3. Antara cinta dan sayang
Happy reading 😍😍
***
Langkah gontai memasuki rumahnya, senyum yang tak biasa menghias wajahnya. Pintu yang terbuka dan suara perdebatan di ruang tamu membuatnya membelalakkan mata. Aisyah hafal dengan suara orang di dalam itu. Bergegas dia memastikan bahwa dugaannya benar. Lelaki yang dicarinya kini ada di rumahnya.
"Lelaki itu yang dipegang perkataan dan janjinya, Mas. Jangan macam-macam kamu!" Suara tinggi bapaknya terdengar. Aisyah mulai mendekat ke arah Burhan yang mukanya tampak memerah karena marah. Di sampingnya ada Endang, ibunya. Diusapnya lembut lengan Burhan untuk meredakan emosi yang mulai menguasai.
"Mas! Tidak cukupkah kamu mengejutkan aku dengan ucapanmu semalam? Mengapa kini kamu menyakiti, Bapak, juga?" Suara Aisyah bergetar menahan isak.
"Aku harus bagaimana lagi? Semua itu kenyataan. Aku tidak bisa meneruskan rencana pernikahan kita."
"Apa alasan kamu melakukannya? Bukankah kamu sendiri yang memintaku untuk menjadi istrimu?" Riak wajahnya benar-benar memuakkan bagi Aisyah. "Mas, jawab!" Aisyah tak sabar mendengar alasan darinya.
Haritz memandang wajah orang-orang di depannya satu demi satu. Burhan menajamkan pandangannya pada lelaki calon menantunya itu. Nalurinya sebagai orang tua untuk melindungi putrinya ingin segera menghajar lelaki di depannya ini.
"Aku sudah memberi penjelasan, 'kan, semalam. Apa masih belum cukup?" tatapnya nyalang. Tidak mau terintimidasi oleh keluarga Aisyah.
"Benar begitu, Ais?"
"I-ya, Pak." Wajah Aisyah tertunduk.
"Sekarang, katakan! Apa alasanmu membatalkannya?" Kesabaran Burhan mulai hilang.
"Sa-ya tidak mencintai Aisyah." Gugup pun melanda Haritz.
Burhan melotot mendengar kata-kata Haritz. Sementara, Endang yang hanya terdiam saat perdebatan berlangsung kini semakin geram dengan alasan Haritz. Dia berdiri mendekati Haritz dan tak disangka-sangka tangannya melayang ke pipi Haritz. Dua kali dia melakukannya, di sebelah kanan dan kiri.
"Manusia macam apa kamu? Jika, hanya cinta yang ada di otakmu, mengapa kamu melamar Aisyah?" Kemarahan juga menguasai Endang.
"Bu, sudah!" Aisyah berteriak.
Tubuh Aisyah kembali ambruk, terjatuh di lantai dan tak sadarkan diri. Jiwanya kembali terguncang mendengar alasan Haritz yang sebenarnya. Jika, Haritz tidak mencintainya selama ini. Apa arti kedekatan yang terjalin bertahun-tahun lamanya itu?
"Kamu, memang lelaki munafik! Jadi, selama bertahun-tahun kamu memberi harapan palsu pada putriku.Sekarang, dengan entengnya kamu mengatakan tidak mencintainya," kata Burhan.
Sebuah pukulan dilayangkan Burhan. Emosi yang sempat ia pendam kini dikeluarkannya. Tak ada lagi rasa takut, jika lelaki yang ia pukul nantinya akan melaporkan perbuatannya kepada polisi. Tidak akan pernah ada orang tua yang rela anaknya disakiti siapa pun, sekalipun itu orang yang dicintai oleh mereka.
"Maafkan saya, Pak," kata Hatitz. Tendangan pun ia lakukan kepada Haritz. Darah segar keluar dari bibirnya.
Puas memberi pukulan pada Haritz, dia segera membopong Aisyah ke dalam kamarnya. Keselamatan dan kejiwaan putrinya lebih penting saat ini. Tanpa terasa lelehan air matanya mengalir dengan deras.
"Sudah, cukup kamu menyakiti putri kami! Sekarang pergilah! Jangan pernah hadir dalam hidupnya kembali! Putriku terlalu berharga untuk lelaki sepertimu." Endang mengusirnya.
"Bu, tolong maafkan, saya! Saya hanya mengatakan apa yang ada dalam hati saya saat ini. Rasa cinta saya pada Aisyah memang telah habis. Tidak mungkin saya akan menikahinya tanpa adanya cinta." Haritz mengatakannya dengan amat pelan seakan dia memiliki beban di dalamnya.
"Pergi! Pergi! Cukup, jangan beri alasan apa pun lagi!"
Haritz perlahan meninggalkan rumah Aisyah. Sekalipun tubuhnya terluka, tetapi ada kelegaan di hatinya kini. Kelegaan karena telah mengatakan alasan pada Aisyah. Bukankah cinta itu tidak bisa dipaksa?
