8. Kok gitu sih ....?
Yang gak sabar sama kelanjutannya , silakan baca di dreame atau KBM ya.
Jangan bosen baca ceritaku yang kadang gak jelas ini ya 😁
Tekan bintangnya ya, komen juga.
Apa pun komenan sahabat semua, aku anggap sebagai bukti sayang kalian padaku.
Happy Reading 😍😍
***
Tawaran untuk mengikuti pelatihan dari kantor yang semula ia tolak hari ini dia mengajukan diri untuk mengikutinya. Dia tidak ingin membuang kesempatan untuk berdekatan dengan Aisyah. Niatnya, mengambil hati Aisyah akan segera di realisasikan. Apalagi rencana B sudah dijalankan.
Semua berkas yang dibutuhkan untuk mengikuti pelatihan sudah dia kirim ke kantor pusat. Besok dia tinggal berangkat saja, seluruh akomodasi dan tempat tinggal sudah disediakan dari kantor. Namun, Zaki enggan tinggal di tempat yang telah disediakan itu.
Rencananya Zaki akan tinggal bersama tantenya. Alasan utamanya apalagi kalau bukan ingin dekat dengan Aisyah. Selama di Surabaya, Aisyah telah tinggal di sana. Burhan tidak mengijinkan putrinya itu untuk tinggal di kost-kostan, dulu pun dia menitipkan putrinya itu pada sang adik, Rumana.
"Asalamualaikum. Kapan Aisyah berangkat ke Surabaya, Om?" Zaki melakukan panggilan seluler pada Burhan.
"Waalaikumsalam. Sepertinya dua hari lagi, Mas. Tadi, dia sudah menghubungi kantor lamanya."
"Ijinkan saja, Om. Besok, saya juga sudah berangkat ke sana. Boleh tahu nama perusahaan tempatnya bekerja?"
"Aulia colection, kalau tidak salah namanya, Mas. Pabriknya tidak jauh dari rumah tantemu."
"Terima kasih, Om. Semoga besok saya bisa menemui bosnya langsung. Jadi, kita tidak perlu rencana cadangan lagi. Saya tutup teleponnya, Om. Asalamualaikum."
Zaki segera mencari tahu tentang perusahaan yang dikatakan Burhan tadi. Segalanya begitu mudah dengan kecanggihan yang ada saat ini. Dia tersenyum melihat profil pemiliknya. Rencana yang ia susun bersama omnya kali ini dipastikan akan berhasil. Tinggal bagaimana caranya dia mengambil hati Aisyah saja.
***
Aisyah mengetuk rumah dengan cat berwarna kuning pada pintunya dan berwarna biru pada dindingnya. Rumah yang selama tiga bulan lalu dia tinggalkan untuk mempersiapkan pernikahannya. Tampak dari depan tidak ada yang berubah menurutnya.
Bunga pivets masih berjajar rapi membentuk sebuah pagar yang mengarah ke pintu masuk di kanan kiri halamannya. Rumput yang terlihat menghijau di sela-sela bunga menambah kesan asri bagi yang memandang. Satu pohon rambutan tepat di depan teras yang sedang berbuah membuat dingin suasana rumah.
Salam yang Aisyah ucapkan belum dibalas oleh sang pemilik. Dia mencoba mengetuk sekali lagi disertai salam, tetapi belum juga ada yang menjawab. Aisyah memberanikan diri menyentuh gagang pintu untuk membukanya. Ternyata tidak dikunci, dia berpikir kemana tantenya pergi hingga pintu rumah tak terkunci seperti itu.
Aisyah melongokkan kepalanya ke arah dalam. Sepi, itu yang terlihat olehnya. Dia mulai berani memasuki rumah dan mencari tantenya di dapur. Biasanya menjelang sore, dia akan memasak karena omnya akan segera pulang dari kantor.
"Asalamualaikum. Tante ... Tante di mana? Ais, sudah datang, Tan." Tidak ada suara apa pun di dapur.
Aisyah melangkahkan kakinya, ke tempat jemuran baju yang letaknya berada di belakang dapur. Terdengar suara tawa laki-laki di antara suara tantenya. Aisyah mengernyitkan keningnya, berpikir siapakah lelaki yang sedang bersama tantenya itu.
Aisyah mendekat, ke arah tantenya yang sedang duduk santai di bawah pohon jambu kristal miliknya. Dia terperanjat melihat wajah mas ganteng, tapi menjengkelkan yang dikenalnya. Tantenya masih belum menyadari kehadiran Aisyah, tetapi mata masnya itu kini menunjuk ke arahnya.
"Hai, Sayang. Kok, bisa di sini?" tanya Rumana heran. Dia berdiri dan mengahampiri Aisyah.
"Tante lupa gak ngunci pintu rumah, ya? Kalau ada maling gimana? Untung cuma, Ais, yang masuk." Aisyah menyalami tantenya. Mereka berdua berciuman pipi kanan dan kiri. Zaki menatap iri pada Rumana, dia juga ingin melakukan seperti keduanya.
"Astagfirullah. Benar gitu, Sayang? Mas, bawakan tas adiknya, dong! Kasihan dia kalau harus mengangkat yang berat-berat gini." Rumana menunjuk koper yang dibawa Aisyah.
"Siap, Tan!" ucapnya, "kenapa gak mau bareng, Mas, saja? 'Kan lebih hemat." katanya pada Aisyah.
Aisyah hanya diam, dia segera melangkah ke kamar yang biasa di tempatinya dulu. Sebelum akhirnya, Rumana memberi tahu, jika dia akan menempati kamar atas.
