Bab 15 -Sedikit Waktu-

Kita tidak dapat mengubah masa depan. Namun, masa lalu adalah cermin untuk masa depan.



Apa pun yang sudah hancur, walaupun bisa diperbaiki tidak akan pernah bisa terasa sama. Meskipun begitu, Bian tetap coba meniti setiap serpihan hati, melipat rahasia serta membiasakan diri menahan kegetiran.

Hari, minggu, juga bulan berlalu. Baik Marissa dan Bukan bersikap seolah tidak ada duri di antara mereka. Mereka enggan melangkah dengan kaki kotor juga tidak sudi membersihkannya.


Bian berusaha menikmati perannya dalam memanjakan istri yang sedang mengandung benih buah hati mereka.

Ya, dia adalah anakku. Keajaiban yang sedang dikandung Marissa adalah miliknya. Itu adalah jawaban dari semua doa.

Itu yang terus Bian gumamkan.

***

Marissa memberikan piring yang dibasuhnya pada Nastiti. "Alhamdulillah, selesai," ucap Marissa.


Malam ini, untuk pertama kali setelah beberapa bulan berlalu. Bian juga Marissa mau makan malam bersama dengan keluarga Soejarmoko juga ibunda Marissa.

Kehangatan yang mulai terajut, perlahan mengikis jarak antara Bian dan Marissa.

Diam-diam Bian mengamati wajah istrinya yang ikut tertawa dalam setiap candaan Arisetya. Ia tidak tahu apakah wajah itu mampu sepenuhnya melenyapkan semua rasa takut?

Bian meletakkan segelas susu hangat di meja, kemudian duduk di samping Marissa lalu mengelus lembut perut istrinya dengan perhatian.

"Minggu depan acara tujuh bulanan sudah siap?" tanya Asmarini lalu membuka kulkas, dengan sigap Nastiti membantunya mengeluarkan puding buah.

"Alhamdulillah, sudah, Bu," jawab Bian.

"Anak-anak panti asuhan diundang, 'kan?" tanya Asmarini sambil sibuk memotong puding.

"Iya, nanti ibu-ibu dari pengajian Bunda Anissa juga datang," tambah Bian.

"Alhamdulillah, insya allah berkah, banyak yang mendoakan. Semoga lancar sampai persalinan, semuanya sehat." Marissa tersenyum lega saat semua orang mengamini doa Anissa.

Setangkup kebahagiaan yang terpancar dari wajah Bian menambah desir impian Marissa. Hati Marissa diam-diam berdoa. Berharap itu tidak akan berakhir.

Sepulang dari rumah Asmarini dan mengantarkan Anissa pulang, mereka singgah ke sebuah minimarket.

Bian merengut kesal sembari mendorong troli. "Kamu itu, kurang-kurangin aktivitas, kek. Tadi seharian di rumah Ibu, ini mau pulang malah mau ke swalayan dulu. Kamu bisa kasih list belanjaannya ke Mbok Siti, suruh dia yang belanja!" omel Bian.

Marissa menggelung rambut kemudian bergelayut manja di lengan Bian, mengunci omelan dengan cara yang tidak bisa Bian lawan.

"Sekalian capek, Mas. Lagian aku cuma beli tisu sama piring plastik kecil, gitu. Habis ini pulang, enggak main lagi," timpalnya sembari mengacungkan kelingkingnya.

"Besok pagi kita ada meeting, loh. Harus bangun lebih pagi," tambah Bian yang kemudian menatap barang-barang dalam troli. Ia tahu dengan benar Marissa bukan hanya ingin membeli tisu. "Yakin ini, aja?" tanya Bian.

Marissa terdiam sejenak. "Kayaknya nanti aku mau bikin puding buah kaya bikinan ibu, boleh?"


Bian memijit kening. "Rak makanan ada di ujung sana! Kamu tunggu di sini, aku yang cari! Kaki kamu nanti bengkak lagi kalau kelamaan jalan!" omel Bian sembari pergi meninggalkan Marissa.

Marissa mengelus lembut perutnya. "Ayah sayang banget sama kita, De," gumamnya.

