pada Tya.

"Maaf, Pak, saya juga kurang tahu,"

"Ah, sudahlah, jadi tanggal berapa jadwal pertemuannya?" tanya Bian lagi sembari membuka pintu ruangannya lalu meletakkan amplop itu di meja.

***

Hari berlalu, Bian kembali menenggelamkan diri dalam rutinitas bisnis. Terkadang hatinya bertanya, untuk apa bekerja terlalu keras?


Ia memejamkan mata, sesekali memijat pelan kening lalu mengangkat gagang telepon di sampingnya, menekan tombol yang terhubung pada sekretarisnya.

"Tya, mana dokumen yang harus saya lihat?" tanya Bian.

"Tadi saya taruh di meja Bapak, di tumpukan amplop cokelat," jawabnya.

"Oh, ya sudah, saya cari dulu, terima kasih," balasnya kemudian meletakkan kembali gagang telepon.

Ia mengangkat dokumen-dokumen itu. Mata Bian langsung tertuju pada sebuah amplop yang tidak sengaja terjatuh. Diraihnya perlahan, ia yakin tidak pernah memiliki amplop putih, lusuh seperti ini.

Perlahan Bian menyobek ujung amplop itu. Dibukanya salah satu lembaran surat yang berisi keterangan hasil pemeriksaan medis.

Beberapa kolom angka juga istilah medis membuatnya mengernyit. Entah mengapa bisa amplop ini ada di ruangannya.

Tangannya seketika gemetar saat membaca kesimpulan hasil pemeriksaan yang bertuliskan;


Hasil angka menunjukkan bahwa spesimen sampel terduga ayah cocok dengan alel paternal dari anak. Dengan demikian dapat disimpulkan probabilitas terduga ayah sebagai ayah biologis anak adalah >99.99%. Oleh karena itu, terduga ayah tidak dapat disingkirkan sebagai ayah biologis anak.


Nama Pasien (Anak) : Andika Fattar Soejarmoko.


Nama Terduga Ayah : Rakabian Soejarmoko.


Nama Ibu Biologis : Marissa Aprilia Yuswandari.


Sekali lagi, seluruh tenaga dalam tubuhnya seakan menghilang. Ia menyandarkan diri menahan sesak teramat dalam. Sejenak kembali membuka mata untuk membaca satu lagi surat yang tersisa. Surat dengan goresan pena mantan istrinya.

Bulir bening kembali menetes dari kedua pelupuk mata, napasnya sungguh terasa sesak. Dengan gemetaran ia meraih ponselnya, mencari nama yang selalu dirindukan. Berulang kali mencoba menghubungi Marissa, tetapi tidak ada jawaban.

Ia mencoba untuk tetap sadar, melangkah gontai, beberapa kali terjatuh, tetapi terus berusaha keluar dari ruangan. Pandangannya berpendar, sungguh napasnya tersengal hebat, seakan seluruh otot-otot raganya tidak mampu lagi menopang.

"Pak? Pak Rakabian?" Tya bergegas membantu Bian bangun.

Bian diam seribu bahasa hanya sedu sedan yang keluar dari bibirnya. Tetap memaksa turun melalui lift. Tya dan beberapa karyawan tampak panik melihat Bian berjalan terseok-seok, tetapi menolak untuk diberikan bantuan.

Di puncak kepanikan Tya histeris sembari menghubungi Arisetya. Sungguh ketakutan menatap Bian yang seakan sekarat.

Bian menyandarkan tubuhnya pada dinding. Dengan kuat meremas dadanya sendiri.


"Pak, Bapak kenapa?" Tya menatap jauh ke dalam mata atasannya yang penuh air mata juga keputus-asaan.

Bian kembali menampik lengan Tya. Terhuyung pelan berjalan di lobi sembari menangis tersedu-sedu. Dengan cepat hampir semua orang yang ada di sana ikut mengerubunginya.

Ia menatap wajah semua orang yang menghunjamnya, mendengar semua bisikan itu. Kepalanya menunduk, sudah menutup kedua telinga, tetapi bisikan itu terdengar makin menggila.

