4. Mas ganteng menjengkelkan.


Happy reading 😍😍

***

Aisyah mengamati pantulan wajahnya di cermin. Kulit wajahnya tak sebersih biasanya, pori-porinya tampak membesar, noda jerawat kian tampak menghitam. Dua hari saja semua telah berubah. Koleksi make up miliknya sama sekali tak tersentuh olehnya.

Semua aktifitasnya berhenti hanya untuk memikirkan, mengapa dan mengapa cinta itu bisa dengan mudahnya lenyap. Apa karena wajahnya seperti ini hingga Haritz mengatakan bahwa cintanya sudah habis. Cukup sudah semua tanya itu karena sudah dipastikan jawabannya tidak akan pernah sampai pada titik temu.

Aisyah melangkahkan kakinya ke luar kamar. Dia ingin menghirup udara segar di waktu sore. Memandang keindahan alam yang tercipta agar segala kesyukuran ia rasakan. Berusaha ikhlas dan menerima takdir yang telah tertulis.

Mobil Toyota All New C-HR warna merah, memasuki halaman rumah Aisyah. Tak jelas siapa pengemudi di dalamnya. Aisyah masih duduk dengan tenang memandang langit sore yang cerah, tetapi tak secerah hatinya. Seseorang membuka sedikit kaca mobilnya, senyum manis dia tebarkan pada gadis yang sedang duduk di teras sambil memandang ke arah langit.

Sejenak, Aisyah mengalihkan pandangannya pada pengemudi. Dia menunjukkan wajah tidak sukanya kepada lelaki di dalam mobil. Tatapannya tajam mengarah pada pemilik senyum itu.

Sok kenal banget, ketemu mukanya saja baru kali ini. Eh, dia malah tebar pesona. Jelas, kalau dia lelaki yang gak bener. Apa, sih, maunya?

Lelaki itu turun dari mobil miliknya dengan tenang. Menurut penilaian orang-orang di sekitarnya, dia adalah lelaki tertampan seantero desa di tempat tinggalnya. Tidak peduli pada sikap Aisyah yang memandangnya dengan aneh dia tetap menghadirkan senyum itu untuknya. Tanpa bertanya dia melewati Aisyah begitu saja dan segera memanggil sang empunya rumah.

"Asalamualaikum," salamnya.

"Waalaikumsalam," sahut seseorang dari dalam. "Lho, Mas Zaki."

Aisyah melirik ke arah laki-laki tadi. Benarkah dia Mas Zaki yang selalu membuatnya menangis sewaktu kecil dulu. Laki-laki yang harus dia panggil mas karena orang tuanya adalah saudara dari bapaknya, jadi dia adalah saudara sepupu Aisyah.

Pertama kali Aisyah dikenalkan dengan Zaki saat itu dia begitu bahagia. Aisyah berpikir, dia akan memiliki saudara lelaki yang akan senantiasa menjaganya dari godaan teman-teman yang nakal. Sayangnya, semua itu tidak terjadi. Harapannya musnah ketika dia sendiri yang sering membuat Aisyah menangis.

"Iya, Bi. Zaki, nganter titipan Bunda untuk Bibi." Lelaki yang dipanggil Zaki itu menyerahkan sebuah goodie bags berwarna merah kepada Endang.

"Ais, kamu lupa sama, masmu, ini? Mengapa hanya diam saja?" Endang heran dengan sikap Aisyah. "Beri salam dulu sama masnya." Seperti anak kecil yang di suruh orang tuanya ketika ada tamu harus bersalaman, Aisyah pun melakukannya.

Aisyah meraih tangan Zaki untuk dia cium. Namun, Zaki segera menepisnya. Dia hanya menangkupkan kedua tangannya ke depan dada. Asiyah tersenyum mengejek.

'Kan bener, dia menjengkelkan. Dari dulu sampai sekarang sikapnya gak berubah. Emang minta di pukul orang satu ini.

"Maaf, kita sudah sama-sama dewasa, jadi enggak boleh bersentuhan seperti waktu masih kecil dulu." Aisyah memandang cengo ke arahnya. Kedua alisnya bertaut, keningnya sedikit berkerut. Benarkah masih ada lelaki bersikap seperti itu pada seorang perempuan.

Dia membandingkan dengan Haritz. Lelaki mantannya itu memang tidak pernah melakukan hal-hal yang di luar batas, tetapi dia sering menggandeng tangan Aisyah dengan mesra ketika mereka sedang di luar rumah. Mencium kedua pipi dan kening Aisyah pun sudah sering dia lakukan, tetapi untuk bibir Aisyah memang tidak pernah mengijinkan Haritz melakukannya.

"Ais, kok, bengong? Suruh masnya duduk dan ajak ngobrol dulu! Ibu mau buatkan minum." Endang melangkah ke arah dapur.

