Bab 12 -Klarifikasi-

Hubungan suami-istri bukan sekadar milik mereka saja.

"Masuk," titah Bian saat mendengar ketukan pintu.

Arisetya tersenyum dari balik pintu lalu mendekati kakaknya. Sebenarnya ia enggan melakukan ini, tetapi rasa penasaran juga takut benar-benar sudah menguasai.

Di keluarga Soejarmoko sudah tercipta satu kondisi yang menjadi kesepakatan bahwa tidak berhak bertanya bila memang si Empunya masalah tidak mau bercerita.

Dalam kasus ini, rasa khawatir Arisetya mengalahkan tradisi itu. Ia sudah duduk di hadapan Bian, memasang wajah serius, berharap kali ini kakaknya mau menjawab semua secara jujur.

“Ada apa, Ris? Tumben, jam segini kamu sudah ke kantor pusat,” tanya Bian.

“Mas, lagi sibuk, ya? Begini, Mas,” ujarnya ragu.

“Kenapa? Enggak biasanya kamu kaya gini,” tanya Bian sementara matanya tetap terpaku pada lembaran dokumen.

"Mas, begini, katanya dua hari yang lalu istri direktur Jaya Konstruksi buat keributan di sini. Benar, Mas?" tanya Arisetya sembari memainkan ujung meja Bian.

Bian sedikit menurunkan kacamata, menatap adiknya dengan curiga. "Kamu tahu dari mana?" tanyanya.

Seperti petasan yang tersulut. Arisetya mulai membombardir Bian dengan banyak pertanyaan.

"Kejadian Erika labrak Mbak Marissa, benar. Lalu, soal bayi itu, tentu saja salah,” jawab Bian dengan tegas.

Arisetya diam.

Bian berusaha untuk tersenyum, matanya kembali pada helai kertas yang masih digenggam. Ia sedang meninjau ulang kontak kerja sama dengan pihak Jaya Konstruksi. Setelah kejadian kemarin, tentu saja ia enggan berurusan lagi dengan Samuel. Walau ini mencederai prinsipnya tentang sikap profesionalisme. Namun, hal ini layak untuk dipertimbangkan. Ia tidak ingin, kelak Samuel masih bisa mondar-mandir di perusahaannya.

"Soal bayi itu, apa ... Mas yakin?" Arisetya memelankan suaranya, khawatir Bian akan merasa tersinggung.

Bian meletakkan kembali helai kertas itu lalu melepaskan kacamata untuk menatap Arisetya secara langsung. Tepat beradu mata.

“Maksud kamu apa?”

Arisetya menelan ludah, khawatir Buan akan murka. “Maksud aku, tuduhan Erika tentang bayi Mbak Rissa,”

"Sekarang, Mas tanya balik. Kamu enggak percaya sama Mbakmu? Kamu ragu sama dia?" cecar Bian.

"Maksud aku, kadang ada kesalahan yang enggak sadar kita lakukan," lirih Arisetya.

Bian mengernyit. "Maksudnya? Kamu ngomong muter-muter. Maksud kamu apa, Ris?” desak Bian.

"Mas, ingat enggak pesta ulang tahun Peter Smaug beberapa bulan yang lalu?” tanyanya.

Bian terdiam kemudian kembali menatap Arisetya. “Ya, Mas ingat,”

“Dulu, Nastiti hadir, dia sempat lihat Mbak Marissa minum wine yang disajikan!"

Rahang Bian mengeras. “Maksudnya?”

"Mas, sayangnya Nastiti enggak ketemu lagi sama Mbak Rissa, hanya saja ada yang bilang kalau Pak Samuel bantu Mbak Rissa kembali ke kamar.”

Satu jawaban akan pertanyaan yang selama ini dibisikkan hati Bian seakan menemui jalannya. Ia menatap Arisetya, tak percaya.

“Enggak yakin, sih, tetapi malam itu sepertinya mereka tidur satu kamar," Arisetya memelankan suaranya di ujung kalimat. "Aku khawatir mereka enggak sadar dengan apa yang sudah dilakukan,” tambahnya.

Bian sungguh berusaha keras untuk berpikir serta memaksa tubuhnya berhenti gemetar. Sejenak ia memejamkan mata, lalu kembali menatap Arisetya.

“Ris, Mas ... enggak tahu soal itu, soal ....” Bian kembali tertunduk. Jantungnya seakan dihunus ribuan pedang.

“Mas, Aris enggak tahu, ini semua baru gosip, Mbak Rissa bisa kasih jawabannya,” lanjut Arisetya.

Berkali-kali Bianenarik napas dalam-dalam. “Kalau hal itu benar terjadi, Marissa pasti cerita sama Mas dan soal wine, dia melakukan itu untuk menjaga kredibilitas Soejarmoko Grup,” bela Bian, “kamu tahu perangai Peter Smaug, ‘kan?” tambahnya berusaha menstabilkan deru napas.

