Bab 21 -Akankah berpisah?-
Sepi berselimut rindu.
Sekali lagi takdir coba mengecoh mereka. Honda Bian memasuki gerbang perumahan, bertepatan dengan taksi Marissa yang pergi meninggalkan gerbang itu.
Bian meneguhkan keputusannya. Ia akan memaksa Marissa untuk mengikuti semua kemauannya. Sesungguhnya, ia tidak mau hidup tanpa memandang wajah Marissa.
Bian berjalan tergopoh-gopoh memasuki rumah. Hati dan logikanya masih berdebat hebat. Langkahnya terhenti karena mendapati Asmarini serta Nastiti duduk berpelukan sembari menangis pilu di ruang tamu,
"Ibu?" Bian mencium tangan kanan Asmarini kemudian duduk tepat di hadapannya.
"Nastiti ke dapur dulu, ya, Bu?" ujarnya melarikan diri.
Bian tahu akan mendapatkan penghakiman dari orangtuanya, tetapi keputusan itu tetap masih kokoh. Ia sudah mengikuti berbagai macam tes kesuburan. Hasilnya tetap sama. Mandul. Marissa harus menyerahkan bayi itu pada orang lain.
"Marissa sudah pergi," tutur Asmarini. Pupil mata Bian melebar, jantungnya seakan berhenti berdegup. "Sungguh inikah yang kamu inginkan, Nak?" tanyanya pelan.
Marissa telah memilih bayi itu. Amarah yang berkecamuk dalam dada terus membakarnya. Mungkin, kisah cinta ini memang cukup sampai di sini.
"Apa yang Ibu khawatirkan?" tanya Bian.
"Astagfirullah, Bian! Istighfar! Mana mungkin kamu meminta seorang ibu membunuh anaknya sendiri!!" pekik Asmarini.
"Ibu enggak mengerti perasaan aku!" debat Bian.
"Tentu saja Ibu mengerti, Nak! Perasaan kamu juga Marissa! Kamu enggak bisa meminta Marissa untuk memilih fitrahnya sebagai seorang istri atau ibu!" tambahnya.
"Dia bukan darah dagingku, Ibu!!" seru Bian, "apa Ibu takut akan cemooh semuanya? Ibu takut akan hilangnya nama baik keluarga bila pada akhirnya aku menceraikan Marissa?" tebak Bian.
"Astagfirullah, Bian!! Ibu memikirkan kamu, Nak! Ibu tahu bagaimana kamu sandarkan hidup kamu pada Marissa! Bagaimana kalau anak itu milikmu? Bagaimana kalau Marissa enggak mau kembali lagi padamu?" lirihnya.
Bian bangkit dari sofa. Menatap nanar seisi rumah yang seketika terasa hampa. Tanpa mau menjawab, Bian berlalu pergi menaiki anak tangga.
Ia membanting daun pintu dengan kasar, membuka satu-persatu lemari pakaian Marissa, semuanya sekilas tampak utuh, lalu kembali mengedarkan pandangan ke penjuru kamar. Bibirnya gemetar mendapati ada yang hilang. Potret pernikahan yang selalu ditatap saat membuka mata di pagi hari.
Potret itu tergantikan dengan selembar potret hasil USG dengan tulisan Marissa di belakangnya.
Kami selalu menunggu dan mencintaimu. Ayah.
***
Marissa gugup menatap Samuel yang berjalan makin mendekat lalu duduk di hadapannya. Hari ini, ia akan berusaha menegosiasikan semua, serta melupakan sejenak semua masalah. Ia ingin melahirkan dengan hati tenang.
"Lama menunggu? Kamu mau ke mana?" tanya Samuel tidak sabar lalu menatap tas besar di sebelah Marissa.
"Bagaimana kabar Abhy dan Erika?" tanya Marissa datar.
"Sepertinya baik."
"Masih sepertinya?" lirih Marissa, "sampai kapan kamu hilang akal seperti ini?" tanya Marissa putus asa.
"Sampai kamu mau kembali lagi padaku," jawabnya penuh percaya diri.
"Aku menerima pinangan Mas Bian bukan untuk melampiaskan kemarahanku padamu, tetapi aku melihat cintanya yang melibatkan Tuhan untukku,"
"Aku bisa menjadi seperti dia!"
Marissa menunduk, berusaha menelan amarah dan meredakan emosi yang sudah sampai ke ubun-ubun. Ia ingin membunuh pria yang ada di hadapannya.
"Kamu sadar enggak, sih? Dulu kamu meninggalkan aku hanya beberapa jam sebelum kita menikah dengan alasan kamu belum siap dan setelah aku bertemu dengan Mas Bian, kamu malah meminta aku untuk menerima kamu lagi, kamu sadar enggak, sih?" marah Marissa.
