Bab 14 -Kesepakatan-

Tanggung jawab adalah sesuatu yang terkadang harus dipikul meski menyakiti diri sendiri.



"Dia dehidrasi, tekanan darahnya tinggi, asam lambung naik, denyut jantung bayi melemah dan ada sedikit lebam di pipi Ibu Marissa," Mieke menarik napas panjang, berusaha tetap profesional dan tidak menyalahkan Bian.

"Apa ini berbahaya?" lirih Bian.

"Pak, mari bicara dulu mengenai dunia medis. Pertama, dampak depresi pada ibu hamil akan menambah produksi hormon kortison yang menyebabkan menyempitnya pembuluh darah dan yang terburuk adalah berkurangnya pasokan oksigen pada janin. Kedua, dampak dari rasa cemas yang berlebihan pada ibu hamil akan menambah risiko kelahiran prematur, memburuknya kondisi janin," ungkap Mieke, "kehamilan di usia lebih dari empat puluh tahun menambah tingginya angka kematian ibu beserta janin," tambahnya.

Bian menunduk, menyesali semua perbuatannya.

"Sekarang, izinkan saya bicara sebagai sahabat kalian. Pak, sekarang Marissa enggak bisa lagi hanya memikirkan diri sendiri. Bapak bisa membunuh dua orang dengan satu lembaran batu!" marah Mieke.

Cicit tangis Bian kini terdengar makin kuat. Sebenarnya Mieke benci keterikatan batin dengan pasien, tetapi kasus Bian membuatnya tidak bisa diam saja.

"Sudahkah jujur pada Marissa? Kalau mau dia sempurna, jadilah sempurna untuknya. Bersabarlah, tunggu sampai dia melahirkan. Setelah itu, terserah, mau terus bersama atau berpisah,” lanjutnya lagi.

"Aku hanya takut," gumam Bian.

"Dia juga merasakan hal yang sama! Pasti sama, Pak! Marissa bukan hanya menggenggam satu nyawa! Saya enggak mau ikut campur terlalu dalam dan enggak akan berkata apa pun pada Marissa. Bapak adalah seorang imam yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban. Jangan siksa Marissa hanya untuk menepis rasa takut!" mohonnya.

Kali ini Bian benar-benar menunduk. Sejenak mengeluarkan tangis, berkompromi dengan semua yang berkecamuk antara hati juga logika. Hatinya meronta—meminta untuk tetap menjaga, tetapi logikanya menolak.

Ia keluar dari ruangan Mieke dengan perasaan gamang kemudian kembali duduk di kursi tepat di samping ruangan itu. Matanya bengkak. Mungkin, setiap orang yang berlalu-lalang di hadapannya turut bertanya, apa gerangan yang membuat pria itu patah hati?

Bian mendongak, ditatapnya langit-langit rumah sakit. Berharap ada satu jawaban pasti di atas sana kemudian semuanya melesat dengan cepat. Senyuman pertama, genggaman tangan, ciuman, rangkulan.

Semuanya mengobrak-abrik pertahanan. Ia tentu tidak ingin menghancurkan semua demi satu kemungkinan yang semu. Dirinya ada di hati Marissa. Ya, itu diyakini selama belasan tahun. Pun sesuatu yang diharapkan berlangsung hingga ajal menjemput.

Bian kembali menarik napas. Berharap udara yang mengisi paru-parunya memberikan satu kelegaan dalam artian nyata. Ia beringsut dari dinginnya kursi besi. Berjalan gontai menuju ruang perawatan Marissa. Perjalanan cinta keduanya bukanlah satu yang mulus. Berbagai rintangan, pengorbanan, semua dibayar dalam satu tarikan napas dalam melafazkan ijab kabul. Mengikat satu janji untuk selamanya.

Bila memang harus berakhir. Ah, tidak! Ia tidak ingin berakhir.

Kini ia terdiam mematung di depan ruangan perawatan. Setelah ia masuk. Maka tidak akan ada jalan untuk mundur atau mengeluh lagi.
Ia membuka pintu, melangkahkan kaki menuju semua yang sedang memandangi wajahnya. Namun, ekor mata Bian tertuju pada Marissa. Bian coba tersenyum saat duduk di samping Arisetya.

"Mas, apa kata dokter?" tanya Arisetya, tetapi Bian hanya terpaku menatap Marissa yang sedang disuapi Asmarini.

Asmarini berdeham, itu berhasil membuat Arisetya bungkam. Ia paham kalau putranya masih menimbang satu keputusan besar. Sebagai seorang ibu, nalurinya tajam menangkap semua resah yang terpancar dari sorot mata Bian.

Anissa mengusap pelan tangan putri semata wayangnya. “Rissa, kamu udah enakan?” tanyanya cemas.

Marissa hanya sanggup mengangguk pelan.

