Keberuntungan wanita berumur 36 tahun bernama Melissa sepertinya tidak berjalan terlalu lama. Dia dan suami memang menjalani masa-masa yang menyenangkan semenjak kedatangan Danu dalam keluarga kecilnya. Mereka bertiga menghabiskan waktu bersama layaknya keluarga dan soal diadopsinya Danu menjadi rahasia selama enam tahun.
Tapi, rasanya, malam itu sedikit berbeda.
Masa indah Melissa bisa jadi berakhir malam itu, dimana ada keresahan yang menjalar dalam hatinya. Mengikisnya perlahan dan memunculkan pikiran-pikiran yang mengusik tidurnya. Dia menatap nanar punggung suaminya, nafasnya teratur, tapi ada perasaan janggal yang menyelimutinya. Suaminya, Rajiman Judha, membelakanginya, seakan tak mengidahkannya sama sekali. Ditambah lagi beberapa hari ini ada gelagat aneh dari suaminya.
Pulang telat.
Bau minyak wangi.
Pergi saat malam.
Dan jatah bulanan yang berkurang.
Awalnya mungkin hanya perasaan buruk saja, tapi lama-kelamaan perasaan itu berubah menjadi firasat. Firasat buruk itu terbukti pagi tadi, dimana Melissa tak sengaja menemukan bekas lipstik merah pada sapu tangan milik suaminya.
Hatinya sedikit retak, tapi dia berusaha untuk terus percaya dengan suaminya. Bagaimanapun, yang selalu berada di sampingnya saat pada kondisi terbawah adalah suaminya. Dia masih ingat bagaimana suaminya mengelus punggungnya lembut saat dia tak segera memberikan keturunan. "Tenang. Semua akan baik-baik saja."
Suaminyalah yang menemaninya setiap kali kontrol ke dokter, termasuk dokter perawatan kemandulan. Lelaki itu tak mengeluh barang suatu apa, bahkan dia rela memakan makanan sehat semacam kacang-kacangan dan toge yang lelaki itu benci. Suaminyalah yang selalu membuatnya yakin bahwa di balik semua petaka ini, masih ada sedikit asa. Sungguh jahat diri Melissa jika dia meragukan kasih-sayang suaminya.
Wanita berambut hitam panjang itu mengeyahkan segala kemungkinan bahwa suaminya tengah bermain dengan wanita lain. Tidak mungkin suaminya bisa—
Ah.
Namun, sayang, ketetapan hatinya seketika hancur ketika seorang wanita muda memasuki rumahnya.
"Ma, tante itu siapa?" tanya Danu kecil yang aktivitas menonton TVnya sedikit terusik karena wanita itu masuk, matanya yang besar meminta jawaban dari Mamanya yang sedari tadi menemaninya di ruang TV.
Hancur sudah hatinya. Hancur sudah dunianya.
♦
Tangan lembut Melissa mengelus rambut anak lelakinya, mengecup keningnya singkat lalu menutup pintu kamar perlahan. Dia terpaku di depan pintu, dilihatnya pintu kamarnya yang tertutup. Entah mengapa dia enggan masuk. Bukan karena perasaan sakit yang menyelimutinya. Bukan pula karena dia tengah merajuk. Akan tetapi, dia takut menerima kenyataan saat dia membuka pintu kamarnya. Wanita itu dan suaminya—berada di ruangan yang sama.
Melissa terlonjak saat wanita yang lain keluar dari kamarnya, wanita itu berambut panjang bergelombang, mungkin beberapa senti lebih panjang daripada miliknya. Mata wanita itu menatapnya tajam, melihatnya dari ujung kaki dari ujung kepala dengan tatapan mengejek. Sebelum dia pergi, dia menyunggingkan senyum meremehkan ke arah Melissa.
Suaminya menyusul kemudian, memeluk wanita itu sambil mengecup pelan lehernya.
"Mas." Suara Melissa bergetar.
"Ayo, aku antarkan," ujar suaminya lalu melenggang pergi.
Tanpa memperdulikan Melissa.
Tanpa melihatnya barang satu lirikanpun.
Tanpa melihatnya yang kini nestapa.
Suaminya—meninggalkannya.