"Marissa, itu alasan aku ingin menebus semuanya."
"
Cukup, hentikan, Samuel! Hidupku bukan permainan. Enggak ada kesempatan kedua. Kamu tahu ... sulit bagiku untuk buka hati, meyakinkan keluarga Soejarmoko dan perjuangan Mas Bian enggak mudah. Kamu sudah hancurkan semuanya! Asal kamu tahu, selamanya enggak akan ada yang bisa menggantikan Mas Bian. Kamu dan semua kegilaan ini, hentikanlah!" mohon Marissa.
"Kita harus bersama lagi, Marissa!" bujuk Samuel.
"Kalau begitu, kamu sudah memilih untuk kehilangan semuanya. Kamu yang memaksa aku juga semuanya ikut bertaruh. Kini, aku keluar dari pertaruhan ini, membawa anak juga takdirku yang menjadi hadiah taruhan kalian." Samuel mendelik tajam. "Mas Bian sudah tahu semuanya. Dia meminta hal yang enggak bisa aku lakukan, tentu saja dia akan tetap kokoh pada pendiriannya, aku mengenal dia dengan sangat baik," lanjut Marissa.
"Kalian berpisah?" serunya dengan wajah bahagia.
"Senyumanmu menjijikkan! Aku bersyukur dulu kita enggak jadi menikah! Kamu harus tau, perpisahan kami enggak mengartikan kalau aku akan kembali padamu, atau melabuhkan hatiku pada yang lain. Aku tetap milik dia! Hubungan di antara kami lebih dari sebuah cinta. Selamanya aku adalah miliknya dan dia milikku, walau tanpa ikatan pernikahan!" tegas Marissa.
Senyuman Samuel menghilang. "Aku akan membesarkan anak kita, bersama denganmu, ayolah, Marissa." bujuknya.
"Cukup! Enggak, kamu menelantarkan semuanya hanya untuk sesuatu yang semu! Aku enggak akan pernah membiarkan anakku disentuh seseorang seperti kamu!" seru Marissa.
"Tapi dia anakku!" bentak Samuel, "kamu enggak bisa memisahkan seorang ayah dari anaknya!" tambahnya.
Marissa menyeka air matanya lalu tertawa. "Apa aku enggak salah dengar? Kamu sudah memisahkan seorang anak dari ayahnya! Sudah memisahkan seorang istri dari suaminya! Sudah memisahkan seorang menantu dari mertuanya! Apa harus aku sebutkan apa lagi yang sudah kamu pisahkan?" jerit Marissa.
Samuel terdiam, wajahnya berubah pucat.
"Aku tetap akan melakukan tes DNA setelah melahirkan, menggunakan beberapa helai rambut Mas Bian!" lanjutnya.
"Ambillah dariku juga!" mohon Samuel.
"Enggak, cukup hanya milik Mas Bian, hanya dia saja! Dia adalah ayah dari bayiku. Hanya itu yang ingin aku pastikan!" tolak Marissa.
"Bagaimana bila dia anakku?" lirih Samuel.
"Suatu saat nanti, bila dia memang anakmu ... dia akan kembali padamu, tetapi saat ini, aku mohon! Pergilah Samuel, jangan cari aku lagi! Bila dia bukan anakmu, suatu saat nanti, kamu hanya akan melihat kebahagiaan yang enggak bisa kamu raih lagi, lalu menyesali semuanya. Aku pamit." Marissa menjinjing tasnya lalu meninggalkan Samuel yang masih terdiam.
***
Marissa terdiam sejenak di depan gerbang rumahnya. Dahulu, ia meninggalkan rumah ini karena menjadi pengantin dan sekarang, ia kembali sebagai janda.
Bungkusan yang di genggam Anissa terlepas dari tangannya kala menatap Marissa yang diam mematung di ambang pintu.
"Rissa?" lirihnya.
Marissa melepaskan tasnya kemudian berlari menghambur ke pelukan Anissa.
***
Dengan tangan gemetar Marissa menyesap teh manis hangat yang disajikan Anissa.
"Rissa, seorang istri enggak boleh meninggalkan rumah tanpa seizin suami. Kita selesaikan masalah ini dengan kepala dingin," bujuk Anissa.
"Bunda, Marissa dan Mas Bian butuh waktu untuk menjernihkan pikiran kami," tuturnya.
"Tapi enggak dengan cara kamu pergi dari rumah seperti ini, Nak," bujuknya.
"Bunda, Rissa takut, Rissa enggak mau kehilangan Mas Bian juga anak Rissa," Kedua pelupuk mata Marissa kembali panas.
Anissa menarik napas dalam-dalam kemudian bergeser mendekati putrinya lalu mengusap lembut punggungnya.