“Mas, tapi—“

"Ris, kalau kita sebagai keluarga enggak mau percaya, siapa lagi yang bisa percaya?” potong Bian..

“Ya, maksud aku, Mbak Rissa bisa  klarifikasi, minimal ke Mas,” tegas Arisetya.

"Untuk apa? Aris, apa Nastiti dengar ini dari Erika? Kamu yakin ini benar atau hanya karangan saja? Mas tahu mereka cukup dekat, tapi itu bukan satu alasan kalian untuk menyalahkan Marissa!" lanjut Bian yang mulai terpancing emosi.

"Bukan gitu, Mas. Ya, memang kalau kejadian itu terjadi, Mbak Rissa pasti cerita sama Mas, tapi di sini, kita harus bertindak, mencari yang salah dan benar,” debat Arisetya.

"

Kamu pernah mikirin perasaan Mbak Rissa enggak sih? Bagaimana kalau dia dengar hal ini? Aris, Mas enggak cari yang salah juga benar! Mas enggak mau bahas hal ini terus! Mas, cuma pesan supaya ibu enggak dengar berita ini, pasti ada yang senang kalau keluarga kita diterpa musibah! Mas mau, kamu dan keluarga yakin dengan apa yang Mas yakini, yaitu anak yang dikandung Marissa adalah darah daging Mas!" Bian menatap mata Arisetya, mencoba menepis kecemasannya sendiri. "Mungkin saat itu Marissa berada di tempat juga waktu yang salah, tetapi tolong, jangan curigai kami," lirihnya.

Marissa menggenggam erat kotak makan siang di depan pintu ruangan Bian. Mendengarkan perdebatan akan dirinya. Kejadian yang benar terjadi. Rahasia itu, yang dikatakan adik iparnya adalah kebenaran.

Hal yang tidak pernah mampu dibicarakan dengan suaminya.

Ia sedikit menggigit bibir lalu membuka pintu ruangan Bian. "Mas, eh, ada Aris. Sudah lama di sini?” Marissa memutar mata saat Bian menatap senyum paksanya.

"Eh, lumayan, Mbak," jawab Arisetya sambil menggaruk belakang kepalanya.

"Kamu lupa bekal makan siangmu, Mas,” Marissa meletakkan dengan hati-hati bekal makan siang Bian. "Ada di jok belakang," tambahnya lagi.

"Iya, aku lupa, maaf. Eh, gimana pertemuan kamu sama pemasok kita di Bintaro tadi?" Bian harap pertanyaan ini mampu menepis kecanggungan dirinya dengan Arisetya.

"Alhamdulillah lancar, Aris, gimana kabar Nastiti? Katanya minggu lalu dia baru pulang dinas dari Pekanbaru, ya?" tanya Marissa seolah ia tidak mendengar pembicaraan mereka.

"Iya, Mbak, alhamdulillah!" Aris menyeka peluh karena mulai gugup dengan tatapan tajam Marissa.

Arisetya merogoh saku celana, meraih ponsel lalu tersenyum lega menatap nama Nastiti tertera di layar. "Halo, Sayang. Alhamdulillah!" jawab Aris.

"Iya, loh, ada apa, Mas?" jawab Nastiti di ujung sambungan.

"Ah, enggak! Ada apa?" elak Aris.

"Ini, Mas, aku mau izin, jenguk Erika," ucap Nastiti.

"Erika? Ada apa emangnya?" Marissa juga Bian menoleh kala nama itu disebut. "Oh, ya udah, aku ikut. Nanti aku jemput kamu di kantor. Tunggu. Oke, bye." Arisetya bangkit. "Mas, Mbak, aku pergi dulu, ya?" pamitnya.

"Loh, ada apa?" Bian melirik Marissa yang sepertinya juga ingin menanyakan hal serupa.

"Kata Nastiti kemarin Erika melahirkan, ini mau jenguk. Aku pamit dulu, ya, Mas?"

Sejenak rasa bersalah yang tidak perlu, hadir dalam benak Marissa.

"Aris, Mbak boleh ikut?" pinta Marissa.

***

Bila manusia bisa diberikan satu kesempatan memutar mundur waktu. Bian akan memilih untuk meninggalkan Jakarta. Persis seperti yang dahulu diinginkan Marissa atau tidak memaksanya untuk bekerja satu kantor dengannya.

Alasan ingin selalu bersama ternyata memberikan peluang bagi Samuel untuk bisa kembali merajut asa melalui tali persahabatan.

Pengalaman buruk di masa lalu sudah mereka kubur dalam-dalam, tanpa bisa belajar dari kesalahan. Tanpa sanggup melihat gelora asmara yang masih meletup-letup saat Samuel menatap Marissa.

Bian sedikit melirik istrinya. Ia mengingat kembali semua ucapan adiknya, tetapi Marissa tidak pernah bercerita soal itu. Apa itu hanya kebohongan? Lalu, bila itu benar, apa yang harus ia lakukan?

