5. Tawaranmu
Happy reading
***
"Om, saya pamit dulu. Ada hal yang masih harus saya kerjakan." Zaki berpamitan pada Burhan, dia sudah berdiri dari duduknya bersiap pulang.
"Buru-buru sekali, Mas. Kita belum ngobrol, lho," timpal Burhan.
"Besok, saya ke sini lagi, Om. Lagian, sekarang saya sudah pindah tugas di sini, kok. Jadi, saya akan lebih sering berkunjung pastinya."
"Ya, sudah. Mas, hati-hati di jalan! Sampaikan salam, Om, untuk orang tuamu."
"Sampaikan salam, Bibi juga, ya, Mas. Bilang sama, Bunda, terima kasih bingkisannya," timpal Endang.
"Saya sampaikan nanti salamya, Om sama Bibi. Asalamualaikum," ucapnya. "Mari, Pak," sapanya pada Rosyid.
"Ya, Mas, hati-hati!" jawab Rosyid.
Zaki melangkahkan kaki ke luar rumah omnya itu. Setelah kepergian Zaki, pembahasan tentang Aisyah berlanjut. Rosyid masih bersikukuh untuk mempertemukan keponakannya dengan Aisyah. Sementara Aisyah, merasa jengkel dengan tawarannya itu. Gelagatnya terbaca oleh Rosyid.
"Saya pamit, Pak." Rosyid berdiri, bersiap untuk pulang.
"Silahkan! Maaf, sudah mengganggu waktunya." Burhan mengarahkan tangannya pada Rosyid. Mereka berdua bersalaman.
Selepas kepergian penghulu itu, mereka sekeluarga berunding kembali. Burhan menanyakan pada Aisyah bagaimana pendapatnya tentang kata-kata Rosyid tadi. Bukan tentang niat Rosyid yang akan memperkenalkan keponakannya, tetapi tentang berkas pernikahan Aisyah yang ditangguhkan itu.
"Ais, apa langkahmu selanjutnya?" tanyanya.
"Ais, ingin kerja lagi, Pak. Setidaknya, konsentrasi, Ais, akan terfokus pada pekerjaan bukan memikirkan bagaimana cara menemukan pengganti Mas Haritz."
"Jadi, kamu akan kembali melamar kerja di kantormu dulu atau bagaimana?"
Perbincangan Aisyah dengan bapaknya terjeda ketika Endang menyuruh mereka pindah ke ruang keluarga saja. Endang mulai membersihkan cangkir dan makanan ringan dalam toples yang tadi ia hidangkan kepada tamunya.
Di ruang keluarga, suasananya terkesan lebih santai. Burhan mulai menyalakan televisi untuk menemani obrolan mereka. Aisyah duduk di karpet tepat di bawah kaki bapaknya. Tangannya mulai memijit kaki Burhan, kebiasaan yang sering dilakukannya ketika bersantai dengan orang tuanya.
Dia mulai menjawab pertanyaan bapaknya tadi. "Iya, Pak. Boleh, Ais, kembali ke Surabaya?"
"Mengapa, Ais, tidak mencari kerja di sekitaran sini saja?"
"Kalau, Ais, kerja di sini. Ais, takut akan kepikiran terus tentangnya, Pak." Burhan mengembuskan napas panjangnya. Dia tidak yakin, Aisyah akan mudah mendapatkan kembali pekerjaannya pada situasi seperti sekarang ini.
"Tunggu, beberapa hari lagi, ya! Bapak perlu berpikir." Dia mengusap lembut kepala Aisyah lalu menciumnya. "Coba nyari lowongan dekat-dekat sini saja dulu. Nanti, kalau sudah mentok gak dapat, baru kamu berangkat ke Surabaya."
***
Motor itu melaju di tengah panasnya hari, bersemangat untuk memulai hidup baru. Aisyah memasuki sebuah dealer sepeda motor bukan untuk membeli motor baru, tetapi untuk melamar pekerjaan di sana. Di depan pintu masuk dealer, ada info yang terpasang di banner bahwa dealer itu sedang membutuhkan seorang karyawan perempuan di bagian customer servis.
Dengan langkah penuh keyakinan dia masuk ke ruangan sang direktur yang juga pemilik dealer. Info tersebut didapat dari salah satu karyawannya. Setelah bertanya pada salah satu karyawan yang ada di depan tadi, Aisyah dipersilahkan untuk menemui langsung pemilik dealer tersebut.
"Permisi," Aisyah mengetuk pintu ruangan direktur.
"Masuk," jawab seseorang dari dalam.
"Permisi, Pak."
"Ya, ada yang bisa saya bantu?"
"Saya mau mengajukan surat lamaran pekerjaan." Aisyah menyodorkan sebuah map berisi surat lamaran serta kelengkapan pendukung di dalamnya.
"Silahkan duduk!" Aisyah duduk mengikuti perintah orang di depannya. "Sebelumnya, sudah pernah bekerja?" tanyanya.
"Sudah, Pak."
"Boleh tahu di bagian apa?"
"Saya bekerja di bagian administrasi sebuah pabrik di Surabaya."
"Kenapa berhenti?" Pertanyaannya semakin mengintimidasi, tetapi memang seperti itulah hal yang selalu ditanyakan oleh para atasan saat akan menerima seorang karyawan.
Aisyah sedikit berpikir, tidak mungkin dia menjawab karena mantan calon suami yang menginginkan dia mengundurkan diri. "Alasan pribadi yang tidak bisa saya ceritakan, Pak." Lelaki di depannya itu tersenyum dengan alasan Aisyah.