Sejenak, keheningan tercipta di ruang tamu. Zaki yang semula tebar pesona dengan senyumannya mendadak menundukkan pandangan ke arah bawah. Aisyah heran dengan sikapnya. Tadi, dia senyum-senyum sendiri, kini saat sudah berdekatan malah menunduk. Lelaki yang aneh menurutnya.

"Asalamualaikum," salam dari bapaknya. Dia datang bersama seorang lelaki yang Aisyah tahu namanya Pak Rosyid, penghulu di desanya.

"Waalaikumsalam," jawab Aisyah dan Zaki serempak.

"Ada, Mas Zaki, ternyata." Dia mengulurkan tangan pada Zaki. Zaki mengambil tangan omnya lalu menciumnya dengan takzim. "Ibumu mana?" tanyanya pada Aisyah.

"Di dapur, Pak. Sebentar, Ais, panggil."

"Sudah lama, Mas?" tanyanya.

"Baru beberapa menit yang lalu, Om." Zaki heran dengan wajah omnya yang terlihat muram.

"Silahkan duduk, Pak!"

"Iya, terima kasih. Jadi, bagaimana, Pak? Tadi, saya berangkat lebih pagi ke kantor, makanya pas Pak Burhan ke rumah tidak bertemu, saya," jelasnya.

"Oh, itu. Iya tidak apa-apa, Pak. Keperluan kantor memang harus di utamakan. Niat saya tadi, mau menanyakan tentang berkas pengajuan pernikahan Aisyah. Sepertinya, kami tidak bisa melanjutkan. Saya mau menarik berkas itu kembali karena pernikahannya dibatalkan." Zaki dan Pak Rosyid tampak terkejut. Mereka mengekpresikannya dengan raut yang berbeda-beda.

"Boleh saya tahu mengapa sampai batal, Pak?"

"Pihak mempelai laki-laki yang meminta dibatalkan, Pak." Raut kesedihan kentara sekali dari wajah Burhan.

Aisyah dan Endang datang membawa minuman untuk tamu mereka. Endang segera mempersilahkan para tamunya untuk menikmati dan meminum sajian yang dibawanya. Percakapan terjeda di antara Burhan dan Pak Rosyid. Zaki hanya diam mendengarkan cerita dari omnya.

"Begini saja, Pak. Berkas itu saya tangguhkan saja dulu. Saya, akan menunggu sampai empat bulan. Jika, dalam jangka waktu penangguhannya, Aisyah, belum menemukan pengganti calon mempelai pria, barulah saya akan menarik dan membatalkan berkas pengajuan pernikahannya." Burhan memandang ke arah Endang dan Aisyah secara bergantian. Sebagai kepala rumah tangga dia butuh saran dari keduanya.

Endang berkata, "Menurutmu bagaimana, Ais? Kami selaku orang tua mendukung penuh keputusanmu."
"Ais, juga terserah, Bapak."

"Apa, Bapak, yang akan mencarikan calon buat, Aisyah, sebagai pengganti mempelai prianya?" goda Pak Rosyid.

Semua orang di ruang tamu tertawa mendengar perkataan penghulu itu kecuali Zaki. Dia sedang memutar otak untuk melakukan sesuatu. Aisyah mencebikkan bibir, dia sedikit jengkel dengan perkataan Pak Rosyid.

"Bapak, ini ada-ada saja," balas Aisyah.

"Lho, gak apa-apa. Kalau kamu memang mau, saya kenalkan dengan pria itu. Laki-lakinya baik, kok. Kenalan dulu saja, 'kan, bisa?" Aisyah makin mengerucutkan bibirnya, dia merasa terpojok dengan tawaran itu.

Sementara Burhan dan Endang hanya tertawa mendengar gurauan Pak Rosyid. Mereka menganggap perkataan Pak Rosyid tidak serius. Tidak mungkin dia akan mengenalkan Aisyah pada putranya yang masih bersekolah di tingkat dasar. Sementara, putranya yang lain sudah menikah.

"Saya, serius, Pak Burhan. Ada salah satu keponakan yang sudah siap menikah. Namun, dia tidak punya calon. Orang tuanya sudah mendesak dia untuk segera menikah. Kalau, Aisyah mau, besok saya kenalkan pada keponakan saya itu. Bagaimana?" Rosyid mengarahkan pertanyaan pada Aisyah.

Zaki merespon percakapan di antara mereka semua dengan diam, tetapi mendengarkan dengan serius setiap kata yang terucap dari semua orang di ruangan ini. Mereka semua tidak menyadari bahasa tubuh Zaki. Ada sesuatu yang telah dia rencanakan. Sesuatu yang harus segera dia realisasikan.

***

Kira-kira Zaki mau ngapain?
Membuat Aisyah menangis lagi seperti waktu kecil dulu atau ....

Komennya ya untuk ceritaku ini.
Lagi butuh penyemangat buat nyelesaikannya.

Love you all 😘😘
Banyuwangi, 29 Oktober 2020
Publish ulang, 9 Juni 2023

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top