Bab 08 -Mengulik asa-
Pada hakikatnya kesempurnaan hanyalah milik Allah S.W.T
Harapannya untuk bisa berdamai dengan ancaman Samuel sepertinya hanya angan belaka. Marissa sudah tergulung badai tak kasat mata. Marissa sadar, bila Bian mengetahui masalah ini, maka rumah tangganya bisa ....
Bayang menakutkan itu bahkan hadir dalam setiap mimpi. Tekanan batin ditambah pengaruh dari kehamilan trimester kedua, membuat kondisi Marissa merosot tajam.
Mieke sudah datang untuk memeriksa kondisinya. Bahkan kemarin Marissa sempat dibujuk, agar mau dirawat lebih intensif di rumah sakit.
Marissa mendesah pelan. Ia menatap pintu kamar yang terbuka serta memperhatikan suaminya yang dengan hati-hati meletakkan segelas susu di meja.
“Minum dulu susunya, mumpung masih hangat,” bujuk Bian.
"Kamu berangkat kerja saja, Mas,” tutur Marissa ketika Bian duduk di tepian ranjang.
Bian menghela napas. "Enggak, tadi aku sudah minta Tya untuk antar dokumen ke rumah," tolaknya.
"Aku sudah lebih baik, tadi juga bisa makan bubur, ‘kan?" tambahnya lagi.
Bian memandangi Marissa, dibelai lembut penuh kehangatan pipi istrinya. Ia turut merasakan kesakitan istrinya. Sejenak Bian tertegun karena ucapan Lusi kembali teringat.
“Marissa,” lirih Bian sembari membelai rambut istrinya, "sekarang, katakan padaku. Jujur, apa yang sedang kamu pikirkan? Asam lambung kamu naik karena stres.” Marissa memutar pandangannya, tetapi sekali lagi Bian membimbing ujung dagu Marissa untuk kembali menatapnya. “Ayolah Marissa, katakan, ada apa?" desak Bian.
Marissa menampik tangan Bian. "Aku enggak apa-apa, Mas, sungguh," timpalnya berusaha mencuri kesempatan menolak tatapan Bian.
Bian kembali membimbing Marissa untuk menatap wajahnya, dengan lembut ia menarik ujung dagu Marissa.
"Lusi mengatakan kalau kemarin kamu sempat bertengkar dengan Samuel, ada apa?" Bian tidak tahan lagi. Meskipun Marissa menolak, ia akan bersikukuh meminta penjelasan.
"Apa yang Lusi katakan padamu?" Sikap Marissa yang malah balik bertanya mengguratkan tanda tanya besar.
"Apa perlu aku meminta Samuel datang untuk menjelaskan semua padaku?" tantang Bian.
"Mas, enggak ada apa-apa, dia hanya berkata hal yang—"
"Dia katakan kalau anak ini bukan anakku!" potong Bian.
Napas Marissa tercekat, tubuhnya gemetaran. Bahkan, ia tak sanggup mengalihkan pandangan dari Bian.
"Apa ... kamu meragukan aku?" lirih Marissa.
Bian menyeka air mata Marissa. "Tentu enggak, tapi Samuel punya alasan. Ayolah, Sayang, katakan padaku, ada apa?" tuturnya dengan nada yang lebih pelan.
"Aku sudah katakan! Aku enggak tahu, jangan bahas ini!" sentaknya sembari menahan isak.
Sebelum hilang kesabaran, Bian memilih bangkit kemudian berkata, "Setelah kamu pulih, kita harus tetap membahas hal ini. Sebentar, aku ambilkan buah dulu.”
Selepas menutup pintu, Bian menyandarkan tubuhnya di dinding. Terlihat jelas bahwa istrinya sedang menyembunyikan sesuatu. Beberapa kejadian aneh mulai terpikirkan kembali, salah satunya sikap Marissa yang tiba-tiba murung setelah kembali dari pesta beberapa bulan lalu.
Perlahan ia turun menuju dapur, kemudian meneguk segelas air dingin lalu menatap kosong ke satu titik.
Suara denting bel membuyarkan lamunan. Bian bergegas membuka pintu depan kemudian menyambut kedatangan Asmarini dan Nastiti.
Mereka bergegas menuju kamar Marissa kemudian Asmarini duduk di samping Marissa.
Diusapnya penuh kelembutan perut Marissa, ia mulai mengingatkan menantunya bahwa ada nyawa lain yang juga harus dijaga.
“Bian, enggak perlu mempermasalahkan hal sepele. Perasaan wanita akan jauh lebih sensitif bila sedang hamil,” nasihatnya sembari menatap putra sulungnya.
“Iya, Bu,” jawab Bian.
Asmarini kembali menatap Marissa. Perasaannya mengatakan ada masalah pelik yang disembunyikan dalam sorot mata menantunya itu.
“Kalau ada apa-apa, kamu bida cerita sama Ibu atau Bunda Anissa,” bujuknya lagi.
Marissa mengangguk pelan, meskipun berat, ia berusaha untuk tersenyum serta menghindari tatapan Bian.
Sungguh, hatinya tidak rela kehilangan Bian Rahasia kotor harus tetap tersimpan rapi.
Namun, satu pemikiran tiba-tiba saja muncul bahkan hatinya ikut bertanya siapa ayah dari bayi yang dikandungnya? Apa benar milik suaminya?
***
Hari berlalu, Bian coba untuk memegang apa yang diyakini dan mulai bersikap seperti biasanya. Menganggap tidak pernah tahu sua ucapan Samuel.
Bian mbuka tiap-tiap lembaran arsip yang menggunung di mejanya kemudian dengan cekatan mengamati dua layar monitor di hadapannya.
Rutinitasnya kembali padat. Bian berharap, bisa sedikit mengacuhkan hatinya.
