Bab 20 -Kompromi-
Jauh di dasar hatiku, engkau masih kekasihku.
Hatinya meragu saat mobil Bian terlihat di area parkir rumah sakit. Namun, Marissa memantapkan hati, membulatkan keputusan. Dilihatnya Bian menumpu wajahnya di atas kemudi. Marissa memberanikan diri mengetuk jendela mobil lalu masuk tanpa dipersilakan.
Sekilas Bian melirik istrinya yang juga kikuk memosisikan diri sendiri.
"Sudah dengar semuanya?" tanyanya pelan. Marissa mengangguk pelan. "Masih yakin dia adalah anakku?" tanyanya lagi.
Marissa diam lalu menatap Bian. Ingin sekali memeluk pria itu dan menangis dalam dadanya.
"Kenapa ... menyembunyikan semua sendirian, Mas?" tanya Marissa menahan sesak.
Bian tertawa lepas. Bulir bening terlepas dari mata, mengalir di pipi, tumpah ruah seiring derai tawa menyedihkan.
"Alasan yang sama. Mungkin sama dengan apa yang coba kamu sembunyikan dariku. Enggak! Kamu menyembunyikan ini untuk melindungi Samuel. Apa sebenarnya yang dia katakan benar? Apa kamu menerima lamaranku hanya untuk melarikan diri darinya?" cecar Bian.
Marissa terdiam. Hatinya menjerit-jerit. Ia harus coba memahami perasaan Bian. Namun, tidak sepatutnya Bian mengatakan hal itu.
"Setelah mendengar semuanya dari Dokter Mieke, enggak ada lagi keraguan dalam hatiku. Anak ini adalah darah dagingmu, Mas," lirih Marissa.
"Bagaimana mungkin?"
"Semua yang terjadi, kehamilan setelah kejadian itu, memang menyudutkan kemungkinan anak ini milik Samuel. Hanya saja, firasatku mengatakan bahwa anak ini milikmu, Mas," tutur Marissa.
"Firasat? Hanya firasat?" cibirnya.
"Mas, aku yakin, semua usahamu ... anak ini adalah bukti kebesaran serta kasih sayang Tuhan padamu, Mas," bujuknya lagi.
"Pendirian juga keputusanku tetap sama, syarat yang aku ajukan tetaplah sama!" tegas Bian.
"Aku enggak bisa menyerah akan bayi ini, anak kita, cinta kita," lirih Marissa.
"Aku mandul!! Aku enggak akan bisa memberikan kamu anak!! Kenapa kamu tetap meminta aku mengambil jalan perpisahan?!" bentak Bian.
"Perceraian memang dibenci Allah, tetapi dengan aku menurutimu, selamanya kita akan mendapatkan laknat-Nya, Mas," sanggah Marissa.
"
Jangan berkhotbah di hadapanku!" sentak Bian.
"Aku minta sama kamu, aku mohon dengan sangat, jangan curigai rasa cintaku sama kamu, Mas. Demi Allah, aku menyesali semuanya, Aku enggak akan mencecar kamu akan alasan kamu menyembunyikan masalahmu dariku. Aku percaya itu semata untuk membuat kita lebih bahagia," lirih Marissa.
Bian menggigit sedikit bibir. Sungguh, entah apa yang membuatnya begitu terluka, ia sama sekali tidak meragukan kesetiaan Marissa. Hanya saja itu terjadi, kebodohan Marissa. Kesalahan terbesarnya adalah memilih menyembunyikan fakta Samuel sudah merudapaksa dirinya.
"Aku enggak akan mengubah keputusanku! Perceraian akan terjadi bila kamu ingin tetap bersama anak itu!"
"Inikah yang kamu mau, Mas? Benarkah ini caramu?"
Bian terdiam.
Marissa menunduk, air matanya kembali jatuh bercucuran. "Aku ikhlas akan semua keputusan yang akan kamu ambil, Mas, semuanya. Kamu adalah orang yang selalu bisa bijak dalam mengambil keputusan dan aku akan selalu menunggumu," lanjutnya lalu keluar dari mobil Bian.