“Anak adalah salah satu amanah yang dititipkan Illahi. Semua sudah digariskan dengan cobaan-cobaan yang pasti bisa dilalui. Dia dikandung selama sembilan bulan sepuluh hari. Disusui selama dua tahun. Dicintai selamanya. Apa yang terjadi di antara kalian, sepatutnya enggak boleh membahayakan dia yang harus menanggung kesalahan yang enggak diperbuat,” tutur Asmarini.

Bian juga Marissa menunduk lemas.

"Selama ini, walaupun masih dalam kandungan. Dia cukup mengerti, merasakan apa yang terjadi pada kedua orangtuanya. Apa pun itu, enggak ada alasan bagi kalian menyiksa bayi ini! Dia cucu Bunda, walaupun sedikit, Bunda tetap mempunyai hak atas dirinya!" tambah Anissa.

“Seberat apa pun masalah kalian, anak ini enggak bersalah,” lirih Asmarini.

Tiba-tiba Bian bangkit, bersimpuh tepat di kaki Asmarini.

"Ibu, Bian minta maaf," lirih Bian.

"Bian, Ibu tahu kamu adalah seseorang  yang selalu memikirkan semua sebelum bertindak. Apa pun masalah kalian, bersabar. Kalian jangan membunuh bayi ini demi keegoisan!" marah Asmarini.

"Ibu, Bian minta maaf!” ulangnya disertai isak tangis tertahan.

"Bian, Ibu enggak pernah mau ikut campur. Ya, Ibu tahu masalah itu, Marissa adalah wanita yang bisa menjaga martabatnya! Percayai istrimu!" lanjutnya lagi.

Bian menunduk lebih dalam. Menahan deras air mata yang membuat matanya panas. Semua perkataan Asmarini dan Anissa, benar adanya. Bayi itu tidak bersalah. Marissa, apa dia bersalah? Apa karena merasa disakiti maka ia berhak menyalahkan Marissa? Namun, ada rahasia yang ia genggam sendirian.

Ia memberanikan diri menatap Marissa. Wanita itu menahan rasa tangis juga takut. Kebodohannya harus dibayar mahal. Dia tidak akan pernah bisa tidur dengan lelap lagi.

Asmarini membantu Bian untuk bangkit. Dipeluknya erat-erat. Membisikkan kalimat-kalimat penenang yang dibutuhkan oleh putranya. Berharap Bian menjadi seorang ksatria yang akan memenangkan pertempuran ini.

"Sudah hampir magrib. Marissa, Ibu pulang dulu, ya? Aris, ayo,” ajak Asmarini.

Asmarini melepaskan pelukannya. Kemudian menatap Marissa. Ia juga mengerti apa yang kini dirasakan menantu kesayangannya. Semua yang telah terjadi di antara mereka. Tidak mungkin bisa mengikis rasa cinta antar keduanya.

“Bunda juga pamit, besok pagi, Bunda datang lagi. Kamu jangan lupa makan,” tambah Anissa.

"Mas, Mbak, aku sama Ibu pamit,  nanti habis Nastiti pulang kerja, katanya mau mampir ke sini. Assalamualaikum," tuturnya lalu pergi mengikuti jejak langkah Asmarini dan Anissa.

Kini keduanya terdiam. Bersiap saling mengucapkan kalimat-kalimat. Namun, air mata malah meleleh di kedua pelupuk mata Marissa. Ia menunduk. Tangannya ikut gemetar saat menyentuh perut. Berharap bayinya mau memaafkan.

Kali ini, Bian menatap mereka. Ya, mereka. Kini bukan hanya satu orang saja yang wajib ia lindungi. Perlahan, sangat pelan, ia mendekati Marissa kemudian duduk di ranjang lalu membelai rambut istrinya. "Maafkan, Mas," lirihnya.

Kalimat itu menghancurkan—menghantam lubuk hati Marissa. Bian tidak bersalah, tidak sepatutnya dia meminta maaf. Ia menatap Bian. Didapatinya tatapan teduh yang menaungi semua rasa gundah. Satu isak terlepas dari bibirnya.
Marissa menghamburkan tubuh pada dada Bian. Meluapkan semua yang dirasakan. Memeluk erat pria yang amat dicintai. Satu-satunya yang dicintai.

"Malam itu, apa yang terjadi? Kali ini aku akan mendengarkan kamu, aku akan mempercayai semua ucapanmu," ucap Bian.

Marissa diam. Ia bingung. Namun, ini kesempatan untuknya berkata jujur, meluruskan sesuatu.
“Malam itu ....”

Kalimat itu tertahan saat ia mendengar debar jantung Bian terasa kuat, juga pelukan Bian makin erat. Ia sendiri tidak yakin dengan apa yang terjadi. Malam itu, memang sepertinya Samuel berhasil melecehkan dirinya.