♦
Malam semakin larut, sunyi dan dingin. Hanya ada suara detik jarum jam yang terdengar dalam gelap. Melissa masih terjaga, dia berusaha menghindari perkelahian dengan suaminya saat langkah Judha memasuki kamar. Bau bantalnya—ah, bau parfum yang dia yakini bukan bau parfum yang dia gunakan.
Teganya, suaminya memadu cinta di hadapannya. Di tempat tidurnya, bahkan. Mana mungkin Melissa bisa tertidur. Dia yang sedari tadi membelakangi suaminya, beangsur membalikkan badan. Dia melihat wajah tidur suaminya, wajah yang selama ini dia cintai dan menemani hari-harinya. Rahangnya tegas, kulitnya kecoklatan karena dinasnya sebagai tentara, hidungnya mancung, dan bibir tipisnya yang penuh candu. Wajah itu yang selalu bisa membuatnya jatuh cinta, bahkan sampai hari ini, walaupun dia tersakiti. Dia ingin bertanya apakah masih ada sedikit rasa cinta di hati Judha untuknya hingga dia rela melakukan hal keji ini kepadanya.
Melissa menarik nafas, meyakinkan dirinya bahwa dia rela. Toh, apa yang bisa dia tuntut? Dia tidak bisa memberikan keturunan untuk suaminya, dia bukanlah sosok perempuan yang sempurna. Sudah wajar bila—ah, Melissa tak sanggup membayangkan, dia tak berdaya. Apa yang bisa dia tuntut? Suaminya bersama dia sampai sekarang saja sudah termasuk sebuah anugerah.
"Belum tidur?" suara Judha tiba-tiba mengisi kekosongan. "Maafkan aku."
Melissa terhenyak, dia melihat mata Judha yang perlahan membuka, kini mereka saling bertatapan dan wanita itu tak bisa menahan air matanya. "Di mana salahku?"
Pria di depannya hanya bisa diam. Ada jeda yang cukup lama, tarikan nafas terdengar sangat berat, dan dia berkata, "Aku ingin mempunyai keturunanku, kamu harap kamu mengerti." Setelah berkata demikian Judha membalikkan badan.
Melissa terdiam, bila itu memang yang diinginkan suaminya, dia rela. Toh, apa yang bisa dia tuntut? Judha ingin keturunan, Melissa tak bisa mengabulkannya. Hatinya hampir runtuh, namun sekali lagi dia meyakinkan diri kalau rela.
Aku rela. Tuhan, buat aku rela.
♦
Berbulan-bulan berlalu, Melissa mencoba mempertahankan hatinya wanita bernama Dea Mahesti—kekasih gelap suaminya—menjadi penghuni tambahan dalam rumahnya. Sejak Judha mengatakan niatnya untuk memiliki keturunan asli dari darahnya, Melissa memutuskan untuk tidur dengan Danu.
"Ma, Mama kenapa?" tanya Danu polos pada suatu siang. Anak itu sedang diambang pintu dan Melissa cepat-cepat menghapus air matanya. Danu masih mengenakan pakaian seragam SD, sembari menggendong tas punggung dan masih memakai sepatu. Hari ini memang giliran Judha yang menjemput Danu.
"Tidak apa-apa." Melissa memaksakan sebuah senyuman, dia mengelus pipi Danu dan sedikit menyingkirkan poninya.
Danu berusaha untuk duduk di tepi ranjang bersama Melissa. "Mama jangan menangis," ucapnya sambil tersenyum simpul. Tangan mungilnya menghapus air mata di pipi Melissa. Dia lantas terduduk, mengeluarkan sesuatu dari tas punggung hitamnya. "Ini buat Mama."
Melissa menerima kertas gambar yang diberikan Danu. Hatinya tercekat. Di kertas gambar itu terlihat sosok seorang pria, perempuan, dan anak lelaki.
"Ini Papa," Danu menunjuk sosok lelaki itu. "Ini Mama," telunjuk mungilnya menunjuk gambar perempuan di sebelah kanan."Dan yang tengah Danu," ujarnya, sambil terus memasang senyum yang jenaka.