Ia berjalan menyusuri rak peralatan dapur. Rasanya teringat kembali saat memilih perabotan rumah tangga di awal pernikahan.

"Mbak Marissa?"

Marissa sempat ragu untuk menoleh. Ia mengenali suara itu.

"Mbak?" panggilnya lagi.

Marissa tidak punya pilihan. Ia tidak mampu menutupi keterkejutannya karena melihat kondisi Erika yang jauh berbeda dari beberapa bulan lalu.

"Erika?" gumam Marissa.

Erika segera memeluk Marissa erat, seakan sedang menumpahkan semua kerisauan. "Udah lama banget enggak ketemu. Hampir tiga bulan, apa kabar, Mbak?" tanyanya antusias.

"Alhamdulillah, baik." Marissa menelan penasaran saat menatap Erika lebih jelas.

Wanita muda ini amat kerepotan. Tangan kanan menggenggam erat kereta bayi sementara tangan kirinya menjinjing keranjang belanja berisi popok juga keperluan lainnya. Rasa cemas itu kembali datang. Satu perasaan yang terlupakan. Kemungkinan itu membuatnya kembali merinding ketakutan.

"Kamu sendirian?" Pertanyaan yang dilontarkan Marissa mengubah ekspresi Erika. "Maaf, maksudku, Samuel enggak antar?"

Erika menggeleng pelan, Marissa menggigit bibir, kemudian menyesal saat bulir bening merebak di ujung mata Erika.

"Sejak dari rumah sakit, dia enggak pulang ke rumah. Paling hanya seminggu sekali lihat Abhy," lirih Erika.

"Abhy?" Marissa merunduk, sedikit menyingkap kelambu yang menutupi kereta bayi. "Masya Allah, cantiknya, sudah besar, siapa namanya?" tanya Marissa.

"Abhy Benetta Herman," jawab Erika tersenyum bangga.

"Cantiknya, halo, Abhy," sapa Marissa.

"Marissa!!" panggil Bian. Tergesa-gesa ia mendorong troli belanja lalu menarik tangan Marissa. "Aku sudah selesai, ayo pulang!!" perintahnya panik.

"Malam, Mas," sapa Erika.

Bian hanya mengangguk pelan, tidak bisa sembunyikan rasa kesal. "Ayo!" ulangnya lagi.

"Iya. Erika, aku duluan, ya? Dah, Abhy," pamit Marissa.

Di pelataran parkir, Bian memasukkan tas belanjaan ke dalam bagasi kemudian masuk ke mobil lalu membantu Marissa memasang sabuk. Sebelum menyalakan mesin mobil, ia sempat melirik Marissa yang terdiam.

Setibanya di rumah, Marissa membawa tas kerja Bian, sedangkan Bian menjinjing tas belanjaan.


Sekali lagi wajah Erika melintas dengan cepat. Marissa kembali menatap Bian. Mereka berdua telah sama-sama berjanji untuk menjauh dari masa lalu, tetapi Erika ....

Bian meletakkan dua tas belanjaan di atas meja dapur. "Suruh Mbok Siti saja yang beresin, setelah kamu mandi, langsung tidur," titahnya.

"Iya, Mas," jawab Marissa lalu mengeluarkan kotak jus jeruk dari kulkas.

Sejenak ia terdiam. Lagi-lagi wajah Abhy termasuk senyum Erika mengusik hatinya.

Apa yang kamu lakukan, Samuel? batin Marissa.


"Aku tahu apa yang kamu pikirkan. Jangan coba untuk ikut campur lagi dalam masalah mereka!" ancam Bian.

Ucapan Bian menyentak hatinya. Marissa kembali meletakkan gelas kemudian mendekati Bian.
"Mas, kasihan Erika, kamu liat sendiri, 'kan? Dia kacau banget! Maksud aku, enggak seharusnya Samuel gitu sama istrinya!" bela Marissa.

Bian menggebrak meja cukup kencang. "Aku sudah katakan! Berhenti ikut campur! Semua yang terjadi karena kamu enggak bisa berhenti ikut campur! Semua yang terjadi pada Erika, itu bukan tanggung jawabmu untuk meluruskan semuanya! Berhentilah!" marah Bian. Marissa tertegun. Jantungnya berdentum kencang melihat luapan emosi Bian. "Biarkan kita tetap seperti ini. Aku mohon padamu, jangan ... membuatku menyerah," mohon Bian.