Penantian itu ... sia-sia.
***
Lusi hampir terjengkang dari kursinya saat menerima email pengumuman dari presiden perusahaan yang tak lain adalah Rakabian Soejarmoko.
Email itu menegaskan bahwa Marissa Aprilia Yuswandari mengundurkan diri dari jabatannya lalu mengangkat Arisetya sebagai pengganti sementara dan ia sendiri sebagai asisten pribadi Arisetya.
Hampir setengah berlari, Lusi bergegas menuju ruangan Bian yang ternyata sudah dipenuhi beberapa manajer lain. Beberapa hari belakangan, Bian tampak sangat berbeda dari sifatnya yang dulu terkenal lembut penuh kasih sayang. Sekarang dia tampak seperti seekor singa liar yang kelaparan.
Sejenak Bian mengedarkan pandangan pada semua yang sudah duduk terdiam di ruang rapat. Untuk sesaat matanya berhenti di salah satu kursi kosong tepat di sampingnya. Kursi Marissa.
"Mulai hari ini, Ibu Marissa bukan lagi bagian dari Soejarmoko Grup!" tegasnya yang dijawab bisikan semua. "Seperti yang sudah saya umumkan, untuk sementara Bapak Arisetya akan dibantu Ibu Lusi mengurus semua yang diperlukan. Kondisi Ibu Marissa enggak lagi memungkinkan untuk bekerja dengan maksimal di perusahaan ini," ungkapnya.
Suara bisikan itu menghilang, seakan menunggu Bian kembali menjelaskan akar permasalahan.
"Rapat dewan direksi akan segera dilakukan untuk membahas perubahan setelah Ibu Marissa enggak ada dalam struktur organisasi. Saya harapkan enggak ada lagi bisik aneh yang terdengar. Keputusan ini diambil memang atas dasar alasan personal, tetapi menjunjung tinggi kepentingan perusahaan tanpa mengurangi jasa juga kontribusi Ibu Marissa selama ini. Baiklah, cukup sampai di sini, saya harap semua bisa lebih baik, selamat pagi," jelasnya segera meninggalkan ruang rapat.
Lusi tidak bisa berpikir jernih. Ini salah! Pasti ada yang salah! Bukankah Marissa hanya mengatakan memperpanjang cutinya?
Ia bergegas kembali menuju ruangan Marissa. Ditatapnya setiap sudut ruangan yang masih memiliki harum kental dari atasannya itu. Sekilas melihat Marissa tersenyum manis di balik layar monitor komputer.
"Permisi, Bu?" tutur Harja yang masuk sembari menenteng beberapa lipatan kardus.
"Eh, iya, Bang, ada apa ,ya?" tanya Lusi menatap Harja yang mulai membetulkan posisi lipatan kardus menjadi kotak-kotak berukuran sedang.
"Ini, Bu. Tadi saya disuruh sama Bapak Raka untuk membereskan barang-barang Ibu Marissa, mana saja yang mau dibawa sama Pak Raka, Bu?" tuturnya.
Lusi hampir pingsan saat mendengar penjelasan Harja, sungguh ini tidak masuk akal! Marissa tentu bisa membereskan semuanya sendirian! Ini lebih mirip seperti pemecatan tidak hormat!
"Sebentar, Bang, tanya Ibu Marissa dulu," tukas Lusi.
Berkali-kali Lusi coba menghubungi Marissa, tidak ada jawaban, semua pesannya juga tidak dibalas. Ia tidak sabar lagi.
Lusi meraih tasnya kemudian berlari menuju lobi. Memang ada beberapa selentingan kabar tidak mengenakan mengenai masalah yang terjadi setelah acara mintoni itu.
Bahkan, ada beberapa karyawan yang mengaku melihat Bian keluar dari hotel. Bola liar itu semakin membakar suasana. Ia mengedarkan pandangannya di teras kantor, berharap ada taksi yang melintas.
"Lusi. Kamu mau ke mana?" sapa Marissa saat baru saja keluar dari mobilnya. "Kamu kenapa? Pucat gitu?"
"Ibu?"
