Bab 02 -Flashback-
Mengingat masa lalu, bukan berarti harus hidup di dalam kenangan.
Marissa dan Bian tiba di rumah hampir tengah malam. Terdengar suara klontang dua kali sebagai pertanda para penjaga keamanan perumahan sedang berkeliling, memastikan tidak ada rumah yang dibegal.
Marissa meletakkan ponsel dengan hati-hati di atas nakas. Sedikit malas menuju meja rias, lalu melepaskan satu per satu perhiasan sementara Bian sudah melemaskan punggung di tempat tidur.
"Kamu enggak mau mandi dulu, Mas?" tanya Marissa menatap suaminya dari cermin meja rias.
"
Ah, aku lelah sekali, ganti pakaian saja, lalu tidur," elaknya malas.
Marissa mengernyit, bergegas mendekati dia lalu memaksanya untuk duduk. "Ayolah,” bujuk Marissa.
Bian mengecup lembut bibir Marissa kemudian bangkit serta membuka setelan tuksedo abu-abu, serta jam tangan merek kenamaan dari pergelangan tangannya.
“Apa terjadi sesuatu di antara kalian?” tanya Bian sembari membuka satu per satu kancing kemeja.
Marissa mendekati Bian kemudian membantunya melepaskan kancing kemeja. Ia malas membahas Samuel. Pembicaraan tentang dia hanya akan membuatnya sebal sepanjang malam.
"Kamu tahu, ‘kan? Enggak ada yang bisa disembunyikan dariku. Jangan sampai aku mengungkit semua yang pernah terjadi,” ancam Bian yang tahu betul kalau tatapan Marissa pada Samuel terasa ganjil.
"Enggak ada apa-apa. Aku cuma kesal sama dia," aku Marissa.
"Ada apa?" tanyanya penasaran.
"Enggak terlalu penting, Mas. Urusan kerjaan. Akhir-akhir ini dia sering enggak bisa ikut meeting karena mau ikut cek kehamilan istrinya. Padahal seharusnya pembebasan lahan sudah selesai dari bulan lalu," dengkus Marissa lalu meraih kemeja yang diberikan Bian.
"Urusan pekerjaan? Hanya itu?” tanya Bian, seakan belum puas.
Marissa terdiam kemudian menatap suaminya. “Memangnya urusan apa lagi, Mas? Sudahlah, harusnya aku bisa memaklumi, mungkin kalau aku hamil, kamu juga pasti seperti itu, iya, ‘kan?" goda Marissa seraya berlalu menuju kamar mandi.
Marissa terkekeh sendirian kala mengingat kembali ucapannya barusan. Sekali lagi ia membayangkan bagaimana perlakuan Bian bila nanti ia hamil? Pasti suaminya akan lebih panik. Itu menggemaskan sekali. Andaikan saja bisa benar-benar terjadi.
Marissa menepis khayalannya sebelum terlanjur menyakiti hati kemudian menanggalkan pakaian lalu membuka keran air, membiarkan dirinya diguyur air hangat.
Tak lama Bian ikut membuka pintu kamar mandi kemudian membasuh wajah tepat saat Marissa membuka tirai plastik dengan terbalut handuk putih. Sejenak ia melirik tubuh Marissa. Rasanya ingin menyergap tubuh indah istrinya dari belakang, tetapi urung dilakukan. Pembahasan mengenai Samuel seketika membuatnya kesal.
Marissa meraih pengering rambut di samping Bian.
"Kenapa?" tanyanya heran melihat Bian tiba-tiba berwajah masam. Kalau sudah merajut seperti itu pasti ada hal tidak penting merasuki benak suaminya.
"Enggak, hanya saja, kalau dulu kalian benar-benar menikah, pasti sekarang—"
"Jangan berpikir yang aneh-aneh!" potong Marissa.
Tepat seperti dugaan. Hal tidak penting! Titik!
Bian melingkarkan tangan di pinggang Marissa serta mendaratkan dagunya tepat di pundak istri tercintanya. Mereka menatap pantulan bayangan diri dari cermin. Tampak seperti sejoli yang masih menikmati indahnya tegukan bulan madu.
Akar dari pohon cinta itu tertancap kuat di hati. Bunganya bermekaran begitu indah dan terkadang kupu-kupu cinta masih senang beterbangan di kedua perut mereka.