Hingga pada akhirnya ia menyerah, jatuh bersujud. Kepalanya dahulu tegak memandang Marissa yang pernah diperlakukan secara hina di depan semua orang, kini menyentuh lantai yang dipijak oleh semua. Meneriakkan kegetirannya pada bumi.

Lusi juga Arisetya bergegas mendekati Bian.


"Mas, ada apa, Mas?" tanya Arisetya yang cemas melihat Bian menangis tersedu-sedu tanpa sebab.

"Aris, di mana Mbakmu? Di mana dia?" lirih Bian.

"Siapa, Mas?"

"Marissa! Di mana dia!!" Bian mencengkeram erat lengan Arisetya. "Katakan Aris!! Di mana Marissa! DI MANA DIA!!" Jeritnya sekuat tenaga.

***

Sudah hampir satu jam lebih Samuel menatap Erika yang bercengkerama riang dengan seorang anak perempuan cantik di pelataran rumah. Erika tampak lebih berbinar-binar. Dia sudah menikah kembali dengan seseorang yang bisa menghargai cintanya.

Hampir sembilan tahun lamanya Samuel membuang arti kata cinta. Ia tidak akan meminta Erika ataupun Abhy untuk kembali. Bahkan hanya sekadar meminta maaf saja, juga terasa tidak mampu. Sampai kapan pun, ia tidak akan pernah termaafkan lagi.

Abhy sudah tumbuh besar, anak kandungnya. Anak yang jelas-jelas adalah darah dagingnya. Selama ini, Samuel membuang masa indah hanya untuk mendapatkan sebuah pengakuan mustahil. Sejak memandang Fattar untuk pertama kali, Samuel sadar sekaligus yakin kalau anak lelaki itu adalah milik Bian.

Ia memandang wajahnya sendiri di cermin spion. Wajahnya yang sombong telah menua. Teringat kembali semua ucapan terakhir dari Marissa yang seakan mengutuknya. Ia sudah kehilangan sesuatu yang tidak akan pernah bisa dapatkan lagi. Sebuah keluarga dan cinta.

Samuel menunduk, tangisnya perlahan terdengar makin kuat. Tidak ada yang menang dalam pertaruhan ini, bahkan ia sudah menghancurkan hidup wanita yang sebenarnya ingin dilindungi, yaitu Marissa.

***

Nastiti berulang kali menyeka air mata. "Selama ini kami memang tetap berhubungan dengan Mbak Rissa juga Fattar. Almarhumah Ibu selalu mengingatkan kami untuk membawa sosok Mas Bian dalam tumbuh kembang Fattar walaupun belum bisa dalam arti yang sebenarnya," tutur Nastiti sembari memberikan sebuah kotak pada Bian. "Kotak itu berisi foto-foto Fattar juga Mbak Rissa," tambahnya.

Tangan Bian tidak sanggup menyentuh potret-potret itu. Air matanya seakan tidak bisa berhenti mengalir.

"Mbak Rissa cuma satu tahun tinggal di alamat itu, setelah itu dia beli satu rumah sederhana enggak jauh dari sana, hanya saja aku kurang tahu alamat jelasnya," ungkap Arisetya.

Bian tidak sanggup berkata-kata. Bibirnya gemetar menahan perih.

"Sudah beberapa bulan ini Mbak Rissa enggak bisa dihubungi, kami memang berencana untuk pergi ke Semarang bulan depan, tapinya beberapa hari yang lalu Fattar datang diantar Tamara," Bian menegakkan kepalanya saat mendengar kalimat terakhir dari Arisetya.

"Fattar datang ke sini?" lirih Bian.

"Iya, Mas. Sebenarnya, yang malam itu manggil ayah, itu Fattar, bukan Doni!" sesal Nastiti, seharusnya malam itu mereka mempertemukan Fattar dengan Bian. Apa pun risikonya.

"Astaghfirullah!!" Bian menjerit kencang. Berkali-kali memukul kepalanya sendiri. Hatinya remuk redam, terasa lebih perih dari sebelumnya.