"Memang kenapa sama kamar, Ais, yang dulu, Tan?"
"Kamarmu yang dulu dipakai, Tante. Ommu bilang dia capek, jika harus naik turun tangga. Biasalah faktor usia, jadi gampang capek." Rumana tersenyum dengan alasannya.
"Oh, begitu." Aisyah heran melihat Zaki yang sudah terlebih dahulu menuju kamar yang dikatakan tantenya. Bukankah selama ini dia tidak pernah berkunjung ke rumah Tante Rum, tetapi mengapa dia sudah tahu letak kamarnya.
"Ca, kok bengong? Ayo masuk! Ini kamar yang dimaksud, Tante, 'kan?"
Aisyah gelagapan namanya dipanggil Zaki. Sudah lama sekali, panggilan itu tidak didengar olehnya. Hanya Zaki seorang yang memanggilnya seperti itu.
"Ca, Ya Allah! Kenapa bengong? Sana masuk!" Zaki mendekatkan wajahnya ke wajah Aisyah.
"Apa sih, Mas. Sini kopernya! Jaga pandangan, kita sudah dewasa! Ngerti?" Aisyah mencoba mengingatkan Zaki tentang kata-katanya waktu itu.
"Memang kalau sudah dewasa kenapa?" Zaki memainkan alisnya dengan menaik turunkan.
"Dih, dirinya sendiri yang bilang waktu itu. Lupa? Permisi!" Aisyah segera menutup pintu kamarnya sebelum Zaki membuat kesal dirinya lagi.
Gelak tawa Zaki terdengar oleh Rumana. Sebagai tantenya, dia hanya geleng-geleng kepala dengan kelakuan keduanya. Dari mereka kecil sampai sekarang tetap saja tidak pernah akur.
Namun, entah mengapa hatinya menghangat melihat keduanya seperti itu.
Semoga niatnya menyatukan keduanya kali ini berjalan lancar. Rumana yang belum dikaruniai seorang anak, senang sekali ketika kakaknya menelepon dan mengabarkan bahwa Zaki dan Aisyah akan tinggal sementara waktu bersamanya. Dia telah menganggap keduanya sebagai putra dan putrinya.
Menjelang salat magrib, Rumana memanggil Aisyah untuk berjamaah. Yono, suami Rumana dan Zaki telah menunggu keduanya di ruang salat rumahnya. Suara azan yang dilantunkan Zaki membuat Aisyah terenyuh. Selesai salat magrib, Rumana dan Yono pamit kepada keduanya untuk pergi kondangan.
"Nanti, kalau kalian mau makan panasin aja makanan yang di meja itu. Jangan sungkan! Anggap rumah sendiri. Mas Zaki, minta tolong Aisyah saja, ya! Dia sudah terbiasa melakukan hal-hal yang berhubungan sama dapur. Bener 'kan, Ais?"
"Iya, Tan, beres itu. Masak calon istri gak bisa memasak. Iya 'kan, Ca?" Zaki mengerlingkan sebelah matanya pada Aisyah.
"Tau!" jawab Aisyah ketus. Dia segera melangkah ke kamarnya. Tawa terdengar dari mereka bertiga.
"Atasi tuh, Aisyah! Kamu 'kan pawangnya, Mas. Tante tinggal, ya!"
"Beres, Tan. Mohon restunya!"
"Selalu, Mas." Yono menimpali perkataan Zaki.
Zaki melangkah ke atas menyusul Aisyah, letak kamarnya memang bersebelahan. Zaki melewati begitu saja kamar Aisyah, dia masih harus menyelesaikan bacaan Al-qur'an yang sempat tertunda tadi. Suara azan menghentikan bacaan Zaki, dia segera menegakkan salat.
Aisyah mengetuk pintu kamar Zaki. "Mas, mau makan malam sekarang apa bagaimana?" tanyanya dari luar kamar.
"Ya, sebentar!" Zaki membuka pintu dia tersenyum pada adik kecilnya itu.
"Ditanya malah senyum. Hadeh!"
"Makan di luar, yuk! Mas, pengen ngerasain nasi goreng. Mau gak?"
"Kalau cuma nasi goreng, Ais, bikinin saja, Mas. Mau?"
"Mas, pengen makan di luar, tapi masih belum tahu jalan di sini. Anterin, ya?"
Maunya apa orang satu ini. Kadang ngeselin kadang manja. Mana wajahnya tambah ganteng sekarang. Kalau sikapnya begini terus, apa kabar hatiku.
"Iya, aku anterin, Mas. Aku ganti baju dulu."
Aisyah termenung saat Zaki mengajaknya naik motor untuk membeli nasi goreng. Dia berpikir, jika bersalaman saja dia gak mau mengapa sekarang malah ngajak naik motor. Bukankah hal ini malah semakin membuat mereka akan sering bersentuhan fisik.
"Mas, yakin mau naik ini?" tunjuk Aisyah pada motor.
"Iyalah, yakin. Ayo cepetan naik! Jangan suka bengong!"
"Mas, bukankah waktu itu pernah bilang, kita ini sudah dewasa jadi tidak boleh saling bersentuhan. Masih ingat gak?"
"Ya, itu beberapa waktu lalu. Sekarang gak apa-apa, malah mau lebih dari ini boleh, kok."
Aisyah memandang cengo kearah Zaki. Secepat itukah dia merubah jalan pikirnya. Lama-lama Aisyah semakin tidak mengerti dengan pola pikir masnya itu.
***
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 2 November 2020
Publish ulang, 4 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top