Malam itu berlalu dengan sebuah kecemasan di hati keduanya. Dinding yang dibangun Bian, perlahan dikikis oleh Marissa.

Keesokan harinya Bian mencoba mengawali hari itu dengan membuatkan roti panggang cokelat kesukaan Marissa. Sedari subuh ia sudah sibuk di dapur.

Marissa memoles bibir tipis-tipis kemudian meraih dasi juga jas tanpa lengan di atas tempat tidur. Aroma lezat membuatnya bergegas menuruni anak tangga.

Bian tampak menggemaskan saat mengenakan celemek berwarna cerah. Dia tersenyum saat Marissa mendekat.

"Duduklah, aku yang siapkan sarapan."


Marissa mengangguk setuju kemudian menyampirkan pakaian di sandaran kursi lalu duduk dengan manis sembari terus memperhatikan Bian.

Bian meletakkan sepiring roti panggang, susu hangat juga potongan buah apel kemudian duduk di kursi yang bersebelahan dengan Marissa lalu menyesap secangkir kopi kental. Matanya tetap tertuju pada dia yang tercinta. Merekam setiap gerakan wanita itu. Luka di hati mendadak kembali terasa nyeri saat logikanya bertanya 'akankah kamu menatap wajah itu setelah dia melahirkan anak yang ternyata bukan milikmu?'

Selepas menikmati sarapan., Marissa membantu Bian mengenakan dasi. Ia menyukai kegiatan sepele yang sudah belasan tahun dilakukan.

"Kamu cantik sekali," puji Bian kemudian mengecup dahi Marissa.

"Katanya, kalau wanita sedang hamil, dia jadi jauh lebih cantik," timpalnya.

Bian menjawil hidung Marissa. "Kamu tetap cantik, sebelum hamil juga cantik," godanya lagi lalu mengecup bibir Marissa.

"Lipstik aku nempel di bibir kamu," ujarnya lalu menyeka bibir Bian.

"Biar saja," sergahnya kemudian kembali mengecup bibir Marissa.

"Mas, ih, malu sama Mbok Siti," elaknya.

Siti yang sedari tadi memperhatikan keromantisan mereka, merasa malu sendiri, ia berharap kedua majikannya itu tetap mesra seperti itu.

Bian dan Marissa menghidupkan udara. Canda tawa mengisi setiap kekosongan antar keduanya. Kemesraan itu tidak hilang meski telah berada di lobi kantor. Marissa merangkul lengan Bian. Membiarkan semua menatap dengan iri. Termasuk sepasang mata yang membenci senyum itu. Dia bersumpah akan merebut kembali bagian miliknya.

***

Semua yang duduk di ruang pertemuan, menunggu keputusan akhir pimpinan rapat. Sudah hampir dua jam perdebatan ini tidak juga menemui kata sepakat.

Marissa melambaikan tangannya pada Lusi, dengan cekatan Lusi mendekat lalu mendengarkan bisikan Marissa kemudian bergegas pergi sesuai perintah.

"Sebagian warga sudah setuju, tetapi masih ada beberapa yang bersikeras enggan menjual lahan perkebunan. Larangan dari pihak pemda untuk enggak menggusur lahan persawahan menambah masalah," ungkap Samuel.

"Kita sudah melakukan negosiasi dengan pihak Pemda. Memang masih alot, tapi mereka tetap terbuka untuk mengajukan pilihan yang lain, termasuk memutar akses jalan menuju perumahan. Jadi, areal persawahan enggak terganggu," balas Suheri.

"Saya rasa sudah hampir delapan puluh persen warga setuju. Jadi, sepertinya aman untuk mulai meratakan lahan dan sebagainya. Proyek ini sudah mangkrak hampir setengah tahun, kita enggak mungkin menunda-nunda lagi," tambah Arisetya.

