9. 'Kan nyebelin lagi ....
Happy reading 😍😍
***
Kaca jendela yang terbuka lebar membawa kesejukan bagi pemilik kamar. Bias mentari pagi menyapa hangat harinya, membawa harapan yang terkenang tadi malam. Senyum kebahagiaan yang dilihatnya semalam, semakin menambah rasa yang dimilikinya pada sang gadis.
Zaki akan bersiap turun untuk sarapan saat pintu kamar diketuk oleh seseorang. Sengaja, dia membiarkan orang yang mengetuk untuk beberapa saat. Dia ingin tahu reaksi kesalnya ketika diabaikan oleh seseorang.
"Mas, buka pintu, dong. Tante, sudah nunggu buat sarapan." Dia semakin mengeraskan ketukan pada pintu.
Zaki melangkah ke arah pintu dan membukanya. "Berisik, ini rumah bukan alun-alun. Jadi, jangan teriak-teriak!" Memasang wajah marah.
"Kalau gak mau aku teriak, ya, nyahut kalau ada yang manggil. Heran, kerjaannya bikin kesel orang saja." Aisyah memalingkan wajahnya hendak melangkah pergi.
"Ca, tunggu! Bisa bantu masang ini, gak?" Zaki menunjukkan sebuah dasi yang ada dalam genggaman tangannya. "Aku lagi masang itu tadi. Makanya, gak dengar panggilanmu." Aisyah menatap Zaki tak percaya.
"Mas! Yakin gak bisa make itu?"
"Iya, bener. Kenapa, sih, gak percaya?" Zaki berusaha meyakinkan Aisyah.
"Aneh, masak orang kantoran gak bisa pake dasi, sih?"
"Kalau gak mau, bilang saja. Gak usah ngejek gitu." Dia segera turun meninggalkan Aisyah.
Tanpa diketahui oleh Aisyah, Zaki menertawakan dirinya sendiri atas ide konyolnya itu. Dia sengaja melepas kembali dasi yang telah terpasang dan berpura-pura tidak bisa memakainya agar Aisyah mau membantunya, tetapi yang ia dapat malah kata-kata mengejek dari Aisyah. Aisyah masih bergeming dengan posisinya tadi.
Cowok aneh, baru beberapa jam saja dia sudah kembali ke watak aslinya, ngeselin. Terus ngapain semalam, ngasih kata-kata manis kayak gitu. Untung aku sudah tahu sifatnya, kalau tidak aku pasti terjerat kata manisnya semalam.
Mudahnya dia berkata, 'lelaki itu mencari wanita, sedangkan suami mencari istri. Lelaki mencari wanita yang bisa diajak bersenang-senang, tetapi suami mencari ibu bagi anak-anaknya kelak. Aku sadar untuk menjadi suami aku harus lebih dari sekedar menjadi laki-laki. Maka, aku mulai berusaha mencintai Pemilikmu sebelum mencintai dirimu. Aku mendekati orang tuamu dan meminta izin kepada bapakmu untuk memilikimu.'
Dasar tukang gombal! Sekarang lihat sikapnya, balik lagi kayak dulu.
"Ais, cepetan turun! Kamu gak mau sarapan? Katanya terburu-buru mau ke tempat kerja yang dulu." Teriakan dari tantenya membuyarkan semua lamunan Aisyah. Dia segera berlari menuju meja makan.
"Ngapain, lama di atas? Orang yang dipanggil aja sudah ada di meja ini," kata Yono.
"Itu, Om. Ais, benerin jilbab tadi sama ngambil tas." Gugup melandanya karena semua tatapan mengarah kepadanya.
"Ya, sudah. Ayo sarapan!" Rumana mulai mengambilkan nasi goreng untuk suaminya. Zaki masih diam dan sibuk dengan ponselnya.
"Ca, ambilkan, ya!" katanya. Zaki menyodorkan piring di depannya pada Aisyah. Namun, Aisyah tetap cuek dan mengambil nasi goreng untuk dirinya sendiri.
"Ambilkan masmu juga, Ais! Kasihan dia." Rumana berkata sambil menginjak kaki ponakannya yang nakal itu. Bisa-bisanya tangannya sibuk sama ponsel ketika di meja makan. Jika, bundanya tahu kelakuannya seperti itu pasti dijewer telinga Zaki.
"Aw, sakit!" teriak Zaki. Yono dan Aisyah memandang ke arahnya. "Maaf, kakiku terantuk penyangga meja," adunya. Rumana menahan geli dengan alasan Zaki.
"Hati-hati dong, Mas. Makanya, kalau lagi di meja makan jangan main ponsel!" kata Yono.
"Iya, Om. Maaf." Dia melirik Aisyah dan berbisik, "Istri idaman banget. Mengerti selera suami yang tidak suka kuning telur." Zaki mulai memakan nasi gorengnya.
Muka Aisyah memerah karena bisikan Zaki. Aisyah memang mengambil kuning telur mata sapi di piring Zaki. Dia tidak mau Zaki tersedak karena memakannya. Masnya itu pernah sakit karena tersedak kuning telur waktu mereka masih kecil dulu.