Pun hal yang sama Marissa coba untuk lakukan. Ia meminta Lusi untuk memadatkan semua jadwal pertemuan hingga ia tidak sempat untuk berlama-lama di kantor.
Marissa mengusap layar ponselnya karena mendengar denting pemberitahuan.
Pesan dari Bian. Dia meminta Marissa untuk pulang tanpa menunggu. Sebenarnya, sikap Bian yang mendadak tidak peduli membuatnya sedikit khawatir.
Marissa membalas pesan dari Bian, mengatakan akan pulang bersama Lusi serta mampir ke sebuah restoran. Marissa memasukkan kembali ponselnya ke dalam tas, lalu menghampiri Lusi yang sudah bersiap.
Sepanjang perjalanan menuju restoran. Marissa terus bertanya mengenai saran selama kehamilan, mengingat Lusi sudah memiliki tiga anak.
Pembicaraan menyenangkan itu tiba-tiba membuat Marissa merasa gamang ketika Lusi memuji, pasti bayi itu akan mirip dengan Marissa atau ayahnya—Rakabian Soejarmoko.
Senyum Marissa menghilang. Entah mengapa wajah Samuel tiba-tiba terlintas. Dengan penuh kebimbangan kemudian bertanya, "Lusi, menurutmu, apa bisa seseorang hamil hanya karena sekali saja berhubungan intim?"
"Ah, gimana, Bu?" Lusi berharap salah menangkap pertanyaan atasannya.
"Iya, menurutmu, apa bisa hamil hanya dengan sekali berhubungan intim?" ulangnya lagi dengan wajah yang lebih serius.
"Ah, Ibu, aneh-aneh aja, aku enggak paham kalau yang begituan, mungkin aja bisa, tuh yang suka 'kecelakaan' kadang ngakunya cuma sekali berbuat!" selorohnya.
Marissa mengangguk pelan. Bila itu kenyataannya, apa yang harus ia lakukan? Apakah ini anak Bian?
Hatinya berkata, anak ini adalah milik Bian. Walaupun, malam itu telah terjadi sesuatu, tetapi kenyataannya adalah satu. Anak ini milik Bian. Hanya Bian.
Taksi sewaan itu membawa mereka menuju jalan protokol. Melewati bundaran di sekitar lampu merah, berbelok menuju jalan Abdul Gani. Marissa meminta sopir untuk berhenti di salah satu restoran.
Seorang pramusaji menghampirinya kemudian mempersilakan Marissa juga Lusi untuk duduk di sofa dekat jendela.
“Kamu pesan duluan saja, ya? Aku ke toilet dahulu,” tutur Marissa kemudian pergi.
Marissa membasuh tangannya kemudian membetulkan kemejanya yang sedikit lusuh. Ia mundur selangkah untuk mengamati wajahnya yang tampak sedikit pucat.
"Eh, Mbak Marissa?" sapa Erika ketika memasuki toilet. Keterkejutan Marissa membuat Erika sedikit bingung. “Mbak?" Erika kembali menyentuh lengan Marissa.
“Ah, maaf Erika, aku malah melamun,” elaknya.
“Apa kabar, Mbak? Sendiri saja?” tanya Erika lagi.
“Aku sama teman, kalau kamu?”
“Oh, aku sama Mas Samuel. Sayang sekali, aku baru selesai makan,” sesalnya.
Tengkuknya digigit kebekuan, dengan cepat Marissa berkata, “Iya, lain kali ya? Aku duluan.”
Cepat-cepat Marissa bergegas pergi, napasnya terasa makin sesak kala melihat Lusi sudah duduk nyaman dan beberapa hidangan telah tersaji di meja.
“Lusi, ini sudah dibayar? Kamu ada bill-nya, 'kan? Ayo, pulang!” ajak Marissa.
"I-iya, Bu, ada apa?" tanya Lisa yang kebingungan mendapati Marissa tiba-tiba saja berwajah pucat.
"Kita pulang sekarang!" titahnya, "ayo, cepat!" ulangnya lagi.
Marissa hampir saja terjengkang karena pria itu tiba-tiba sudah ada di sampingnya.
"Kamu enggak bisa menghindari aku seperti ini!" ujar Samuel.
Bola mata Marissa membulat sempurna. "Menghindarimu? Untuk apa aku melakukannya?” sangkal Marissa.
"Tentu saja kamu melakukannya! Termasuk Bian!" sentak Samuel.
"Ibu, ayo kita pergi!" desak Lusi.
"Kamu tahu apa yang aku bicarakan, ‘kan? Termasuk bayi yang sedang kamu kandung!" lanjut Samuel.
"Apa yang kamu bicarakan? Aku enggak mengerti!" sanggah Marissa lagi.
Samuel mendekatkan wajah untuk menatap wanita yang amat dicintai. "Berapa usia kandunganmu?" desaknya, “aku rasa, kamu masih ingat peristiwa malam itu,”
"Samuel, hentikan!” mohon Marissa.
Samuel sedikit menarik ujung bibir. "Apa pun sanggahan darimu, aku akan tetap berpikir janin itu adalah milikku, aku enggak akan menyerahkan kalian!" tuturnya lalu pergi meninggalkan Marissa.
Tubuh Marissa seketika kehilangan tenaga, dengan cepat Lusi menopang kemudian memapah Marissa dengan hati-hati menuju taksi yang kebetulan melintas. Lusi cemas karena Marissa diam seribu bahasa.
"Bu, saya telepon Pak Bian, ya?" tawar Lusi
Marissa menatap Lusi, sejurus kemudian mendekapnya erat-erat lalu menangis sejadi-jadinya.
"Apa menurutmu Mas Bian akan mempercayai aku? Aku sungguh takut, aku takut kehilangan dia!" lirih Marissa.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top