"Oke, apa pacarmu tidak mengijinkan kamu bekerja?" tanyanya tiba-tiba.
Mimik muka Aisyah memerah. Tebakan lelaki di depannya tepat sekali. Kembali senyum itu menghias wajah sang direktur. "Saya pelajari dahulu surat lamaran yang kamu berikan ini. Beberapa hari lagi, saya akan hubungi diterima atau tidaknya."
"Terima kasih, Pak. Saya permisi kalau begitu." Aisyah berdiri dari duduknya bersiap meninggalkan ruangan.
"Tunggu! Kenalkan, saya Ahmad Lazuardy." Lelaki itu mengarahkan tangannya kepada Aisyah untuk berjabat tangan.
"Saya, Aisyah Laila Ramadani," balas Aisyah.
"Senang berkenalan dengan, anda." Tersenyum pada Aisyah.
"Saya permisi, Pak." Aisyah mengulang kata-katanya.
"Silahkan!"
Aisyah keluar dari ruangan dengan harapan semoga dia bisa diterima bekerja di dealer ini. Seseorang terlihat menajamkan penglihatannya kepada Aisyah, dia melihat Aisyah yang keluar dari dealer itu. Setelah Aisyah melajukan motornya menjauhi dealer, lelaki itu segera masuk ke dalam. Beberapa karyawan membungkuk dan menyapanya dengan hormat.
"Perempuan yang baru keluar itu, kenapa dia masuk ke sini?" tanyanya pada salah satu karyawan.
"Oh, cewek barusan itu, Mas."
"Iya."
"Dia melamar kerja di dealer, Mas."
"Oh, begitu. Bapak, ada?"
"Ada, Mas, di ruangannya."
"Oke, terima kasih, ya."
Lelaki itu segera melangkah ke ruangan sahabatnya. Ruangan yang terletak di lantai dua gedung ini. Dia melangkah dengan tergesa untuk menemui sahabatnya.
"Asalamualaikum," salamnya. Ketika dia sudah sampai di depan ruangan yang dituju.
"Waalaikumsalam. Masuk!" Ahmad masih sibuk membaca surat lamaran Aisyah.
"Sibuk banget, Mas," kata lelaki itu. Ahmad menoleh ke arah sumber suara. Setelah dia tahu bahwa itu sahabatnya, mereka saling berpelukan.
"Kamu yang sok sibuk. Kantor sudah berdekatan, tapi gak mau mampir ke sini."
"Biasalah, kalau orang baru itu butuh penyesuaian." Mereka tertawa bersamaan. "Boleh duduk gak, nih?"
"Kamu itu terlalu formal sama sahabat sendiri. Duduklah! Aku selesaikan membaca lamaran kerja sebentar."
"Ar, kalau aku meminta tolong apa kamu mau menolong aku?"
Ahmad menutup map yang berisi surat lamaran Aisyah. "Katakan! Apa yang bisa aku bantu buat kamu?"
"Cewek yang melamar kerja tadi, jangan diterima sebagai keryawan di sini!" Ahmad mengernyitkan wajahnya.
"Ada hubungan apa sahabatku ini dengan cewek itu? Aneh, cowok seperti Elang Naqi Zaki yang terkenal cuek pada perempuan tiba-tiba meminta sesuatu seperti itu." Wajah Zaki memerah karena malu, baru kali ini ia meminta tolong pada sahabatnya karena perempuan.
"Kamu, Ar. Aku serius, bisa kamu melakukannya untukku?"
"Aku harus tahu apa motifmu. Baru aku akan mengabulkan permintaanmu, kalau tidak, ya, sudah. Aku terima dia sebagai karyawanku."
"Ar, tolonglah sahabatmu ini!" Wajahnya memelas. Ahmad tertawa terbahak baru kali ini, sahabatnya itu merengek meminta belas kasihan.
"Apa kamu mencintai dia?" Skakmat, pertanyaan yang Ahmad ajukan mematikan jawaban Zaki. Dia tidak mungkin mengelak lagi. Kini, dia hanya mampu tersenyum. "Ya Allah, Mas. Ditanya itu jawab bukan malah senyum," goda Ahmad.
"Aku harus jawab apa?"
"Lah, yang punya hati situ. Malah tanya aku."
"Ya, pokoknya begitulah. Please!" Zaki mengatupkan kedua tangannya, memohon kepada Ahmad.
"Oke ... oke. Demi sahabatku, aku akan melakukannya."
***
Suasana di rumah Aisyah ramai dengan gelak tawa. Kedua orang tuanya tampak bahagia sekali. Kini, beban yang dialami Burhan akan segera hilang. Kebahagian putrinya akan segera diperolehnya kembali.
Derap langkah Aisyah menghentikan semua tawa mereka. Aisyah meyalami satu per satu tamu yang berkunjung ke rumahnya saat ini. Dia sedikit heran ketika sebuah kata terlontar dari bapaknya.
"Nah, ini, Mbak, anaknya. Bagaimana kalau tanyakan langsung pada yang bersangkutan?"
Aisyah dibuat bingung oleh perkataan bapaknya itu. Pertanyaan apakah yang harus dijawab olehnya secara langsung. Pandangannya mengarah pada Endang, ibunya, tetapi dia malah mengangkat kedua bahunya yang menyatakan ketidaktahuannya.
"Ada apa, Bude? Apa yang harus, Ais, jawab?" katanya.
"Apa, Ais, mau menjadi menantu, Bude?"
Ais memandang kedua orang tuanya, dia bingung harus menjawab apa. Dia masih butuh waktu lebih banyak lagi untuk menata hatinya.
***
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 30 Oktober 2020
Publish ulang, 11 Juni 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top