Berbekal alamat yang dahulu diberikan oleh Mieke. Hari itu juga Bian memutuskan untuk pergi ke Semarang. Ia menggenggam erat surat dari Marissa! Ada beberapa hal yang tidak bisa ia mengerti.

Hari ini, detik ini juga ia akan memohon agar Marissa mau pulang ke Jakarta. Bila perlu akan bersujud di kaki Marissa.

"Assalamualaikum," ucap Bian di depan sebuah rumah bercat putih bersih dengan berbagai tanaman hias terjejer rapi di halaman.

"Wa'alaikumussalam." Gembor yang dibawa Mieke jatuh seketika saat menatap wajah Bian.


Dengan segala kerendahan hati juga rasa hina, Bian perlahan mendekati Mieke.

"Saya ...." Bian tidak sanggup meneruskan kalimatnya.

Mieke tersenyum lembut, pelan-pelan menepuk pundak Bian. "Iya, saya paham, sebentar, Tamara!" panggilnya.

Seorang gadis muncul dari dalam rumah. "Iya, Bu," Tamara menatap Bian dari ujung kepala hingga kaki. Wajah yang selalu dia lihat hanya dalam potret yang begitu dibanggakan Marissa.

"Ambil kunci rumah Mbak Rissa, Ayahnya Fattar datang," titahnya.

Tamara menghunjam Bian dengan benci lalu menuruti perintah ibunya. Padahal ia berharap surat itu tidak pernah dibaca oleh pria itu. Ia tahu betul betapa berat perjuangan Marissa untuk bisa jauh dari pria itu. Betapa sulit hidup tanpa pria itu.

"Ibu pergi dulu, nanti kalau Fattar sudah pulang sekolah, tolong antar ke tempat Mbak Rissa, ya?" pintanya lagi.

"Iya!" jawabnya ketus.

"Mari, Pak, saya antar," ajak Mieke.

Mereka berdua berjalan menyusuri jalan beraspal. Sesekali beberapa penduduk menyapa ramah Mieke. Sementara Bian hanya mampu menunduk, kehilangan semua keangkuhan juga rasa percaya diri.

"Setelah Marissa melahirkan, dia membeli rumah enggak jauh dari sini. Bersikeras ingin mengurus Fattar sendirian. Marissa selalu menganggap bisa melakukan semuanya sendirian! Naif! Saya baru pindah ke Semarang beberapa tahun belakangan, selama ini Tamara dan Oma Anissa yang menemani Marissa," ujarnya.

Bian hanya mampu terdiam. Tidak punya keinginan selain bisa bertemu dengan Marissa juga putranya.

"Sekian lama dia menunggu Anda datang menjemput, tetapi dia enggak punya keberanian untuk memberikan hal tes itu pada Anda atau siapa pun termasuk saya," tambahnya, "walau sedari awal, saya yakin kalau Fattar adalah anak Anda," tambahnya.

"Setahun yang lalu, kami sempat bertemu di pemakaman ibu saya," lirih Bian.

"Iya, dia sering menangis lagi setelah itu. Sedetik dia membenci, sedetik kemudian menangis karena rindu. Beberapa bulan kemudian, Oma Anissa pergi untuk selamanya. Marissa semakin terpuruk. Bertahun-tahun lamanya dia menimbang semua keputusannya untuk Anda, Fattar juga dirinya sendiri.

Bian berkali-kali menyeka air matanya.


Langkah mereka berhenti pada sebuah rumah mungil dengan halaman yang cukup luas dipenuhi beberapa pot berisi bunga mawar tak terawat. Mieke membuka pintu depan lantas mempersilakan Bian masuk.

Bian tertegun menatap semua perabotan rumah tangga ditutupi kain putih. Hatinya makin terluka saat menatap potret dirinya yang sedang tersenyum tergantung di dinding ruang tamu. Ia menatap ruangan itu. Semua perabotan juga pilihan warna dindingnya. Ini memang pilihan Marissa. Ada Marissa di setiap sudut rumah itu.

