12. Usaha .... terus usaha
Happy reading 😍😍
***
Langit telah menampakkan cintanya pada bumi. Tetes demi tetes ia turunkan, memberi kesejukan pada kepala yang terasa panas. Aisyah duduk di sebuah bangku pos satpam perkantoran. Memandang hujan yang berlarian untuk mencapai tanah. Muka putus asa mulai dia tampakkan. Berhari-hari selama seminggu ini, dia terus memasukkan berkas lamaran pekerjaan pada perusahaan yang membuka lowongan kerja. Namun, tidak ada satu pun yang mau menerimanya sebagai karyawan.
Jika, formula keberhasilan adalah bangkit kembali saat terjatuh. Maka, Aisyah sudah berkali-kali bangkit untuk mencapai keberhasilan itu. Namun, dia masih tetap gagal. Kakinya dia gerak-gerakkan bergantian ke kanan dan kiri membentuk irama kekesalan hati. Ojek online yang tak kunjung tiba pun turut andil memperkeruh suasana hatinya.
Huh, kalau begini terus aku bisa mengambil keputusan untuk menikah saja sama Mas Zaki. Sepertinya, dia memang mencintai aku. Semua perlakuan manisnya selama beberapa hari ini, menunjukkan kata-kata yang dia ungkap waktu itu. Bukankah Mas Haritz juga begitu, awalnya bersikap manis penuh keromantisan, tetapi ujungnya, wleeek, bikin eneg.
"Dengan Bu Aisyah?" tanya seorang laki-laki.
"Iya," jawabnya.
"Mari! Saya driver yang di pesan online tadi."
"Oh," katanya, "sesuai aplikasi, ya, Mas!" Aisyah segera masuk ke dalam mobilnya. Sang driver hanya tersenyum dengan kata baku yang selalu diucap setiap pemesan aplikasi online.
"Siap!"
Aisyah sebenarnya masih ingin mampir ke suatu pusat perbelanjaan membeli keperluan pribadinya. Namun, suasana hatinya sedang tidak baik di tambah cuaca yang tidak mendukung dan keuangan yang dimilikinya semakin menipis.
***
Wajah murungnya kentara sekali terlihat oleh Rumana. Tak biasanya dia pulang di jam makan siang seperti ini. Kebahagiaan yang dia tampakkan beberapa hari ini tiba-tiba lenyap tak berbekas. Tatapannya kosong ke arah langit-langit ruang keluarga Rumana.
"Kenapa sih, Mas?" Rumana duduk di sebelahnya.
"Eh, Tante." Kepalanya dia letakkan pada pangkuan Rumana.
"Ceritalah! Ada apa? Kamu bolos pelatihan, Mas?"
"Enggak, Tan. Memang materi hari ini cuma satu, jadi jam makan siang sudah selesai." Rumana membelai rambut Zaki. Dia tahu saat manja seperti ini, keponakannya itu sedang ada masalah. "Aisyah kemana, Tan?"
"Tadi, dia pamit mau naruh lowongan pekerjaan."
Zaki masih betah berada pada posisi seperti itu. "Aisyah itu sudah diberi fasilitas masih pengen kerja," gumamya.
"Memangnya kamu ngasih fasilitas apa sama dia, Mas? Tante lihat, setiap hari kamu sudah membelikan hampir semua keperluannya sebagai seorang perempuan."
"Waktu itu, Zaki sudah memberi kartu untuk dipakai belanja, Tan, tapi sampai saat ini belum ada laporan dari pihak bank mengenai pengeluaran dari kartu itu. Sekuat apa dia akan bertahan mencari kerja, jika semua akses sudah aku tutup." Dia terkekeh dengan perkataannya sendiri. Rumana memukul pelan kepala Zaki. Dia gemas dengan keponakannya itu.
"Terus rencana kamu apa, Mas?"
"Belum tahu, Tan. Tante, ada ide gak?" Dia bangkit dari pangkuannya kemudian duduk bersandar.
"Ide belum ada, Mas, tapi Tante akan memberi kalian berdua kesempatan untuk semakin dekat. Manfaatkan waktu yang diberikan Om dan Tante kali ini dengan baik!"
"Tante, jangan buat penasaran gini!"
Rumana tertawa melihat wajah Zaki yang telihat penasaran. "Jadi, gini, Mas. Ommu kemarin cerita, mamanya sedang sakit. Dia berinisiatif untuk sementara waktu tinggal bersama beliau. Tante diminta merawatnya sampai kesehatannya pulih. Tante, sih, gak masalah dengan hal itu. Dimana pun, Tante, tinggal asal bersama ommu, oke aja. Menurut Mas, gimana?"
"Mas, jelas mendukung, Tan. Memang sudah kewajiban istri untuk menuruti semua perintah dan keinginan suaminya. Selama perintah itu tidak bertentangan dengan hukum syariat agama. Asyik, Mas punya kesempatan lebih banyak untuk berduaan kalau seperti ini."
"Manfaatkan waktu itu sebaik-baiknya, Mas! Ambil hatinya sampai habis tak bersisa! Buat dia klepek-klepek dengan semua pesona yang kamu miliki! Jangan buat dia menangis seperti dulu yang sering kamu lakukan! Mana ada orang jatuh cinta, tapi sering membuat orang yang dia cintai malah menangis."
"Beres, Tan!" Keduanya tertawa. "Kapan Tante akan mulai tinggal di sana?"
"Secepatnya, Mas. Bisa jadi, malam ini ommu akan menginap di rumah Mama."
"Zaki, ke atas dulu, ya, Tan. Mau.menyambut kedatangan permaisuriku," ujarnya.
"Huh, dasar bucin!" Rumana melempar bantal kecil, sandaran kursi.