"Nak, Bunda percaya Bian akan memaafkan kamu, seenggaknya tunggu sampai kamu melahirkan dan tes-"
"Bagaimana kalau memang benar ini bukan anak Mas Bian, Bunda? Apa Marissa sanggup membesarkan dia?" raungnya.
"Rissa, apa yang harus Bunda lakukan? Apa Bunda harus bantu membicarakan ini sama Bian?" tanyanya.
Marissa menggeleng kemudian mengusap air matanya. "Mari pergi, Bunda. Kita pergi dari sini, Rissa mohon sama Bunda, Rissa takut," lirihnya lagi.
"Ya, Allah, Rissa,"
Anissa mengusap air mata yang berjatuhan di pipi Marissa kemudian mendekapnya erat-erat.
***
Bulan berlalu dengan meninggalkan mereka yang saling merindu. Asmarini juga Anissa masih belum bisa membujuk keduanya untuk kembali.
Bian terdiam, matanya menatap kalender di meja kerjanya. Garis merah melingkari satu tanggal di kalender itu, Marissa yang melakukannya. Masih segar dalam ingatan betapa cerianya Marissa membulati tanggal itu dengan membubuhkan tulisan kecil di bawahnya; hari perkiraan lahir.
Suara ketukan pelan di pintunya membuyarkan lamunan. Tya memasuki ruangan Bian.
"Maaf, Pak, ada yang mau bertemu, tetapi belum ada janji sebelumnya," tutur Tya.
"Siapa?" tanya Bian.
"Dari rumah sakit Kasih Bunda, Dokter Mieke Saraswati," jawab Tya. Seketika Bian menegakkan punggungnya. "Pak? Diizinkan masuk?" ulang Tya.
"Ya ... izinkan dia masuk," jawab Bian.
***
Mereka duduk saling berseberangan. Bian ragu menatap wanita itu.
"Apa kabar, Pak?" tanya Mieke membuka percakapan.
"Baik," jawabnya singkat.
Mieke tersenyum lalu meletakkan secarik kertas di atas meja. "Itu alamat rumah saya di Semarang. Awalnya, Marissa menolak untuk tinggal di sana, saya enggak mau dia berjalan tanpa arah dalam keadaan hamil besar," ungkap Mieke.
Rahang Bian mengeras, giginya bergemeletuk saat nama Marissa disebut. Kerinduannya pada wanita itu tidak bisa dibohongi.
"Dia dan ibunya, sekarang tinggal bersama anak saya yang paling tua, Tamara," lanjutnya.
"Untuk apa membicarakan hal ini?" Ucapan Bian membuat Mieke mengelus dada.
"Belum terlalu terlambat, Pak. Jemput Marissa," sarannya.
"Untuk apa? Aku sungguh enggak ingin membahas hal ini!" jawabnya pasti.
"Seharusnya minggu lalu Marissa sudah melahirkan, memang bisa saja meleset dari perkiraan lahir. Tapi, yang saya khawatirkan adalah kondisinya yang memburuk. Sudah dua kali dia diopname karena asam lambung juga tekanan darahnya yang tinggi, Pak sebaiknya-"
"Sebaiknya Anda diam saja dan menjaga sikap profesionalisme Anda sebagai seorang dokter!" cerca Bian dengan nada bicara setengah meninggi.
"Baiklah, tetaplah seperti ini. Apa yang lebih menyakitkan lagi untuk Marissa, selain kenyataan bahwa ayah bayinya menolak mengazankan anak mereka. Juga status janda yang akan dia sandang sebelum bayinya berumur empat puluh hari! Sungguh saya enggak pernah melihat orang yang lebih menyedihkan dari Anda! Selamat siang, maaf mengganggu!" hardiknya lalu pergi.
Dengan tangan yang gemetar Bian meraih secarik kertas itu. Jalan Plewan III Nomor 16A, Semarang.
Bian memejamkan mata, berharap air matanya tidak akan tumpah, tidak akan pernah tumpah lagi untuk dia.
Bergegas ia meraih ponsel juga kunci mobilnya dari meja.
***
Bian menatap sebuah rumah yang dulu sering ia kunjungi. Mieke tidak berbohong. Marissa benar-benar telah pergi meninggalkan Jakarta.
Plang bertuliskan; rumah di jual terpasang besar-besar tepat di tembok rumah Anissa.
Bian segera memutar kemudinya kala hatinya kembali terasa perih.
Malam itu, ia kembali pulang dengan kertas yang berada dalam genggaman. Mobilnya kembali diam di halaman sebuah bangunan yang dulu disebut rumah. Tempat untuk mereka berbagi kebahagiaan juga duka dalam pelukan. Sekarang, tempat itu akan tertutup untuk dia yang dirindukan.