Melissa tak kuat menahan air matanya. Punggungnya bergetar tapi menahan isaknya agar bocah lelaki di sampingnya tidak khawatir. Danu masih terlalu kecil untuk menghadapi kenyataan bahwa nantinya Melissa dan Judha akan bercerai. Ah tidak, tidak, tidak. Melissa tidak akan bercerai, lebih tepatnya, dia tarik pikirannya untuk bercerai dengan Judha. Kertas gambar di tangannya yang menua adalah harapan kecil dari seorang bocah yang tak tahu apa-apa. Danu masih butuh dirinya, masih butuh sokongan dana Judha. Melihat dirinya yang nestapa lebih baik daripada harus melihat Danu sengsara karena keegoisannya. "Ah. Bagus sekali," ucap Melissa dengan suara serak. Dia memeluk anaknya. Erat. Dia tidak mau kehilangan tawa kecil Danu yang ada di dekapnya.
Suara Judha menggema di rumah, memanggil nama Danu. Dengan kaki kecilnya, Danu siap berlari, tapi segera dihentikan Melissa. "Eh, lepas sepatu dulu."
Danu mengangguk jenaka, lalu melepas sepatunya dengan cepat. Langkah kakinya yang mungil berlari menuju arah suara Papanya.
Melissa yang memiliki semangat hidup kembali mengikuti langkah kecil Danu sambil membawa tas punggung dan sepasang sepatu milik bocah itu. Dilihatnya Danu kini di pangkuan Judha di kursi ruang tamu dengan Dea di sampingnya.
"Danu," panggil Judha, tangan besarnya membelai rambut cepak Danu."Bentar lagi mau punya adik. Jaga adik baik-baik, ya?"
Danu hanya bisa mengangguk. Dia hanyalah bocah kecil yang belum tahu peliknya kehidupan yang sedang dijalanin oleh Mama dan Papanya. Hati Melissa sakit, pemandangan di depannya membuatnya ingin menangis sekali lagi.
Perut Dea, sudah membesar, secepat itu. Dan ada darah daging suaminya di dalamnya. Ada sedikit rasa iri, mungkin, di hati Melissa. Bahkan hingga sekarang, Melissa tidak bisa merasakan menanggung beban nyawa di perutnya selama itu. Kuatkan aku, Tuhan.
Melissa, entah mengapa, merasa tersingkir.
Tidak, dia harus kuat hati. Dia tidak bisa berbuat egois. Dia enyahkan segala keinginannya untuk pergi dari rumah itu, memulai hidup baru di rumah kecil bersama anaknya, memutus apapun yang berhubungan Judha dan membiarkannya dia bahagia dengan wanita lain. Dia ingin itu, demi Tuhan! Tapi dia lantas berpikir, pikirannya kembali pada gambaran Danu yang diberikannya beberapa menit lalu. Bocah itu tak mau yang lain. Dia hanya butuh Mama dan Papa. Dan jika Melissa mengedepankan egonya, artinya dia membunuh impian Danu. Ini bukan apa-apa, dia terus berpikir demikian, Danu harus bahagia meskipun Melissa harus menanggung nestapa. Semua ini demi Danu.
Suatu hari, di umur kehamilan Dea yang kedelapan bulan, Melissa akhirnya membuka suara, "Bagaimana kabar kandunganmu?"
"Baik." Singkat, padat, dan jelas.
Melissa mengangguk, dia memasang senyuman nanar. "Bagaimana rasanya?"
Wanita itu melihatnya, sedikit ada raut mengejek."Mengagumkan," ujarnya sambil memasang senyum yang sedikit dipaksakan."Aku tak percaya ada nyawa di dalam perutku." Wanita itu mengelus perutnya. "Rasanya, rindu. Ingin segera bertemu."
"A—Apa kelaminnya?" Ah benar, pasti rasanya sangat menyenangkan. Hati Melissa entah mengapa sedikit sakit.
"Lelaki."
"Danu pasti sangat senang."
"Tentu. Akhirnya dia memiliki adik," Dea berujar sambil menatap lurus ke mata Melissa. Ada seringaian disana. "Dia sudah tak akan kesepian lagi." Kali ini Dea menghela nafas keras.
"A—Aku akan kembali ke belakang," ujar Melissa pelan. Dia mencoba berusaha bersikap sewajar mungkin walaupun dia tahu bahwa di balik percakapan singkatnya dengan Dea, wanita itu mencerca rahimnya yang kering.