Arisetya menunduk sambil membawa dua tentengan Erika, dia menahan lirikan sebal dari Nastiti.

Mereka berjalan saling beriringan di lorong rumah sakit. Semuanya merasa cemas.

Nastiti memasuki ruangan dengan sebuah plakat kecil bertuliskan Diamond 1A. Arisetya mengikutiku jejak Nastiti dan tiba-tiba saja Bian menarik tangan Marissa.

"Kamu yakin? Kita pulang saja, ya? Ada sesuatu yang ingin aku bicarakan, ayo, pulang saja," ajaknya cemas.

"Mas, sebentar saja. Ya, aku juga ingin membicarakan sesuatu sama kamu, tapi sebelumnya, kasih aku kesempatan untuk meluruskan masalahku dengan Erika,” tutur Marissa.

"Tapi itu bukan urusan kita, jangan merasa bersalah padanya!" seru Bian.

"Mas, aku janji, setelah ini, kita benar-benar fokus sama kandunganku, anak kita,” mohon Marissa.

Bian mengangguk, tersenyum canggung lalu membukakan pintu untuk Marissa.

Tepat seperti dugaan, Samuel pun Erika terkejut bukan main melihat pasangan itu masuk.
Bian mengucapkan selamat sembari mengulurkan tangannya. Samuel menerima ucapan itu dengan tetap mencuri pandang pada Marissa. Si Pujaan Hati.

"Tadi Mas Aris ada di kantor Mas Bian, jadi ..." Nastiti mencoba untuk menjelaskan, alasan kedua kakak iparnya bisa ada di sini.

Erika tertawa kecil. "Terima kasih, sudah mau jenguk aku," tuturnya.

Marissa tertegun mendapati reaksi ramah Erika sekaligus memberanikan diri untuk mendekat.

"Sama-sama, maaf aku enggak sempat bawa apa-apa,” ucap Marissa sembari meletakkan buket bunga di pangkuan Erika.

"Enggak apa-apa, Mbak, merepotkan saja,” balasnya.

"Jadi, bagaimana keadaan si Kecil?" tanya Bian memecah kebekuan.

"Alhamdulillah, sempat khawatir karena dia enggak langsung nangis, tapi sekarang kondisinya lebih baik," jawab Samuel.

"Marissa, kamu mau jenguk bayinya?" tawar Bian berusaha sebaik mungkin membujuk istrinya agar segera pergi dari sini.

Erika memberanikan diri untuk menatap Bian lalu berkata, "Maaf, apakah kalian bisa meninggalkan kami berdua saja? Mbak Marissa, enggak keberatan, ‘kan?"

Marissa menatap Bian yang terpaksa tersenyum lalu mengangguk pelan.  Baiklah, kali ini Bian akan berusaha memercayai istrinya.

***

Mereka pergi dengan terpaksa. Nastiti tanpa sadar mengentak-entakkan kaki sembari menggigit bibir. Sesekali mengintip dari jendela kecil di pintu ruangan Erika, memastikan sahabat dan kakak iparnya tidak berkelahi.

Arisetya mendekati Nastiti, berbisik pelan, meminta istrinya itu untuk tenang. Tatapan Nastiti menusuknya, sejurus kemudian ia mendapatkan cubitan kencang pinggang. Nastiti kesal! Sangat!
Bian menarik ujung bibirnya saat mendapati Arisetya meringis. Bagus rasanya bagi anak manja itu mendapatkan pasangan hidup yang sedikit galak.

"Kita bisa bicara?" tanya Samuel.

Bian sedikit melirik lalu berjalan pergi mengikuti langkah Samuel.

"Ih! Mas! Kamu gimana, sih! Kok, ajak mereka berdua! Kesel aku sama kamu!!" protes Nastiti saat Samuel juga Bian sudah semakin menjauh.

"Maaf, Dek!” balas Arisetya.

Nastiti kembali menggigit bibir lalu menatap Erika juga Marissa yang sama-sama terdiam sekaligus menerka-nerka apa yang dibicarakan oleh keduanya.

Hal yang sama juga dirasakan Arisetya. Punggung kakaknya sudah tidak terlihat. Permasalahan ini ditekankan Bian sebagai hal sepele. Namun, ia yakin hal ini jauh lebih berat dari yang Bian perlihatkan. Semua sikap gugup Bian, tidak pernah ia lihat sebelumnya. Marissa tidak mungkin sanggup untuk melakukan hal keji itu, 'kan?

Bian dan Marissa sudah menjalani banyak hal sulit. Tidak mungkin melakukan kesalahan bodoh juga memalukan. Terlebih Marissa tahu betul beratnya perjuangan mendapatkan Bian. Pun sebaliknya.

Arisetya hanya bisa berdoa dalam hati. Jangan sampai keluarga Bian hancur karena kesalahpahaman. Jangan sampai hal itu terjadi. Ia tidak bisa membayangkan betapa hancurnya Bian bila bayi itu bukan miliknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top