Namun, akankah Bian mampu menerima semuanya? Lalu bagaimana dengan bayi ini? Apa memang ini milik Samuel? Kalau iya, maka semuanya akan hancur, bukan hanya Bian, tetapi seluruh keluarga Soejarmoko.

Ia tak sanggup.

“Katakan, Marissa.” Bian mengulang ucapannya. Terdengar pelan, sedikit memaksa.

"Mas, malam itu, memang Samuel mengantar aku kembali ke kamar, lalu ... dia pergi lagi." Marissa menelan kebohongannya.

Setelah melahirkan, ia akan melakukan tes DNA. Bila anak ini bukan milik Bian, biarlah Bian sendiri yang memutuskan  untuk tetap bersama atau berpisah.

Namun, untuk saat ini, sungguh, ia tidak bisa, tidak mau kehilangan Bian.

Bian mengelus punggung Marissa. Beban di pundaknya tak juga berkurang, dadanya masih sesak. Namun, ia coba untuk melengkungkan senyum.

Yang terpenting adalah pengakuan yang terucap dari bibir istrinya, bukan yang lain.

"Ya, aku percaya kamu. Tolong, maafkan aku,” lirih Bian sembari mengelus lembut kepala Marissa.
Marissa mengangguk. Keduanya larut dalam isak tangis dari bibir Marissa. Tanpa disadari, Bian coba memikul semua sendirian. Ia menyadari satu kewajiban sebagai seorang suami, dan ayah.

***

"Assalamualaikum," ucap Nastiti ketika membuka pintu kemudian meletakkan sekotak buah-buahan segar lalu mencium tangan Marissa juga Bian. "Maaf, Mbak, aku baru datang, macet banget," keluhnya.

"Iya, enggak apa-apa, ngerepotin,” jawab Marissa.

Bian lega karena Marissa bisa kembali tersenyum. Kini, ia hanya ingin melihat senyuman itu. Bila memang harus terbakar, maka ia akan memilih terbakar sendirian.

Satu janji dengan Allah telah ia ucapkan di hadapan semua yang memberikan restu. Sebuah janji akan dijaga untuk terus ditepati.
Tujuan awal pernikahan mereka. Bian akan kembali coba menggenggam janji itu. Walaupun penuh dengan beling, berdarah-darah, luka bernanah bahkan bila harus penuh dengan belatung. Maka akan ia jalani.

Namun, Samuel, dia pasti akan menganggu istrinya lagi.

Bian melirik Nastiti. "Kamu harus pulang cepat, enggak?” tanyanya.

"Enggak, Mas. Aku sudah izin sama Mas Aris,” jawab Nastiti.

Sejenak Bian tertegun kemudian berjalan sedikit menjauhi mereka. Ia merogoh ponsel dari saku jaket, terlihat menelepon seseorang.

"Halo, di mana? Baik, ya, aku ke sana, sekarang," Bian kembali mendekati Marissa, air wajahnya berubah  serius. "Sayang, aku pergi dulu, sebentar.  Nastiti, Mas titip Mbak Rissa, ya?" Nastiti mengangguk cepat.

Sikap Bian yang mengelus lembut pucuk kepalanya, membuat Marissa curiga. "Mas!" panggilnya sembari menarik tangan Bian.

Ada setangkup cemas yang tiba-tiba merangkul sanubari Marissa. Tatapan mata Bian kembali membuatnya takut.

"Sekarang, waktunya kamu juga percaya sama aku, sebentar saja," lirih Bian.

“Mas,”

Bian melepaskan genggaman tangan istrinya. “Aku tidak akan lepas kendali lagi, percayalah,”
Kali ini Marissa hanya bisa mengangguk pelan kemudian melepaskan kepergian Bian.

Bian mempercepat langkahnya, sesekali berlari kecil menuju tempat parkir rumah sakit kemudian tergesa memasang sabuk pengaman. Suara deru mobil membuat hatinya ikut bergemuruh. Ia menekan tuas persneling, mulai melaju meninggalkan rumah sakit, kali ini tidak ada jalan untuk kembali.

Mobilnya melesat di jalanan padat ibu kota. Menyalip kendaraan yang melaju kencang. Dadanya naik turun karena menahan amarah. Sesekali rahangnya kembali mengeras. Ia mendadak takut tidak bisa menahan diri.
Lampu temaram bar di daerah Penjaringan, Jakarta Utara, memaksa Bian untuk menatap lebih teliti, menyusuri setiap wajah yang terlihat saling melepas kegembiraan dengan rona merah di pipi.

Bian masuk lebih dalam, tempat ini boleh dikatakan tidak sesuai dengan kesukaan Samuel yang senang tampil glamor. Beberapa pramusaji berpakaian mini terlihat bergelayut manja di paha lelaki yang sudah pasti bukan suaminya.