"Salah satu pemilik lahan yang menolak digusur adalah pemangku adat, rasanya sulit bila melakukan aktivitas tanpa ada konflik. Biaya keamanan dan lain-lain akan membengkak, mungkin kita harus menambah biaya tak terduga," tambah Danu-manajer keuangan di perusahaan Bian.

"Konflik tetap akan ada. Bila proyek ini enggak segera jalan akan sulit bagi kami, tim pemasaran untuk melakukan strategi selanjutnya," tambah Ruslan.

"Seharusnya Anda bisa menyelesaikan masalah ini tanpa berlarut-larut," sindir Bian sembari menatap Samuel. "Pak Suheri, apa ada yang bisa dilakukan untuk membujuk pemangku adat yang disebut Pak Danu?" tanya Bian.

"Sejauh ini belum ada cara lain, Pak," jawab Suheri.

Lusi memasuki ruang rapat kemudian memberikan beberapa lembar kertas pada Marissa.


Marissa tersenyum lalu menyerahkan lembaran kertas itu pada Bian.

"Namanya Utsman Djafar, lebih dikenal dengan sebutan Abah Utsman. Beliau adalah salah satu Kiai Ageng di sana. Terakhir kali kami bertemu, beliau secara enggak langsung setuju untuk membantu memajukan daerah Ciodeng, terlebih isu desakan percepatan pembangunan tol Bosuciba dari Pemda ke pemerintahan pusat. Kita harus cepat melakukan pembangunan untuk menambah nilai jual," tutur Marissa.

Bian menatap istrinya. "Lalu? Apa yang bisa kita lakukan?" tanya Bian.

"Dia enggak menjawab secara gamblang, hanya saja memang beberapa akses menuju Ciodeng sangat buruk, juga ada keinginan dari warga untuk membangun tempat peribadatan lebih layak di sana. Aku rasa bisa jadi pertimbangan baik bila kita mampu merangkul mereka dengan cara itu. Abah Ustman pasti bisa membantu bila kita mampu mewujudkan impian warga," lanjut Marissa.

"Wah, Ibu Marissa sampai sudah riset sejauh itu, hebat!" puji Arisetya sembari mengacungkan kedua jempol.

"Usulan ini akan saya pertimbangkan lagi. Enggak ada ruginya untuk membangun fasilitas yang kelak akan membantu warga sekitar," ujar Bian sembari mencermati tulisan di lembaran kertas dari Marissa.

"Bisa dikatakan Ibu Marissa memang seharusnya tetap pegang proyek ini, bersama saya," pungkas Samuel.

Semua tiba-tiba menatap Samuel. Arisetya berdeham kencang kemudian menyesap minuman di hadapannya.

Bian melengkungkan senyum, mencondongkan tubuh ke aras Samuel. "Bapak Suheri bisa melakukan tugasnya sebaik Ibu Marissa, bila saja Anda mau bekerja sama dengan baik," sindirnya.


Suheri terbatuk-batuk kecil, kaget mendengar curhatan-nya diungkap Bian.

"Baik, hari ini selesai. Ibu Marissa bisa kirim data Abah Ustman ke Pak Suheri. Mungkin lusa Pak Suheri bisa mengunjungi beliau ditemani Pak Arisetya. Baik, terima kasih atas waktunya. Hasil pertemuan hari ini akan Tya email secepatnya. Silakan beraktivitas kembali," ujar Bian menutup pembicaraan.

Semua bergegas meninggalkan ruang pertemuan. Tanpa sengaja Marissa melayangkan pandang pada Samuel lalu bergegas pergi bersama Lusi.


Bian tetap memandang tajam Samuel. Ia masih memiliki cakar serta taring kuat untuk mencabik musuh. Rahangnya mengeras. Seluruh urat di tubuhnya kembali hidup.

"Ingat kesepakatan kita. Jangan coba mencuri waktuku dengan Marissa, selamat siang," ancam Bian sembari pergi meninggalkan Samuel sendirian.

Samuel mengepalkan tangan, gemeletuk giginya menyiratkan rasa benci juga kekecewaan. Demi apa pun yang ada di dunia ini. Ia bersumpah! Marissa akan menjadi miliknya. Meski harus mengorbankan nyawa. Itu akan ia lakukan.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top