Di kamar, setelah percakapan itu, lagi-lagi Melissa tak bisa menahan air matanya.
♦
Deva Arga Dinata, nama pemberian Judha untuk orok yang kini tengah tertidur pulas di kelambu depan wanita berambut panjang. "Dia masih sangat kecil," suara bocah itu sangat takjub dengan yang dilihatnya. "Lihat, Ma. Tangannya kecil," lanjutnya, kali ini sambil melihat wajah wanita di sebelahnya dengan tatapan binar. Genggaman jemari kecil sang bayi pada jari telunjuk bocah itu tak ayal membuat bocah berambut cepak itu terkikik geli.
Wanita itu—Melissa hanya bisa menatap sendu keduanya. Ingatannya melayang beberapa bulan lalu, saat Judha dengan teriakan bahagianya mengantar Dea yang sudah mulai kontraksi menuju rumah sakit. Sayangnya, persalinannya tidak cukup lancar, pendarahan yang Dea alami cukup hebat.
Melissa hanya bisa menanti cemas dari luar ruangan persalinan.
Suara tangis bayi terdengar setelahnya, tak ayal membuat Melissa ikut terharu. Keinginannya menjadi ibu masih sama, hanya saja dia sedikit emosional bila ada seseorang yang dapat melahirkan—bukan emosi iri atau benci, tapi lebih emosi kebahagian tak terucap. Mungkin karena memang rahimnya kering, dia malah bisa ikut merasakan haru seorang ibu yang bisa melahirkan anak.
Melissa buru-buru memasuki ruangan persalinan. Dia baru saja akan mengucapkan selamat dengan nada ceria jika saja suasananya tak sekelam saat itu. Dilihatnya Judha meneriaki Dea yang menutup matanya. Suaminya mengusap peluh wanita itu, mencium keningnya, mengelus tangannya, dan meratapi kepergian wanita itu.
Dea meninggal dunia.
Mas, kalau aku pergi, apa kau akan berbuat hal yang sama padaku?
Entah kenapa, Melissa rindu akan sentuhan dari Judha.
Semua tak serta merta berjalan dengan baik, kepergian Dea membawa duka yang tersendiri bagi Judha. Lelaki itu tak banyak berbicara, seusai pulang piket, dia akan langsung mengunci dirinya di kamar dan Melissa tak berani menganggu. Juga, Melissa menemukan beberapa botol minuman keras dan obat penenang saat membersihkan kamar.
Danu juga tak ikut banyak bicara, baik Melissa dan Judha sepakat bahwa hanya perlu memberitahukan kepada Danu bahwa Dea pergi dan memberikan adik kepadanya—tentu pemakanan Dea tidak dilakukan sewaktu ada Danu.
"Ma, Papa belum pulang, ya?" suara Danu membuyarkan lamunannya.
Melissa hanya tersenyum, memikirkan jawaban yang cocok, "Kita doakan Papa bahagia saja, ya. Dimanapun itu." Wanita itu menepuk puncak kepala Danu.
"Danu kangen Papa," ucap bocah itu lirih. Dia memasang wajah sendu sambil melihat bayi di depannya. "Kenapa Papa ditimbun dalam tanah, Ma?"
Melissa menyejarkan tubuhnya dengan tubuh Danu yang kecil, dia memeluk anaknya erat, sambil menangis sampai punggungnya bergetar. Bagaimana cara menjelaskan kepada anaknya bahwa Papanya sudah meninggal? Bagaimana cara menjelaskan kepada anaknya bahwa nestapa Papanya membuat Papanya memutuskan untuk bunuh diri?
"Danu kangen Papa, Ma," ujar Danu sekali lagi, sedikit tak mengerti mengapa Mamanya menangis.
Tangis Melissa semakin terdengar.
Saat ini dan seterusnya, dia berjanji bahwa apapun yang terjadi, dia akan melindungi kedua anaknya. Walau tidak lahir dari rahimnya, wanita itu berjanji, demi Tuhan, tidak akan membiarkan nestapa dalam dirinya menyengsarakan keduanya.
Anakku; Bian Arya Danu dan Deva Arga Dinata. Mulai sekarang biar Ibu yang melindungimu, ya.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top