"Di mana Marissa? Kenapa semuanya ditutupi? Marissa pindah rumah lagi?" Mieke menarik napas panjang lalu berusaha tersenyum

***

"Assalamualaikum, Marissa, aku datang bersama seseorang yang kamu tunggu, Rakabian Soejarmoko." bisik Mieke sembari berjongkok di hadapan sebuah makam yang tampak indah ditumbuhi rumput tipis juga berbagai macam batu-batuan pipih warna putih.

Lelehan air mata membasahi kedua pipi Bian. Hatinya menjerit, menolak untuk membaca sebuah batu bertuliskan nama seseorang yang amat dicintai. Jantungnya berdentum-dentum. Bahkan tidak mampu bernapas. Sesak, nyeri, tubuhnya seakan diimpit kebekuan.

"Setelah melahirkan, kondisinya enggak kunjung membaik, Marissa sudah berjuang untuk bisa bersama Anda lagi. Mungkin ini salah satu alasan mengapa dia belum juga sempat mengunjungi Anda di Jakarta. Tentu dia enggak ingin Anda hancur karena kehilangan dia lagi," lirih Mieke.


Tubuh Bian roboh.

Sembari menangis, ia berteriak sekencang-kencangnya kemudian memeluk pusara makam Marissa, mengusap batu nisan itu dengan tangan gemetaran. Menjerit-jerit, meraung menyebut namanya. Seseorang yang sudah tidak akan pernah ia temui lagi. Mengapa? Mengapa maut yang pisahkan?

"Marissa ... a-k-u ...." Bian tidak bisa menahan sedu sedan. Tidak sanggup meneruskan kalimat yang patah di kerongkongan. Ia berusaha menarik napas panjang, tetapi sungguh yang terlontar dari bibir hanya suara serak-panjang memilukan.

Mieke tidak sanggup menahan air mata. Padahal ia sudah berjanji pada Marissa untuk menguatkan Bian. Mieke juga tidak sanggup menjaga amanah yang diberikan Marissa untuk menyembunyikan semuanya. Meminta tetap diam sembari menjaga Fattar.

Ia tidak tega menatap Fattar yang sering melamun sembari memandang potret kedua orangtuanya. Mieke meminta Tamara untuk membawa Fattar kembali pada Bian-ayahnya.

"Marissa, jangan maafkan aku! Jangan ... Marissa!" jerit Bian berulang-ulang.

"Pak, sabar, Pak," lirih Mieke sembari mengusap punggung Bian.

"Mengapa Marissa? Mengapa menghukum aku seberat ini?" pekiknya, "Ya Rob, cabutlah nyawaku! Sekarang! Ya Allah!!" Bian tersengal oleh air matanya sendiri. Semua yang selama ini tidak bisa ia terima, hanyut terbawa sesal.

"Dia enggak mau membebani semua yang sudah terlalu baik juga mencintainya, hanya itu! Dia enggak pernah benar-benar membenci Anda, dia ingin sembuh lalu kembali pada keluarga Soejarmoko," jawab Mieke.

Bian mencengkeram erat rerumputan di atas pusara Marissa. Ia ingin memeluk wanita itu, sekali saja.

"AYAH!!"

Bian memberanikan diri untuk menoleh. Kini ditatapnya seorang anak lelaki yang tersenyum lebar padanya. Seutas udara bisa ia hirup. Namun, paru-parunya tetap terasa kering.

"Ayah!" panggilnya lagi seraya berlari memeluk Bian. "Ayah sudah pulang kerja? Ayah sudah ketemu Mama? Kemarin Fattar ke Jakarta sama Mbak Tamara, tapi katanya enggak boleh ketemu Ayah!" ocehnya.

Bian mengangguk pelan. Menyentuh wajah putranya dengan tangan gemetar. Meneliti dengan saksama wajahnya. Hatinya kembali mengerut, tidak percaya dengan apa yang disentuhnya.