Pandangan Bian tertuju pada sosok yang duduk di deretan kursi bartender. Sekali lagi berjanji dalam hati, untuk menahan diri kemudian duduk di sampingnya. Matanya tertuju lurus pada deretan botol-botol berisi cairan penuh kenikmatan semu.

"Cepat sekali, ngebut?” tanya Samuel. Ekor matanya sedikit melirik pria yang pernah ia kagumi kemudian menyesap cairan bening keemasan dari seloki hingga tandas.

"Kamu mabuk?" terka Bian.

"Sedikit," jawab Samuel, "jadi, ada apa? Mau menghajar aku lagi?" sindirnya.

"Maaf atas kejadian kemarin. Kamu terluka karena aku." Logika Bian memberontak. Seharusnya ia meraih satu botol minuman lalu menghantam kepala pria yang dicurigai sudah menodai istrinya.

"Luka yang aku berikan padamu, rasanya belum sebanding dengan sakit ini," selorohnya sembari menunjuk bagian wajahnya yang masih tampak lebam.

Bian menahan diri walau tangannya sudah terkepal lebih erat. Andai saja ia bisa meneguk minuman itu lalu melupakan semuanya.

"Aku rasa kamu masih waras untuk membicarakan masalah ini,” pungkas  Bian.

"Ya, aku rasa begitu, aku masih waras. Jadi, kamu sudah menyerah dan akan menyerahkan dia?" tebak Samuel.

Kali ini Bian tertawa. Sungguh mengasihani pria yang duduk di sampingnya. Dia yang tidak pernah menyadari bahwa menginginkan sesuatu yang mustahil.

"Munafik. Haruskah mengorbankan banyak hati hanya untuk mengatakan kalau tidak bisa kehilangan Marissa,” cibir Bian.

Samuel tertawa. "Ya, aku memang munafik, seharusnya aku enggak pernah melepaskan dia," akunya.

Samuel sudah gila! Pria itu sudah gila!
"Marissa sakit," ujar Bian.

Sesuai dengan dugaan, Samuel menatap nanar dirinya, ikut khawatir akan kondisi Marissa.

"Sakit? Bagaimana kondisinya?" tanyanya cemas.

"Sudah lebih baik, Marissa sudah mengatakan apa yang terjadi pada malam itu. Terima kasih karena sudah mengantarkan dia ke kamar, lalu menghormati dia sebagai sahabat, kadang Marissa enggak bisa menahan diri saat mabuk," tutur Bian.

"Itu yang dikatakannya?" tanya Samuel setengah tertawa.

Bian ingin menghancurkan wajah itu. Detik ini juga. "Ya dan aku mempercayai itu. Bolehkah aku meminta satu hal padamu?"

Samuel menatap Bian, hatinya mengutuk, ia akan mendengarkan semua ocehan Bian. Namun, sumpah demi apa pun, ia tidak akan menyerahkan Marissa juga bayi yang dikandungnya pada Bian.

Kali ini Bian coba menegosiasikan arah hubungan yang memang tidak pernah terjalin. Walau dihantam tatapan sinis Samuel, ia tidak pernah merasa terintimidasi. Pertaruhan ini akan ia menangkan. Persis seperti dulu memenangkan hati Marissa. Ia mengenal wanita itu jauh lebih baik dari Samuel. Hal yang tidak boleh terlupa adalah kenyataan hati juga raga Marissa miliknya seorang.

"Aku minta biarkan semuanya mempercayai apa yang dikatakan Marissa. Jangan ada lagi kejadian seperti kemarin. Bersabarlah sampai dia melahirkan. Kondisi kehamilannya enggak baik, berhentilah,” mohon Bian.

"Jadi, kamu juga enggak percaya Marissa?" sindir Samuel, "seharusnya kamu berikan petuah itu untuk dirimu sendiri!" seru Samuel.

Rahang Bian kembali mengetat sekujur tangannya ikut gemetar."Kamu mencintai Marissa?" tanya Bian.

"Apa aku harus menjawabnya?" sindir Samuel.

"Aku rasa kamu setuju dengan usulku. Aku pergi!" pamit Bian sembari bangkit dari kursinya.

"Bian!”

Langkah Bian terhenti. Namun, ia tidak punya cukup kekuatan untuk kembali menoleh dan menatap Samuel.

“Jangan cegah Marissa untuk pergi, bila dia ingin kembali padaku!" tegas Samuel.

"Aku akan memastikan hal itu enggak akan pernah terjadi. Marissa mencintaiku." balas Bian.

Bian melepaskan semua resahnya saat sudah duduk di balik kemudi. Berkali-kali ia memukul setir juga berteriak. Berharap sedikit beban itu bisa terangkat. Namun, tidak ada yang bisa ia bohongi. Hatinya semakin sakit.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top