"Tante kenapa teriak?" tanya Aisyah tiba-tiba. Rumana tidak mendengar kedatangan Aisyah tadi.
"Ehm, itu!" jawabnya resah mencari alasan. Bingung, jika Aisyah sampai mendengar percakapannya dengan Zaki tadi.
"Aisyah ke atas, Tan," pamitnya setelah mencium tangan Rumana.
***
Hawa dingin tak lantas membuatnya bermalas-malasan di kamar. Tugas memasak dan membereskan rumah sudah menantinya. Aisyah tidak ingin mendapat predikat perempuan pemalas dan tidak tahu diri dari tantenya. Dia sangat bersyukur tantenya itu mau menampungnya di Surabaya selama ini.
"Masak apa, Ca?" katanya membuat Aisyah terjingkat kaget.
"Mas, masuk itu salam dulu! Aku kaget tahu? Di rumah ini cuma kita berdua, jangan buat aku ketakutan begitu!"
"Mas, sudah salam tadi, Sayang!"
"Apa, Mas?"
"Apanya yang apa?"
"Mas, barusan panggil, Ais, dengan kata apa?"
"Kamu dengarnya apa?" katanya. Zaki semakin mendekat ke arah Aisyah, tepat di belakangnya.
"Kebiasan! Muter-muter aja kalau ditanya." Aisyah terus mengaduk nasi goreng dengan kesal.
"Masak untuk suami itu yang ikhlas. Jangan ngomel-ngomel gitu! Nanti pahalanya hilang, sayang 'kan." Zaki berkata lirih ditelinga kanan Aisyah.
Aisyah yang merasakan suara Zaki sangat dekat dengannya menjadi merinding. Sedikit geli dan gugup dia rasakan. Terbayang sebuah adegan dalam film romantis yang pernah ditontonnya. Ketika, sang wanita sedang memasak tiba-tiba dari arah belakang kekasihnya memeluk dan terjadilah adegan yang diinginkan oleh pasangan kekasih itu. Aisyah segera menggelengkan kepalanya. Reflek dia menghentakkan kaki kanannya dan menginjak kaki Zaki kuat-kuat.
"Aaawww .... Sakit, Ca! Kamu, ya!" membulatkan matanya, tetapi bibirnya tersenyum.
"Syukurin! Siapa suruh berdiri dibelakangku. Ais, gak mau sampai kejadian adegan yang iya-iya seperti di film-film itu."
Zaki menyentil kening Aisyah. "Pikiranmu! Mas, gak nyangka sampai sejauh itu. Memang kamu mau melakukan adegan yang seperti itu? Kalau mau, Mas, sih, gak apa-apa. Pasti Mas turuti. Gimana?" Tanpa berkata lagi Aisyah memukul lengan Zaki dengan sudip. Zaki mengaduh untuk ke dua kalinya. Namun, tawanya semakin keras.
Aisyah meneruskan masakannya tanpa peduli pada Zaki lagi. Pekerjaan masih menunggunya, jika terus meladeni masnya itu, bisa gak selesai semuanya. Jam delapan nanti dia masih harus mencari kerja.
"Mas, cepetan turun! Sarapannya sudah siap," teriak Aisyah.
Zaki berjalan dengan pelan menuju meja makan. Jam di pergelangan tangannya masih menunjukkan pukul enam lebih tiga puluh menit. Dia berpikir untuk menggoda Aisyah.
"Ca, bantuin Mas, ya?"
"Apa, Mas?" tanyanya. Tangannya sibuk menyiapkan nasi goreng di piring Zaki.
"Pasangkan ini!" Dia menunjuk pada sebuah benda yang sedari tadi ia genggam.
"Biasanya kan pakai sendiri, Mas. Kenapa sekarang jadi manja?"
"Kapan? Mas, tidak pernah memakai dasi dari rumah. Teman-teman di kantor yang selalu membantu selama ini," jelasnya. Aisyah tampak berpikir, mengingat dan memastikan apa yang dikatakan masnya itu benar.
"Ya, sudah sini! Sekali saja, Ais, bantu pasang. Lihat dan perhatikan! Bagaimana cara, Ais, memasangkan. Ngerti, Mas?"
"Iya,"
Aisyah mengahadap ke arah Zaki. Dia mulai memasangkan dasi dan menjelaskan secara pelan-pelan. Zaki hanya tersenyum menikmati wajah manis Aisyah. Sepenuh hati dia menahan tawa agar terlihat lebih natural kebohongannya.
Cup ....
Lama, Zaki mencium kening Aisyah. Dia sudah tidak tahan untuk tidak melakukannya. Aisyah meremang dengan perlakuan masnya itu. Dia kembali pada aktifitas semula, menyiapkan minum untuk Zaki.
"Nanti, tidak usah keluar rumah! Jangan mencari pekerjaan lagi! Cukup diam dan bersih-bersih rumah saja! Tunggu sampai, Mas, pulang! Ngerti?"
Seperti seorang yang terkena hipnotis, Aisyah hanya menganggukkan kepala atas perkataan Zaki. Mulutnya serasa dipasangkan lem, rapat tidak bisa mengeluarkan sanggahan. Hatinya menolak untuk mengikuti perintahnya, tetapi mulutnya tidak mau bersuara.
"Ca, jangan bengong! Ayo sarapan! Apa mau, Mas, yang suapi?" Mengerlingkan sebelah mata.
"Jangan aneh-aneh!" Mencebikkan bibir.
***
Sungguh tidak bagus untuk kesehatan jantung Aisyah 😉😉😉
Love you all 😍😍
Banyuwangi, 6 November 2020
Publish ulang, 7 Juli 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top