"Ayah, apa sekarang Fattar boleh main sama Ayah?" tanyanya pelan, "kata Mama kalau Mama sudah sembuh, Fattar boleh main sama Ayah, tapi Mama malah pergi ke surga sama Oma." Anak sekecil itu pun tidak mampu menyembunyikan rasa sakitnya. Akankah ia bisa maafkan ayahnya?

Bian mengangguk pelan. Berusaha untuk melengkungkan senyum. Menikmati hangat pelukan yang selama ini dirindukan. Berkali-kali menyeka air mata kemudian menatap langit senja, berharap bisa sedikit menghentikan tangis. Berkali-kali juga mengerjapkan mata, menatap lurus ke arah pohon kemboja.

Tangisnya tidak kunjung reda. Ia melampiaskan semua pada dada anak itu. Akan tetapi, tiba-tiba desir dingin membuatnya bisa menegakkan kepala. Semilir angin menuntunnya menatap bayang seseorang yang dirindukan.

Entah ini hanya khayalan belaka atau nyata. Ditatapnya Marissa mengenakan pakaian serba putih juga selendang tipis menutupi kepalanya. Dia tersenyum lembut, melambaikan tangan sebelum perlahan menghilang.

"Marissa?" Bian melepaskan pelukannya, menciumi seluruh wajah Fattar. "Fattar, maafkan Ayah," lirihnya.

Fattar mengangguk pelan lalu kembali memeluk Bian erat-erat. Sebuah janji ia ukir kembali. Janji tidak akan berpisah lagi. Kini Bian menengadahkan kepala. Langit senja yang akan menjadi awal mimpi barunya. Satu kebahagiaan yang disisakan Marissa.


-SELESAI-



Mas, apa kabar?



Alhamdulillah, akhirnya aku bisa lihat kamu sehat-sehat saja, walaupun kita bertemu dalam kondisi berduka. Aku harap kamu bisa mendengarkan jeritan hatiku yang meminta untuk dipeluk kamu.



Mas, aku kangen kamu.



Aku kangen masakin kamu, aku kangen siapin baju buat kamu, aku kangen dengar ocehan gombal kamu dan aku kangen dengan semua yang ada sama kamu.



Mas, maafin aku karena bertahun-tahun lamanya belum bisa kembali pulang bersama anak kita.



Aku berjuang agar kita bisa berkumpul lagi. Sudah sekian lama kita saling menghukum diri sendiri, cukup rasanya saling berduka seperti ini.



Mungkin saat kamu membaca surat ini, kita sudah enggak bisa lagi saling menyentuh.


Maafkan aku karena terlalu naif.


Maafkan aku yang merasa begitu sakit saat menerima surat perceraian kita dari pengadilan.


Maafkan aku yang merasa begitu perih saat menerima kenyataan bahwa Fattar enggak bisa diazani kamu.


Maafkan aku yang enggak mampu untuk jujur sedari awal.


Maafkan aku yang menyembunyikan Fattar.



Fattar. Tumbuh dengan sosok ayah yang hanya bisa aku ceritakan tanpa mampu membawamu bertemu dengannya, tetapi anak kita persis sekali seperti kamu. Bawel, pintar, baik.



Tolong, jaga dia. Aku enggak bisa lagi membimbingnya, aku serahkan dia padamu, Mas. Ayahnya.



Bimbing dia untuk bisa menjadi sepertimu. Seorang lelaki yang bisa mencintai, menghormati, menghargai martabat kehormatan keluarga, diri sendiri juga pasangannya kelak.



Aku merindukanmu, Mas. Mencintaimu, lebih dari yang kamu tahu.



Aku enggak pernah menyesali semua yang terjadi di antara kita, mungkin ini cara Allah untuk kamu terbiasa jauh dariku.



Maafkan aku, dan semua yang sudah terjadi, termasuk dirimu sendiri, Mas.



Aku titipkan satu kebahagiaan kita, aku kembalikan senyummu. Fattar adalah bukti cinta kita akan tetap hidup.



Aku selalu mencintaimu, sekarang, besok dan selamanya.



Kekasihmu,


Marissa.


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top