***
Mendung bergelayut manja di langit. Memberikan kesyahduan manusia di bumi. Menutupi panasnya mentari serta panas perasaan yang dicampakkan. Aisyah tersadar, dia memandang orang-orang di sekelilingnya.
Wajah-wajah kesedihan dari kedua orang tuanya sangat terlihat. Aisyah menampakkan senyum kepalsuan hanya untuk menutupi hatinya yang tak berbentuk lagi. Dia tak akan menambah beban kedua orang tuanya lagi, cukup sudah kekecewaan yang dia torehkan pada mereka.
Setiap patah pasti ada tumbuh, tiap ada yang turun ada pula yang naik. Tetesan air yang diberikan langit kepada bumi akan dibalas secara tunai dengan kuncup yang mengembang, melambai keatas sebagai ucapan rasa syukur dan terima kasih. Roda kehidupan akan selalu berputar. Aisyah hanya perlu bersabar hingga hikmah di balik peristiwa ini akan terlihat olehnya.
Saat cahaya spektrum menyempit, maka harapan meluas. Saat keheningan dan kesendirian datang, maka sujud diperlukan. Ketika seseorang itu belum seutuhnya kamu miliki, maka segala tentangnya adalah kesempurnaan. Sampai datang masanya kau pun tahu bahwa dia yang kau cinta tega menghancurkan cintamu.
Seperti itulah ujian cinta. Tak akan pernah berakhir sampai para pencinta itu membuktikan kesungguhan cintanya. Apa yang terjadi pada Aisyah, kini sebagai bukti bahwa ujian cintanya gagal sebelum di mulai.
"Ais. Jangan melamun terus! Kamu harus bisa bangkit dan melupakan Haritz. Dia tak layak menjadi suamimu." Burhan mengguncang bahu Aisyah karena sedari tadi dia memanggil, tetapi tidak dihiraukan.
"Ya, Pak. Ais, akan berusaha melupakan semua. Lalu, bagaimana dengan berkas-berkas yang sudah, Ais, ajukan di KUA?" Tangannya menyeka air mata yang mulai turun di pipi.
"Kita temui Bapak Rosyid nanti. Bapak yang akan menanyakan padanya, apakah bisa membatalkan berkas yang sudah masuk itu."
Endang mengambil air putih dan menyerahkan pada putrinya. Dibantunya Aisyah untuk meminum air tersebut. Tatapan matanya meneduhkan Aisyah.
"Jangan pikirkan apa-apa lagi! Cukup kamu menata hatimu kembali dengan memulai suatu hubungan. Semua hal yang berkaitan dengan persiapan pernikahanmu yang batal, biarkan Bapak dan Ibu yang menyelesaikan."
"Kita ini masih beruntung. Allah memberi jalan padamu tentang siapa lelaki itu. Seandainya, kita mengetahui saat kamu sudah menikah tentu putri Bapak ini akan lebih sakit nantinya. Apalagi ketika kamu sudah memiliki seorang anak, efek perpisahan itu akan lebih menyakitkan dan meninggalkan luka psikis bagi anak-anak kalian." Burhan mencoba memberi semangat kepada Aisyah.
"Terima kasih, Bapak-Ibu. Maafkan, Ais, karena sudah membuat malu." Ibunya segera merengkuh Aisyah ke dalam pelukannya.
"Jangan meminta maaf lagi! Ini semua sudah jalan yang telah Allah tuliskan untukmu," kata ibunya.
"Sudah cukup pengorbananmu! Selama ini, kamu telah memenuhi semua keinginannya. Kuliah di jurusan yang tidak kamu sukai demi dia. Berhenti kerja kerena keinginannya dengan alasan supaya kamu menjadi istri yang salihah. Sekarang, saat semua telah kamu korbankan dengan ringannya mulut itu mengakatan tidak mencintai putri Bapak." Burhan mengusap sayang pucuk kepala Aisyah.
"Sudah! Sudah!" lerainya, "Pak, hari ini kita ada janji dengan Mas Jamal, 'kan?"
"Astagfirullah, iya, Bu. Mas jamal, mengundang kita di acara tasyakuran putranya yang baru naik jabatan. Kamu ikut, ya, Ais? Bude, pasti senang bertemu kamu."
"Ais, di rumah saja, Pak. Ais, ingin sendiri dulu."
Burhan dan Endang meninggalkan Aisyah sendiri di kamarnya. Aisyah kembali memejamkan mata untuk menghilangkan beban pikirannya. Dia masih tidak mempercayai alasan Haritz. Segala kenangan bersama masih terukir dengan indah. Kata-kata cinta yang Haritz ucapkan ternyata hanya sebuah ilusi tak bertepi. Seperti cakrawala di ujung senja, indah. Namun, hanya sesaat.
Semua kenangan yang terjadi itu kini disebut pembelajaran. Pembelajaran sebagai bekal masa depan agar tak terjebak pada rasa yang bernama cinta.
***
Love you all 😘😘
Banyuwangi, 28 Oktober 2020
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top