6. Hari-hari tersulit
Happy reading 😍😍
***
Tanaman teh yang membentang di sepanjang jalan menyejukkan mata. Memberi efek tenang pada orang yang memandangnya. Deretan pegunungan yang terlihat gagah di kanan kiri jalan menambah daftar panjang kecantikan alam perkebunan teh Kertowono. Dari arah barat kita akan disuguhi gagahnya Semeru sebagai gunung tertinggi di pulau Jawa. Ketika kita alihkan arah pandang ke sebelah timur, maka tampaklah Gunung Lemongan, Argopuro serta Raung.
Posisinya yang berada di lereng Gunung Semeru, membuat kita sedikit lama menempuh perjalanan untuk mencapai perkebunan Kertowono dari pusat kota Lumajang. Namun, lelah terbayarkan oleh suguhan alam yang memukau. Sepanjang mata memandang, hamparan warna hijau akan menjadi terapi mata secara alami. Kurang lebih sekitar 55 km dari tempat tinggalnya yang berada tepat di pusat kota Lumajang, Zaki menempuh perjalanan ke perkebunan teh tersebut. Menemui omnya untuk membicarakan hal penting menyangkut masa depan.
Pabrik teh yang telah lama berdiri merupakan kebanggaan bagi masyarakat Lumajang. Burhan adalah salah satu karyawan di sana dengan posisi yang sangat menggiurkan tentunya. Bertahun-tahun dia lalui, selalu pulang pergi dengan jarak tempuh yang jauh untuk mencapai tempat kerjanya. Namun, dia tidak pernah mengeluh.
Zaki sengaja menemuinya di tempat kerja. Kantor tempatnya bekerja memang libur di hari sabtu karena itulah dia memanfaatkan waktu untuk menemui omnya. Jika, dia membicarakan rencananya di rumah omnya, dipastikan targetnya akan mendengar semua obrolan mereka dan gagal sudah rencanya.
Sesampainya di pabrik, Zaki segera mencari omnya itu. Burhan memicingkan mata saat melihat Zaki ada di tempat kerjanya. Mengapa keponakannya itu rela berlelah diri hanya untuk menemuinya?
"Mas, ada hal penting apa sampai rela menemui, Om, di sini?" Tergambar keheranan dari wajah Burhan.
"Om, sibuk, gak?" tanya zaki.
"Tunggu sebentar! Om, selesaikan kerjaan sedikit lagi." Tangannya sibuk memeriksa beberapa berkas.
"Zaki, tunggu di luar saja kalau gitu. Nanti, kalau sudah selesai, Om, bisa nyari saya di gazebo depan pabrik."
"Oke, Mas. Sekitar dua puluh menit lagi, ya."
"Iya, Om."
Zaki melangkah keluar dari ruangan omnya. Dia mencari tempat berteduh di depan pabrik. Sebuah gazebo yang sering dia duduki bersama Aisyah sewaktu kecil dulu. Terkadang, omnya itu mengajak mereka ke perkebunan ketika libur sekolah.
Zaki dan Aisyah sering bermain petak umpat di antara pohon teh di seberang gazebo. Zaki kecil sangat curang, dia selalu membohongi Aisyah agar bisa menang. Sering kali, jika giliran dia untuk mencari Aisyah bersembunyi, Zaki tidak menutup matanya. Dia hanya berpura-pura sehingga dengan mudah Zaki menemukan keberadaan Aisyah. Saat Aisyah mengetahui kecurangannya, dia marah dan memukul-mukul lengan Zaki sambil menangis.
Tak terhitung berapa kali Zaki membuat Aisyah menangis. Setiap kali mereka bertemu dan bermain, Aisyah selalu dibuat menangis olehnya. Sampai pada saat Zaki lulus sekolah dasar, dia memilih untuk masuk pesantren dan mulai jarang bertemu Aisyah.
Kenangan itu membekas dalam diri Zaki. Dulu, dia tidak paham bahwa seorang sepupu itu bukanlah mahram dan boleh dinikahi. Setelah mengetahui hukumnya, rasa yang dimilikinya terhadap Aisyah semakin berkembang. Kekecewaan ia pendam sendiri ketika kabar pernikahan Aisyah berembus. Sampai beberapa waktu yang lalu, dia baru mengetahui, jika calonnya membatalkan rencana itu.
Zaki terseyum sendiri membayangkan semua kenangan itu. Tanpa disadarinya, Burhan telah duduk di gazebo memandangnya heran. Kebahagiaan apa yang tengah dirasakan keponakannya itu hingga dia terlihat seperti orang gila, tersenyum sendiri.
"Kebahagiaannya bisa dibagi, gak, Mas?" Menepuk pundak Zaki.
"Astagfirullah, Om. Sudah selesai pekerjaannya?"
"Sudah, Mas. Kelihatan sekali kamu sangat bahagia, Mas. Ada apa?"
"Ngobrolnya sambil duduk, ya, Om. Boleh?"
"Ayo! Mas mau makan siang apa? Biar, Om, nyuruh anak-anak membelikan."
"Om, sajalah yang makan. Saya, masih kenyang."
"Ya, sudah. Nanti, saja kalau gitu, Om, makan. Sebenarnya tantemu sudah bawain bekal tadi. Sekarang, Mas, cerita saja ada apa ke sini?"
"Om, Bunda waktu itu sudah menyampaikan niat untuk menjadikan Aisyah menantunya, 'kan?"
"Iya, Mas. Lalu?"
"Sebagai orang tua, Om, pasti tahu sifat keras kepalanya Aisyah. Saya, punya rencana supaya dia mau menerima saya sebagai suaminya." Zaki menarik napas dalam-dalam.