Ditatapnya Marissa dari ujung kepala hingga kaki. Marissa terlihat seperti biasanya.
"Kenapa? Kamu liat aku kaya hantu gitu, maaf aku kelamaan cutinya," jelasnya.
"Ibu ...."
***
Marissa menatap semua barang-barang pribadi miliknya yang tersusun rapi dalam kotak kardus. Sekali lagi ia mengela napas serta mengusap perutnya.
Seharusnya ini sudah dilakukan saat pertama kali menikah dengan Bian. Sebaiknya ia hanya meniti karier yaitu sebagai ibu rumah tangga saja. Mungkin hal buruk itu bisa dihindari.
"Bu, ada apa? Ini pasti cuma salah paham saja, 'kan?" tebak Lusi.
Marissa membaca email yang dikirimkan Bian. Hatinya menjerit. Bian sudah membulatkan keputusannya, yairu memberikan satu lagi jalan berbatu yang harus Marissa tempuh, tetapi meskipun tertatih, merasa tidak sanggup serta tidak mampu ... semua akan dilaluinya.
"Lusi, aku minta maaf kalau selama ini ada salah," tutur Marissa.
Lusi terenyak tidak percaya mendengar permintaan maaf Marissa. Dia telah kalah. "Ibu, Pak Bian sudah tahu semuanya?" tebak Lusi.
Marissa coba tuk tersenyum kemudian mengangguk. Bagaimanapun, saat ini suaminya tidak bisa memaksa untuk membuang anak mereka. "Ini salah aku. Aku terima semua hukuman dari Bian," lirih Marissa.
"Enggak, Bu! Ini ... bukan sepenuhnya salah Ibu!" bela Lusi.
"Ya, andai saja waktu itu aku bisa menolak untuk minum. Lusi, aku akan baik-baik saja." Lusi tidak mampu lagi menahan tangis. Perlahan Marissa memeluknya. "Kamu pasti bisa lebih hebat dari aku, kinerjamu selama ini sangat luar biasa, terima kasih, Lusi." Penuturan Marissa membuat tangis Lusi pecah seketika.
Sekali lagi ia menatap ke sekeliling ruangannya. Marissa masih ingat betul pertama kali memijakkan kaki di perusahaan ini. Walaupun berstatus sebagai istri dari presiden direktur, tetapi tidak ada perlakuan khusus. Semua kerja keras, pengorbanan, perjuangannya ... sekarang, tidak berarti lagi.
Lusi membantu Marissa mengangkat kotak kardus. Setibanya di lobi, mereka langsung mendapatkan pandangan menghunjam dari semua pegawai yang mengenal mereka.
Desas-desus yang membicarakan rumor perselingkuhan Marissa kembali terdengar jelas. Orang-orang itu menatap rendah Marissa, sedangkan ia hanya mampu terdiam. Tidak pernah terbayang, penghinaan ini didapatkan karena mempertahankan sesuatu yang takut disesali Bian.
Langkah mereka terhenti saat berpapasan dengan Bian dekat pintu keluar lobi.
Marissa mendekati Bian yang berusaha untuk tidak menatap wajahnya. "Terima kasih atas bantuan juga kerja samanya selama ini," tuturnya sembari sedikit membungkukkan tubuh. "Tya, saya titip Pak Raka," lanjutnya yang dijawab kikuk oleh Tya.
Marissa melangkah pergi tanpa keraguan. Menyadari ini adalah hal yang paling bijaksana juga sikap profesionalisme seorang Rakabian Soejarmoko.
Sekali lagi ia menoleh, ditatapnya punggung Bian yang perlahan pergi. Ia sungguh berharap pria itu mau berbalik untuk berlari memeluknya.
Hari itu berbagai rasa yang sulit dijabarkan menggulung hati Bian. Ia menatap ruangan Marissa, duduk di sofa tempat mereka biasa bercengkerama. Menatap bayang yang sudah ia enyahkan untuk selama-lamanya. Pendiriannya tidak akan berubah. Marissa harus memilih ia atau bayi itu. Ia tidak sanggup untuk terus hidup bersama seseorang yang tumbuh semakin mirip dengan Samuel.