***
Satu bulan setelah Marissa melahirkan, keduanya mendapatkan salinan surat perceraian dari pengadilan.
Bian berjalan gontai menuju kamar. Hatinya tidak bisa lagi diterangi oleh cahaya. Bian menunduk lalu melepaskan cincin pernikahan, meletakkannya di laci nakas. Sudah berakhir. Semua yang ia perjuangkan.
***
Bertahun-tahun berlalu, Bian memilih menjalani hidup dalam kehampaan. Mematikan hampir seluruh pelita yang menerangi hati. Kadang, ia juga bertanya apakah hidup Marissa juga terasa sepi seperti ini?
Bian bertekad untuk menjalani hari tanpa lagi mau mendengarkan jeritan hati yang meminta untuk bertemu dengan Marissa. Sekali saja. Ingin melihat wajahnya bukan dalam lamunan atau mimpi kosong.
Lamunan Bian seketika lenyap saat Arisetya tiba-tiba saja masuk ke kamar Bian dengan air mata yang bercucuran.
"Mas! Ibu, Mas!" lirihnya.
***
Karangan bunga juga para pelayat mulai berdatangan di kediaman Asmarini. Beliau wafat pagi tadi, Nastiti yang pertama kali menemukan Asmarini sudah terdiam seperti tertidur pulas. Namun, saat coba dibangunkan Asmarini tidak juga kunjung bangun, ujung-ujung kukunya mulai membiru serta tubuhnya terasa dingin.
Arisetya tidak bisa berhenti menangis di samping jenazah sang ibunda. Suasana haru makin terasa kuat ketika seluruh keluarga berkumpul.
Sudah beberapa bulan belakangan, kondisi Asmarini memang menurun, ditambah lagi beban pikiran akan Bian yang menggelayutinya, termasuk rindu pada Marissa.
Berbagai rasa menghinggapi sanubari Bian. Diingatnya kembali satu permintaan sang ibu agar ia menjemput Marissa. Hal yang tidak bisa Bian lakukan hingga ajal menjemput Asmarini, terlebih status mereka tidak lagi terikat dalam pertalian suami-istri.
Prosesi pemakaman dilakukan penuh dengan derai air mata. Bian menunduk di samping pusara ibunya.
"Mas, ayo pulang," ajak Arisetya.
"Duluan saja, Mas masih mau di sini," lirihnya.
"Kami duluan, Mas," jawab Arisetya tanpa banyak mau berdebat.
Satu per satu dari mereka meninggalkan pemakaman. Tinggallah Bian sendirian, mengusap papan nisan Asmarini.
"Ibu," lirihnya, "maafkan Bian," Tangisnya meledak. Berulang kali mengucapkan kata maaf yang menghilang bersama angin.
Bian cepat-cepat menyeka air matanya saat ada seseorang yang menaburkan kelopak bunga. Untuk pertama kalinya, setelah sekian lama mata mereka bertemu. Seketika Bian bangkit.
"Apa kabar, Mas?" lirih Marissa kemudian berjongkok dibantu oleh seorang gadis. Ia memejamkan mata, bibirnya mulai bergerak melantunkan ayat-ayat suci.
Kaki Bian terasa seperti dipaku. Ia menatap mantan istrinya yang terlihat lebih tirus, pucat dengan tubuh sedikit membungkuk.
Dengan sangat hati-hati, gadis itu membantu Marissa berdiri. Bian memperhatikan raut wajah Marissa yang seakan menahan sakit.
"Aku pamit, Mas," lirihnya.
"Marissa!" Tangannya terjulur, tetapi dengan cepat ia tarik kembali.
Rasa aneh menyergap setiap sel di tubuh Bian. Seperti tersengat saat Marissa melengkungkan senyum. Perlahan untuk pertama kalinya, ia menatap punggung itu pergi menjauh.
Bian kembali dari pemakaman dengan perasaan gundah. Hatinya meminta untuk menarik tangan wanita itu untuk ke pelukannya. Namun, logikanya melawan tanpa ampun.
Rumah itu mendadak sepi. Kedua orangtuanya telah pergi. Ia menatap bayang Asmarini yang sering memasak di temani Marissa. Kedua orang itu telah pergi. Kemudian berjalan menuju kamar ibunya. Bayang mereka terlihat jelas ketika Bian membuka pintu. Marissa terlihat memijat kaki Asmarini.
"Marissa ... Ibu." Bian menepis khayalannya. Sebuah potret di atas nakas menyita perhatian. Ditatapnya seorang bayi dengan senyuman menggemaskan. Hatinya gemetar melihat mata yang sama dengan tatapannya. Ia membalik foto itu, mendapati sebuah tulisan tangan Marissa yang tidak akan pernah terlupakan.
Andika Fattar Soejarmoko.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top