Bian kembali mengecup pipi Marissa. "Aku enggak suka melihat kalian sedekat itu,” akunya kemudian memainkan rambut halus di sekitar telinga Marissa dengan dagunya.
"Kamu yang melebih-lebihkan tentang ini, Mas. Ikatan antara kita lebih dari status suami dan istri, kamu pun tahu akan hal itu," jawabnya, "lagian, kamu yang membahas hal ini, 'kan? lanjutnya.
Bian merengut kesal seraya melepaskan dekapannya kemudian pergi ke bilik mandi lalu menanggalkan pakaian tanpa merasa risi di hadapan Marissa lantas menutup tirai.
"Sudah tua begini, masih cemburu saja," goda Marissa disela dengungan pengering rambut.
"Biar saja! Cinta, ‘kan enggak pernah menua!" balas Bian setengah berteriak.
Marissa sedikit tersenyum mendengar bualan suaminya kemudian meraih botol berisi tonik penyegar wajah lalu membuka laci untuk mencari kapas, tetapi pandangannya terpaku pada beberapa tumpuk plastik pembalut kewanitaan yang berada persis di samping kapas.
Jantungnya berdegup lebih cepat, berusaha mencari kepingan ingatan kapan terakhir kali datang bulan. Memang hampir dua tahun belakangan siklus menstruasinya berantakan. Dokter mengatakan kalau itu hal wajar terjadi pada wanita di atas usia empat puluh satu tahun—menopause.
Marissa menarik napas panjang kemudian menatap tirai bilik mandi. "Sayang, sepertinya kamu harus mempertimbangkan saran dari keluarga juga dokter kita soal program bayi tabung,” seru Marissa.
"Apa?" tanya Bian kemudian menutup keran air. "Jangan bahas itu terus, aku percaya kita bisa mendapatkannya dengan cara normal,” sergahnya.
"Normal seperti apa? Kalau kamu enggak mau, menikahlah lagi! Aku enggak bisa memberikanmu anak!" debat Marissa.
"Apa katamu?" marah Bian. Kepalanya yang dipenuhi sampo, menyembul dari balik tirai.
"Aku sudah mendekati menopause, akan sulit, Mas! Ah, sudahlah, aku malas berdebat denganmu!" balasnya kemudian pergi meninggalkan Bian.
***
Matahari menyapa pagi tanpa pernah terlambat. Riuh suara burung berpadu dengan hiruk-pikuk kegiatan manusia yang bersiap memulai hari.
Marissa mengaduk-aduk isi dalam wajan. Pada akhirnya pertengkaran itu tak bisa dihindari dan semalam, mereka tidur saling membelakangi. Terkadang kecemburuan Bian hingga kecemasan Marissa menjadi hal tersering penyebab pertikaian.
Aroma lezat menyeruak di rongga hidung. Sejak kemarin Marissa belum makan, maka kini ia harus makan sebelum penyakitnya kumat. Marissa bergegas menyajikan nasi goreng lengkap dengan telur mata sapi sementara Bian terlihat sibuk memeriksa jadwal pertemuan di buku agendanya sambil sesekali menyesap kopi yang sudah terhidang.
"Nanti aku pulang agak malam, ya?" ujar Bian setelah Marissa duduk di hadapannya.
"Ya, jangan lupa, pagi ini ada rapat bersama beberapa dewan direksi juga Jaya Konstruksi," tutur Marissa yang enggan menyebutkan nama direktur utama dari perusahaan tersebut.
Bian meletakkan kembali sendok. Ia memang harus bersikap profesional. Urusan dengan Samuel tentu akan sering terjadi, mengingat dia adalah salah satu rekanan potensial dalam industri properti yang digeluti Bian.
Berkali-kali Bian juga menyesali keputusan karena meminta Marissa membantunya untuk menancapkan taring kerajaan bisnis Soejarmoko Grup. Padahal waktu itu alasannya menerima Marissa bekerja di perusahaan agar bisa hampir dua puluh empat jam bersama.
"Kenapa?" tanya Marissa seraya menaikkan sedikit alisnya. Ia yakin betul kalau suaminya itu kembali memikirkan hal yang tidak perlu.