***
Marissa mengusap potret dirinya dengan suami saat menikah dahulu. Potret dengan bingkai putih yang selama ini disimpan rapi di atas nakas kemudian memasukkannya ke dalam tas yang sudah berisi beberapa helai pakaian, juga potret kenangan indah lainnya.
Ia juga akan memilih jalan hidup terbaik dengan harapan suatu saat nanti, Bian akan datang menjemput.
"Nyonya?" lirih Siti.
Marissa menatap Siti, tersenyum lembut lalu berkata, "Mbok, saya pamit."
"Tapi ...."
"Mbok, saya sudah tulis semua kebiasaan Tuan. Ada di atas kulkas, semua makanan yang dia suka juga benci, dia harus minum kopi sebelum berangkat ke kantor, lalu ... " Kalimat itu tertahan begitu saja, dengan kasar mengusap air matanya.
Rasa sakit, cemas, marah, sedih juga bersalah menyergap hingga ke relung sanubari. Ia sudah mantap merelakan posisi sebagai seorang istri.
Sekarang ditatapnya Nastiti juga Asmarini yang sudah berlinang air mata serta memohon untuk Marissa bisa memikirkan kembali semuanya.
Rasanya tidak mungkin untuknya bisa mengobati semua luka yang telah ditorehkan pada hati terdalam Bian. Pun rasa egois yang dirasakan Bian rasanya wajar sekali. Dari awal, penderitaan yang dialami Bian tidak sebanding dengan kesakitan Marissa.
Bukan bermaksud untuk melarikan diri, hanya saja ia sadar betul siapa yang kini memerlukan perhatian lebih banyak, siapa yang Bian harapkan untuk baik-baik saja. Marissa tetap pada pendiriannya, yaitu Bian mencintai bayi dalam kandungannya.
"Marissa, jangan seperti ini, bagaimana Bian bisa hidup tanpa kamu?" bujuk Asmarini.
Marissa menahan isaknya. "Ibu, Marissa minta maaf, semuanya memang salah Marissa," lirihnya.
"Enggak, Nak. Ibu yakin itu cucu Ibu, anak Bian, bersabarlah, kita pastikan setelah kamu melahirkan, ya, Nak? Ibu mohon sama kamu," bujuk Asmarini.
"Selamanya anak ini adalah cucu Ibu, Marissa juga Mas Bian perlu waktu untuk meredam semua. Bila memang harus berakhir, Marissa ikhlas, Bu." Asmarini memeluk menantu kesayangannya, menciumi wajah juga terus mengusap perut Marissa. Mata Asmarini merekam wajah yang sepertinya akan sulit untuk ditemui lagi.
Marissa melepaskan tangan Asmarini juga Nastiti yang mengantar sampai pekarangan rumah. Ia mundur beberapa langkah untuk menatap wajah mereka. Masih diingatnya dengan baik saat pertama kali Bian mengenalkan ia pada keluarga Soejarmoko. Sambutan hangat yang tidak pernah terlupa. Berharap suatu saat nanti akan mendapat pelukan dari semuanya lagi.
Dari balik jendela taksi ia menatap bangunan sederhana yang asri, hasil kerja keras keduanya selama membangun biduk rumah tangga. Marissa merelakan semua cinta yang tertanam di setiap jengkal rumah itu menjadi kenangan manis yang akan dibawa hingga ajal menjemput nanti sekaligus berharap suatu saat Bian akan datang memintanya kembali sebagai nyonya di rumah itu.
Taksi itu melaju perlahan. Ia mengusap pelan perutnya, terus bergumam, mengatakan Bian sangat mencintai anak ini, sangat mencintainya.
"Semua akan baik-baik saja, Nak," gumamnya.
Dari balik jendela mobil, ia menatap jajaran pepohonan. Kini ditatapnya lagi wajah Bian dalam layar ponsel. Matanya kembali panas, bulir bening merembes di pelupuk mata, mengalir satu per satu di kedua pipi, sesaat tertahan di dagu lalu jatuh menimpa ponselnya. Adilkah ini?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top