"Apa rencanamu, Mas? Waktu itu, dia sudah mengutarakan tidak akan menerimamu, Mas. Ternyata kamu itu lebih tahu sifat Aisyah daripada, Om"
"Saya tahu kelemahan Aisyah, Om. Dia tidak akan bisa menolak, jika itu menyangkut keuangannya. Om, tahu sendiri, 'kan, semenjak bekerja dia sudah tidak pernah meminta jatah uang lagi. Sekarang, dia sudah tidak bekerja, jika kita terus menekannya kemungkinan besar Aisyah akan menerima saya." Zaki menatap tajam omnya agar dia tahu bahwa niatnya sungguh-sunguh.
Burhan tertawa mendengar rencana Zaki. Dia tidak pernah berpikir sampai sejauh itu untuk membujuk Aisyah agar mau menerima Zaki. Burhan memang mengetahui kelemahan Aisyah yang satu itu. Sebulan lalu, ketika dia sudah tidak bekerja Burhan sering menyelipkan beberapa lembar uang ke dalam dompet sang putri. Dia tahu, putrinya itu tidak akan pernah meminta jatah uang lagi kepadanya sekalipun dia membutuhkan.
"Rencana yang bagus, Mas." Burhan membayangkan putrinya sambil tersenyum, lalu dia teringat beberapa hari lalu Aisyah memasukkan lamaran kerja di sebuah dealer. "Mas, kayaknya kita gak bisa menjalankan rencana ini," sesalnya.
"Kenapa, Om? Bukankah dia sekarang pengangguran. Kemungkinan besar rencana ini pasti berhasil."
"Beberapa hari yang lalu, Aisyah memasukkan lamaran ke sebuah dealer. Bagaimana, jika dia diterima kerja di sana?" Zaki tertawa dengan kekhawatiran omnya.
"Kalau masalah itu, Om, bisa tenang. Pemilik dealer itu sahabat saya. Saya sudah memintanya untuk tidak menerima Aisyah sebagai karyawan."
Burhan mengacungkan jempolnya pada Zaki. Dia tidak menyangka kalau keponakannya itu telah merencanakannya dengan rapi. Bahkan, segala kemungkinan sudah dia minimalkan. Decak kagum ia gumamkan untuk Zaki.
"Ada satu lagi ganjalan, Om, untukmu, Mas."
"Apa, Om? Katakan saja! Saya akan berusaha semaksimal yang saya bisa untuk mengatasi keresahan, Om."
"Apa kamu benar-benar mencintai Aisyah? Om, gak mau kejadian serupa terulang padanya. Dicampakkan dengan kata tidak ada cinta lagi."
"Om, saya tidak akan berjanji untuk dapat mencintai Aisyah selamanya. Karena Allah itu Maha Membolak-balikkan hati setiap manusia. Namun, saya akan membuktikannya. Pernikahan yang akan saya lakukan ini adalah bertujuan ibadah yang akan saya jalani sepanjang hidup di dunia ini."
"Oke, Mas. Om, percaya sepenuhnya sekarang. Jadi, Mas, datang jauh-jauh ke sini hanya untuk merencanakan sebuah konspirasi untuk Aisyah." Keduanya tertawa.
"Kalau gak gitu, saya tidak akan pernah menikah dengan Aisyah," jawabnya dengan kerlingan.
Burhan melirik jam di pergelangan tangannya. Sudah waktunya untuk dia kembai bekerja. Waktu istirahatnya telah lewat lima menit yang lalu. "Apa masih ada yang ingin kamu sampaikan, Mas?"
"Sudah cukup, Om. Sepertinya jam makan siang sudah terlewat, ya? Maaf, karena saya, Om, jadi telat makan."
"Kalau hanya makan telat gak masalah, Mas. Sepertinya, Om, kelebihan jam istirahat karena keasyikan ngobrol tadi."
"Astagfirullah. Maafkan saya, Om. Silahkan saja kalau, Om, mau bekerja kembali."
"Oke. Om, masuk dulu. Mas, mau langsung pulang apa nunggu, Om?"
"Langsung pulang, Om."
"Hati-hati di jalan, ya, Mas."
"Ya, Om."
***
Berhari-hari, Aisyah menunggu telepon dari dealer tempatnya menaruh lamaran kerja. Namun, sampai lebih dari seminggu kabar itu tidak juga dia dapatkan. Puluhan lamaran pekerjaan juga telah dia kirimkan, tetapi tidak satu pun tanda-tanda dia akan mendapatkan pekerjaan.
Uang yang dia punya sudah habis, tabungan pun semakin menipis. Sementara, masih ada kebutuhan yang harus ia penuhi. Aisyah mulai berpikir untuk pergi ke Surabaya, menghubungi kantor lama untuk meminta pekerjaan.
Burhan sedang menikmati tayangan televisi favoritnya. Dia hanya acuh saja pada Aisyah ketika kegelisahan hatinya tergambar. Dalam hatinya, dia tertawa melihat putrinya seperti itu. Dia mengingat percakapannya dengan Zaki beberapa hari lalu.
"Pak, Ais, minta ijin ke Surabaya. Boleh?" tanyanya hati-hati.
"Mau apa kamu ke sana?"
"Ais, sudah berusaha nyari kerja di kota ini, tapi belum dapat sampai sekarang. Waktu itu, Bapak, bilang akan mengijinkan, Ais, kembali ke sana. Jika, belum menemukan kerjaan di sini."
Burhan melupakan kata-katanya waktu itu. Sekarang apa yang harus dia lakukan? Susah payah dia menelan ludahnya sendiri akibat perkataan Aisyah. Gagal sudah rencananya dengan Zaki, jika Aisyah ke Surabaya.
***
Love you 😘😘
Banyuwangi, 31 Oktober 2020
Publish ulang, 12 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top