***
"Bareng aku saja, Ca. Jangan naik motor sendiri!" kata Zaki pada Aisyah.
"Gak usah! Deket kok, Mas. Berangkat saja ke kantor! Nanti, telat."
Zaki memegang tangan Aisyah, dia membuka pintu di samping kemudi dan mendudukkan Aisyah dengan paksa. "Cerewet. Diam dan duduklah dengan tenang! Aku antar sampai tujuan." Aisyah mencebikkan bibirnya. Terdapat ganjalan batu di hatinya, jengkel terhadap sikap Zaki.
Mobil Zaki melaju di jalanan Surabaya. Tidak ada perbincangan di antara keduanya sampai Zaki memarkirkan mobilnya tepat di depan perusahaan yang Aisyah tuju. Aisyah sedikit terkejut, Zaki bisa tahu maksud tujuannya.
"Tuh, uda sampai! Nanti, pulangnya tunggu, Mas! Jam makan siang, Mas, jemput lagi. Kalau belum datang ngobrol-ngobrol dulu saja sama temennya. Ingat, jangan pulang sendirian!"
"Iya, cerewet!" Aisyah membuka pintu mobil hendak keluar.
"Main keluar saja. Nih!" Zaki menyodorkan tangan kanannya pada Aisyah.
"Gak, mau! Mas, bukan suamiku." Aisyah segera keluar dari mobil.
Zaki tersenyum dengan penolakan Aisyah. Dia segera melajukan mobilnya ke gedung tempat pelatihannya diadakan. Bekal kebahagiaan yang diberikan Aisyah cukup membuat staminanya kuat seharian ini.
"Asalamualaikum," sapa Aisyah ketika di depan ruangan mantan bosnya.
"Waalaikumsalam. Masuk!" Wanita cantik di depan Aisyah itu tampak terkejut. "Lho, Ais?"
"Iya, Bu, ini saya."
"Kirain kamu gak jadi datang. Lowongan yang kosong sudah ada yang ngisi sekarang." Kekecewaan terpancar di wajah Aisyah. Jauh-jauh dia datang ternyata hasilnya nihil.
"Jadi, sudah tidak ada lowongan lagi, Bu?"
"Sudah gak ada, Ais. Kemarin suamimu datang ke sini, dia memberi tahu, jika kamu tidak jadi kerja. Katanya, kamu datang cuma menemani dia saja yang sedang ada keperluan di sini. Ibu, mengira kamu ada temu kangen sama teman-teman yang lain."
"Yakin suami saya, Bu!" Aisyah menatap tak percaya.
"Iya. Dia sendiri yang mengatakannya, kok. Masak, dia bohong? Di jari manis tangannya terdapat sebuah cincin pernikahan."
"Orangnya kayak apa, Bu?"
"Ya, kayak orang lah, Ais. Kamu ini, dari dulu sampai sekarang tetep aja ngawur kalau tanya."
"Ish, Ibu. Maksud saya, bagaimana ciri-cirinya?" Orang yang dipanggil Ibu oleh Aisyah itu akhirnya tak kuasa menahan tawa.
"Ganteng, sopan, wajahnya meneduhkan, mirip Ustaz Hilmi Firdausi." Dia terkekeh dengan penggambaran tentang lelaki yang mengaku sebagai suami Aisyah.
"Ha! Yakin, Bu?" Aisyah dibuat cengo dengan perbandingan sosok yang dikatakan Aulia, mantan bosnya itu.
"Yakinlah! Kamu gimana, sih, Ais? Suami sendiri di puji ganteng malah gak mau."
"Ya sudah, Bu. Saya permisi."
"Iya, Ais. Eh, tapi tunggu dulu! Anak-anak tadi bilang ke Ibu, kalau kamu datang mereka mau ngajak kamu makan-makan katanya. Coba kamu ke ruangan Riana, dia yang ngomong soalnya."
"Baik, Bu."
Keluar dari ruangan Aulia, Aisyah duduk di sofa yang biasa digunakan untuk tamu mantan bosnya itu. Aisyah tampak berpikir, siapakah orang yang di maksud Bu Aulia tadi. Dia mulai membayangkan wajah Ustaz Hilmi itu seperti apa. Akhirnya dia pun searching tentang ustaz yang dimaksud. Aisyah mulai mengingat-ingat siapa lelaki di sekitarnya yang wajahnya mirip dengan beliau. Kedua alisnya tertaut ketika menyadari siapa lelaki itu.
Enak saja dia bilang aku istrinya. Kapan aku menikah sama dia? Aahhh, Mas Zaki nyebelin. Kalau gini aku gak bisa kerja, 'kan. Terus, bagaimana kehidupanku selanjutnya. Emang dia mau nangung kebutuhanku selama tinggal di sini? Pasti gak bakalan mau dia. Kapan, sih, dia mau bantu aku. Kalau udah nyebelin selamanya nyebelin.
Aisyah mengepalkan tangannya dan memukul-mukul pelan sofa yang dia duduki. Mulutnya terus saja mengomel merutuki kelakuan Zaki. Ingin sekali dia memakinya saat ini, tapi Aisyah tidak mengetahui caranya.
***
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 3 November 2020
Publish ulang, 4 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top