Bian menjawab dengan gelengan pelan, sadar betul kecemasannya hanya sebatas cemburu buta. Namun, kenyataan adalah Samuel bukan orang asing dalam kehidupan Marissa. Samuel tidak bisa dibuang dengan begitu mudahnya.
Samuel adalah pria yang hampir menjadi pelabuhan terakhir Marissa. Ia adalah cinta sekaligus rasa sakit pertama Marissa.
Waktu itu, Samuel tidak jua datang pada hari pernikahan mereka. Marissa ditinggalkan di pelaminan tanpa satu alasan yang bisa diterima nalar.
Dirasa sangat wajar bila Bian merasa gelisah bila Samuel kembali berdekatan kembali dengan Marissa yang sudah berstatus sebagai istrinya.
Butuh perjuangan yang tidak mudah bagi Bian meyakinkan Marissa bahwa ia akan menjadi pria yang berada di sampingnya hingga akhir. Sulit bagi Marissa menghapus trauma yang tinggalkan Samuel.
Kecemburuannya semakin menjadi setelah Marissa dan Samuel menyelesaikan salah paham di antara mereka, keduanya sepakat untuk menjalin satu hubungan persahabatan.
Kedekatan keduanya menjebak Bian untuk terus mengawasi. Perasaan yang telah lama mati antara keduanya tidak boleh dipupuk dengan alasan apa pun. Walau kadang sering bertemu karena urusan bisnis, Bian berusaha menjaga kedudukannya di mata Samuel.
***
Marissa bergegas menuju ruang pertemuan di lantai tiga belas. Berkali-kali merutuk dalam hati karena hampir dua jam terjebak jalanan padat ibu kota. Ia mempercepat langkah saat melihat Lusi—sekretarisnya mondar-mandir di depan pintu ruangan.
"Lusi!" panggilnya setengah berteriak.
"Alhamdulillah, Ibu, akhirnya sampai juga!" Lusi berlari menghampiri Marissa, bergegas membicarakan hal yang sudah terlewatkan selama hampir tiga puluh menit.
Marissa membuka pintu, dirinya menjadi sorotan dengan tatapan menghunjam dari beberapa klien juga presiden direktur yang tidak lain adalah suaminya sendiri.
Pagi tadi Marissa memaksa Bian untuk pergi ke kantor dengan mobil terpisah karena Bian akan pulang malam juga berbagai alasan lain. Sorot mata elang suaminya membuat nyalinya ciut.
Hal ini pasti akan dibahas setelah mereka pulang ke rumah. Disiplin! Komitmen! Namun, bukan maunya datang terlambat seperti ini.
Marissa menelan kegugupannya. Terlebih ketika Bian mengetuk-ngetuk ujung pena lalu melirik arloji di pergelangan tangan. Menyebalkan sekali.
Agama melarang mengumpat suami untuk alasan apa pun, tetapi sungguh saat ini ia benci tatapan profesional dari seorang Rakabian Soejarmoko.
"Maaf, terlambat," lirih Marissa yang bergegas duduk di samping Bian.
Lusi dengan cekatan memberikan beberapa lembar dokumen juga catatan pembahasan rapat.
Senyum mengembang di bibir Samuel. "Tidak masalah, untuk, Ibu Cantik, apa yang enggak bisa kami tunggu?" godanya yang disambut gelak tawa semua orang terkecuali Bian.
Marissa melonggarkan kancing kemeja, tatapan Bian termasuk celetukan Samuel membuatnya makin gelisah.
Sesekali ia mengelap keringat yang bermunculan di dahi dengan lengan kemeja.
Tanpa sadar Samuel menarik tangan Marissa, menyeka noda bedak di lengan kemeja panjang Marissa menggunakan saputangan miliknya.
"Kalau sudah kebiasaan, ya gini, udah dibilang jangan! Nih, jadi kotor, ‘kan?" omel Samuel.
Bola mata Marissa berputar menatap lengannya yang berada dalam genggaman Samuel. Sungguh, ini akan menambah rentetan masalah. Ujung matanya juga menangkap sinyal kecemburuan Bian yang berdeham kencang sebagai isyarat protes.
"Wah, Bapak Samuel kayaknya tahu betul kebiasaan buruk istri saya, ya?” sindir Bian.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top